4 Nov 2010

Upaca Utara Kota

Di penghujung musim dingin, tepatnya bulan desember, utara kota menjadi begitu memilukan, ribuan orang bahkan jutaan orang menangisi upacara perpisahan, upacara yang baru kali ini diselenggarakan oleh penduduk kota..Dunia memang mempunyai misteri yang sangat besar, setiap engkau berharap dapat melihatnya, kerikil-kerikil tajam akan siap menghantammu.

Layaknya upacara perpisahan, taburan doa-doa dan air mata pasti selalu mengiringi jalannya upacara, bunga-bunga seakan layu, kata-kata begitu menyesakkan, puisi-puisi menjadi teriakan, doa-doa menjadi air mata..
Terkadang kesedihan menjadi begitu bising, memuakan.. orang-orang seakan tak mau tau entah dengan apa harus mengartikan hidup ini, bahkan mereka kini tak lagi lancar membicarakan hal-hal yang tidak berguna, hanya sedikit bahkan sampai tak ada lagi kata yang bisa keluar dari bibir mereka. Yang mereka tau hanya menangisi saudaranya, yang mereka tau mereka mencintai saudaranya.. hingga burung-burung camar seakan memeluk senja yang murung lantaran umpatan-umpatan mereka yang bersedih dalam doa’ kenapa?

Dua bulan yang lalu mereka sempat tertawa, tersenyum, berkata-kata.., betapa indahnya senja, purnama, malam, awan, deru ombak, kapal-kapal kecil, lentera malam pinggir pantai yang dibawa para nelayan, dan seorang penyair yang merasa bebas dengan angin menulis, kemudian membacakan puisinya dengan sisa-sisa suara dalam tenggorokannya.. “Ada teriakan yang sangat lantang dari sela-sela kehidupan.. malam dengan kejora di ambang langit, serta ratusan bintang mengangkasa sesekali tertiup keheningan..” sang penyairpun merebahkan tubuh kurusnya bersama ribuan pasir dihatinya, diangan-angannya dengan tertawa, tersenyum, berkata-kata…

Utara kota, utara kepedihan utara kata-kata yang kemudian menjadi kesedihan, utara doa-doa yang kemudian menjadi umpatan, utara segala utara.. hingga langit tak sempat utarakan rindunya pada bumi.. pada awan, bahkan bintang yang meredup karna pilu.
Dengan gontai, berjalan para penduduk kota, dengan tali mengikat dileher mencaci hari, upacara yang paling aneh yang belum pernah terjadi selama ratusan tahun.. dua dari sepertiga hari, dua dari sepertiga hati kemudian menghilang saat hari-hari kemudian menjadi begitu menjemukan..

Kemarin masih aku ingat orang-orang berlari seakan kakinya tertembak peluru, meraung, menjerit, mereka berlari sekuat mereka, mereka, yah mereka hanya bisa berlari dan berlari. “Mama.. hanya ini yang bisa kita lakukan, berdoa dan berdoa.. berharap untuk bisa lagi merasakan hari-hari..” lirih sekali seorang lelaki setengah baya berbisik pada istrinya yang tak henti-hentinya menangis.. “anak kita pak! Anak yang kita sayangi”. Seakan memuisikan kata-katanya, seakan tegar terhadap ujian ini, terseok-seok memanggil namaNya.. “Tuhan manulis takdirku diatas daun lontar yang telah mengering dengan pena dan tinta emas. Dia menuliskan segalanya tentang aku.. dengan cinta, dengan karunia, dengan kuasa, dengan kekuasaan, tulisan dengan nama-nama kebesaranya, dengan takdir , dengan garis, gurat dan gelombang.. tuhan memberi kabar kepadaku melalui surat yang setiap harinya ia kirimkan ke alamat cintaku.. alamat hatiku, jantungku, tuhan selalu datang dalam mimpiku, cumbu aku”.

Musim adalah warna yang kian hari semakin memudar, bumi adalah kata yang kian hari semakin serak, langit adalah muram yang kian hari semakin jalang, ah… kota dengan upacara ribuan jenazah.. dengan doa dengan tangisan tak henti-hentinya, seorang ibu dengan sesak nafas diujung paru-parunya, menahan tangisan yang mulai mengering.. terbaring anaknya dipangkuannya, anak yang dengan segenap jiwa dan raganya, dengan hati dan sanubarinya ia kasihi, kini pergi..
Bahkan sebelum meninggalkannya, sang anak sempat merayakan hari ulang tahunnya dengan ibu dan ayahnya. Kenakan topi kerucut dan terompet kecil, tertawa, tersenyum, berkata-kata.. dan kini seakan semuanya menjadi hanya catatan kecil dalam sejarah yang tak akan mereka percaya sama sekali.
Kenyataan pahit bukanlah terletak pada bagaimana kepergian menjadi begitu satir, kenyataan pahit bukanlah pada mengapa kepergian menjadi begitu getir, kenyataan pahit adalah harus dengan apa kita mengartikan semuanya ini. Kepergian akan datang kepada kita ketika kehidupan berjalan.. ini cukup “adil” untuk kita.

Di ujung bulan tahun ini, aku tak bisa lagi mempercayai siapapuun, apapun, orang-orang, bulan, debu, matahari, serta malam-malam yang pernah menemaniku dulu, kini bahkan tak lagi aku mempercayainya.. aku adalah lelaki yang rapuh yang telah terluka ribuan kali.. lukaku adalah deburan ombak yang mustahil akan terhenti.. di ujung bulan tahun ini, kata-kata lelaki muda terus saja terlontar dari mulutnya kini yang mulai berbusa, jarang sekali ia mabuk, namun kali ini ia tidak lagi bisa menangis, namun kali ini ia tidak lagi tertawa.. ia hanya bisa berkata-kata.. hatinya seolah tak bisa lagi meraba sebuah perasaan, perasaan baginya mungkin telah lama meninggalkannya.. kekasihnya telah tiada.. adik-adiknya, ibunya, segalanya.. tapi sang penyair terus saja menyebut nama kekasihnya.. menanyainya kpd orang-orang seperti seorang “yang gila yang kehilangan”.. kenangan minggu lalu yang sangat romantis… seorang gadis tersipu malu cium tanganku, tanyakan hatiku.. kusapa dengan dengan mataku yang basah, kuusap dahinya dengan hujan.. kusimpan matanya di sela-sela bibirku..kuraih hidungnya, kulemparkan pada keadaan yang mengherankan, kurengkuh bibir manisnya.. kubuka satu persatu emosinya, kumakan rambutnya tanyakan hatinya..tanyakan hatinya..

Dipeluk senja yang makin menghilang iapun kembali ke tepi pantai tanyakan kepada ratusan pasir, tanyakan pada awan yang mulai berganti hitam.. kemana kebahagiaan akan kuraih.. apakah bersabar adalah bahagia.. apakah berdoa adalah kebahagiaan.. disisa-sisa suara ombak ia mulai meneteskan air mata, lelehannya seakan terasa panas, dua garis linang yang tak pernah turun dari titik matanya.. sesekali ia jeritkan ketidak setujuannya pada kenyataan seperti drama yunani klasik, Socrates yang tetap bersikeras bahwa keberanian terletak bukan hanya pada kesatria yang gugur di medan tempur.. atau drama teaterikal tengul karya arifin C. noer seakan memberi kekuatan untuk menentang takdir yang memang memilukan…

Waktu memang selalu menikam kita siang dan malam.. menghukum keadaan dengan emosi detik-detiknya. Memaksa hari-hari menjadi begitu munafik.. di ujung persimpangan di dalam kisi-kisi empat dimensi.. lalu semuanya menjadi batu.. tak lagi bisa bicara, tak lagi bisa berkata-kata..
Seluruh penduduk kota menjerit lantang, mengapa.. apakah ketika kebahagiaan direnggut alam, kita bisa lagi mengartikan kehidupan.. apakah ketika linangan air mata berganti simbahan darah, kami bisa mengganti setiap detik yang pahit… Apakah ketika doa menjadi gemuruh yang sangat menyakitkan, mereka bisa lagi tau arti sebuah cinta.. seorang ibu meratapi anaknya, seorang suami meratapi isterinya seorang kakak menangisi adiknya, seorang kakek merindukan cucunya, seorang sahabat menantikan sahabatnya, seorang paman menangisi keponakannya, seorang kekasih mangharapkan kekasihnya..
Kenapa harus kami yang harus menanggung semua ini.. kenapa kami yang harus merasakan kehilangan ini.. Dua hempasan badai yang begitu mencekam, menikam, puing-puing keresahan.. menyesakkan..memilukan..

Lalu dengan takdir, kota menjadi begitu riuh, ribuan orang datang dari segala penjuru, menyesaki jalannya upacara ini, mereka berbaris seakan tak perlu lagi mendapat aba-aba, mereka menangis mengikuti tangisan yang ada, seakan menjadi lagu kebangsaan mereka.. langit terbuka lebar, burung-burung terbang kesana kemari.. deru ombak menjadi kutukan, deru ombak seakan menjadi tempat sampah yang dikucilkan, sebagian orang menyelam mencari secercah cahaya impian.. sebagian orang meniupkan angin keresahan ke pesisir utara.. membanjirinya dengan air mata yang mengering..
Puluhan media seakan antri untuk mengambil kesempatan ini, kesempatan besar untuk meneriakkan kesedihan yang mendalam untuk informasi yang haru, ribuan kata-kata duka di setiap seminar, penggalangan dana, pertemuan doa bersama, bank-bank seakan sibuk dengan transfer ratusan milyar rupiah di rekening-rekening dunia.. bukan.. bukan ini yang kami nantikan.. bukan ini yang bernama kebahagiaan.. bukan ini yang kami.. rindukan.. kebahagiaan kini telah lama kami tinggalkan.. kebahagiaan telah lama kami lupakan.. kehidupan seakan terasa hampa, entah dengan apa kami mengartikan rindu ini..
Kita ingat betapa indahnya langit ketika ribuan kembang api dinyalahkan ke udara.. kita ingat betapa senangnya orang-orang berdansa mengikuti alunan lagi-lagu tentang cinta, tentang kesenangan, kita ingat betapa riuhnya kota dengan suara-suara terompet, kita ingat bahwa esoknya adalah hari libur yang dinantikan semua orang..namun kini seakan semua menghilang, seakan semuanya tak lagi pernah berlaku, kota-kota kini mengikuti jalannya perayaan awal tahun dengan upacara perpisahan di utara kota itu. Perayaan yang sangat aneh.. perayaan kota dengan keheningan, dengan ribuan orang-orang yang seakan bisu, tak tau harus melakukan apa mereka… hingga malampun kemudian membiru menahan harunya.. hari-hari menjadi begitu membingungkan..

Sisa-sisa kenangan telah tersimpat rapat dalam dimensi yang lalu, kata-kata.. tangisan seakan menjadi ombak besar yang kembali kepada laut dan menyampaikan salam perpisahan, dan pesan-pesan kerinduan akan penantian kelak di kehidupan selanjutnya…

Sang penyair pergi entah kemana, meninggalkan masa lalu yang menyesakkan hatinya, seorang ibu menyerahkan segalanya pada kerelaan.. seorang suami mencoba hadapi takdirnya dengan kepalan tangan di dada kirinya.. seorang kakak kembali tersenyum melihat kerinduan mainan adiknya, seorang kakek memcoba berkata-kata menceritakan kecerdasan cucunya, seorang kekasih kembali yakin dengan potret wajah kekasihnya di dompetnya.. semuanya harus memikirkan bagaimana mengartikan hidup ini, cinta mereka, jiwa mereka, dan apapun yang telah melintasi jalan takdir mereka.
Matahari bersinar di ufuk timur, lalu meninggalkan hari di ufuk barat… bumi, langit, awan, udara, pohon-pohon, air, bunga-bunga, batu, burung-burung, pagi, siang, malam, bintang, bulan, angkasa.. dan hati-hati yang ditinggalkan.. berkabung!

untuk para saudaraku yang terkena musibah Tsunami Aceh, Desember 2004

Terima kasih untuk sobat karibku Aji Rahmadi
(Bandung 2 Maret 2005)

Seperti dimuat di laritelanjang.net
Ilustrasi: laritelanjang.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar