19 Okt 2011

TOTO DAN SEBILAH KUJANG

ilustrasi oleh: laritelanjang.net
Toto melangkah dengan cepat melewati lorong-lorong kecil. Kakinya yang telanjang menghantam dinding-dinding comberan. Matanya yang kendur ia pejamkan sesekali lalu kembali ia buka lebar-lebar demi menahan kantuk yang luar biasa. Tangan kirinya terkepal keras, tampak urat-urat tangannya terlihat begitu jelas. Mulutnya tak henti komat-kamit, entah racauan apa yang ia ucapkan, tidak terlalu jelas, namun ada aroma amarah yang tesulut di sana. Tangan kanannya mengepal erat sebilah Kujang, erat sekali, sampai-sampai tangan dan Kujangnya menjadi sebuah kesatuan mengeras dan membatu. Keringat yang sejak tadi mengucur di parit-parit dahinya ia abaikan. Bahunya mengeras. Tampak dendam telah melilit jiwa dan raganya, darahnya mendidih, napasnya memburu, haus, seakan-akan menghanguskan apa saja yang menghalanginya. 

Toto terus melangkah. langkah-langkah yang lebar ia hujam ke setiap detik-detik yang bergulir, menggelinding dihantam ketidaksabaran. Luka, ialah luka, apalagi yang lebih menyakitkan daripada sebuah luka. Luka yang terus memburu Toto dalam amarah, amarah yang terus menari di atas luka-luka yang ditorehkan orang yang sedang ia cari di sini, di kerumunan banyak orang, sebuah terminal kumuh di kota Majalengka.

[]
Dua bulan yang lalu Toto masih tinggal di pesantren, tempat yang sama sekali berbeda dengan tempat asalnya, Terminal Bus. Masuk pesantren adalah pilihan Toto sejak ia keluar dari Lembaga Permasyarakatan dua bulan silam. Ia ingin benar-benar bertobat setelah kelam menjalani hari-harinya yang keras di tengah terminal. Semua kejahatan pernah ia lakoni, merampok, menjambret, menodong, bahkan membunuh sepertinya sudah menjadi hal yang biasa baginya, dan keluar-masuk penjara sudah sering kali ia alami. Toto memang benar-benar ingin insyaf. Baginya, tiada yang mampu mengemudikan hidupnya selain seseorang, yaitu ibu.
 

Toto yang kini menjalani hari-hari layaknya para santri yang lain dapat berubah sebegitu drastisnya tentu dikarenakan permintaan sang ibu yang tidak ingin melihat anaknya terus terpuruk dalam kekelaman. Siapakah yang menginginkan anaknya berkubang dalam kekelaman? Tentu tidak ada.

Selama di pesantren Toto memang tidak lantas langsung melahap dan mempelajari dan melahap ilmu-ilmu agama dari kitab klasik, karena baginya itu terlalu sulit, terlebih latar belakang dan orietasinya yang berbeda dengan santri-santri lain. Tidak lebih dari itu, Toto hanya menginginkan tempat yang tenang di mana ia dapat merenung dan bertobat dengan khusuk. Setiap malam Toto terjaga demi melaksanakan shalat Tahajud dan shalat Taubat. Tak jarang usai shalat Toto menitikkan air mata. Tampaknya kehidupan lamanya begitu kelam sehingga doa yang dipanjatkannya pun begitu dalam.

Dalam hal pergaulan Toto dikenal normal-normal saja, sama seperti santri-santri yang lainnya, walaupun tampang dan perawakannya menyeramkan tapi sesungguhnya ia memiliki perangai yang lucu dan humoris. Toto memang dikenal dengan perawakannya yang tinggi  besar, paras wajahnya yang beringas, dan tubuhnya yang dipenuhi tato. Siapa pun yang melihatnya dapat segera menghakimi orang macam apa dia.

Dari minggu ke minggu Toto menjalani hari-harinya yang baru, ia mulai berdaptasi dengan pola hidup lingkungan sekelilingnya. Kesegaran baru dalam menjalani hidup ia renguk penuh dengan penuh kebahagian, di sana di tempat anak-anak bangsa menimba ilmu. Toto benar-benar mengalami perubahan yang drastis, mungkin inilah yang disebut dengan konsekuensi dari sebuah perubahan.

Suatu hari ia menerima surat dari Uzlah Utini. Seorang gadis desa tempat Toto dilahirkan. Seorang yang selama ini menjadi peraduan hati dan jiwa Toto. Uzlah adalah orang kedua yang mampu mengendalikan Toto. Toto sumingrah. Dengan sedikit kikuk Toto membuka surat yang dikirimkan Uuz, nama panggilan kesayangan Toto pada Uzlah Utini kekasihnya. Senyum lebar tersungging di ujung lekuk bibir Toto kala mulai membaca surat. Namun lama kelamaan wajah Toto berubah drastis, dahinya merapat, alisnya naik, tangannya terkepal kuat dan napasnya memburu. Toto terlihat tidak mampu menahan amarahnya. Namun dengan penuh ketenangan ia mencoba untuk mengatur emosi yang semakin lama semakin memuncak, matanya nanar, begitu dalam dan jauh.

Toto bergegas mempersiapkan sesuatu seadanya, para santri tidak ada yang mencurigai tindak tanduknya, ia begitu pintar menyembunyikan sesuatu dalam dirinya sehingga para penghuni asrama tidak tahu sama sekali apa yang ia rasakan saat itu. Dengan langkah-langkah besar Toto meluncur tajam ke jalan setapak di belakang pondok, dengan tergesa-gesa ia masuk ke ladang tebu untuk sampai ke jalan raya.

Toto hanya membutuhkan dua jam perjalanan dari pesantren menuju terminal Majalengka, namun baginya waktu tersebut begitu lama karena ia sudah tak sabar menunggu. Kini pemandangan sebuah terminal kumuh tepat di depan bola mata Toto. Ia mendatangi kerumunan orang-orang, matanya garang, tubuhnya kencang terpancang urat-urat yang keluar mengakar, orang-orang berhamburan. Matanya seperti radar memburu apa yang ia cari.
 

“Hai sini kau, anjing!” teriaknya kepada seorang laki-laki kurus penjual kacang goreng yang sejak tadi ketakutan.
 

“Di mana si jangkung?” teriak Toto.
“Saya nggak tahu!” jawab laki-laki tadi. Toto menyeringai. Orang-orang berhamburan. Disepaknya orang tadi laksana bola, Toto tidak tinggal diam ia terus memburu apa yang ia cari, sebuah hadiah yang ia idam-idamkan dari kabar yang menyesakkan. Menyesakkan jiwanya, raganya, dan seluruh hidupnya. Namun sampai detik itu, apa yang ia cari belum kunjung tampak di matanya. Toto masih tetap memburu, laiknya truk tronton yang sedang menghancurkan rumah-rumah bedeng kaki lima. Ia menggerus dan meluluhlantahkan semua yang ada di hadapannya.
 

Di balik kerumunan orang yang berhamburan mata Toto seakan menangkap isyarat. ya, sesuatu yang ia idam-idamkan, dan kini ia telah mendapatkannya. Tanpa aba-aba Toto melesat pada sosok yang dituju, matanya tak lepas mengekor, Toto benar-benar memburunya seperti hendak kiamat, tak ada waktu lagi, semua harus terselesaikan. Ia terus mengejar laki-laki berjaket lusu itu, seluruh wajahnya dipenuhi ketakutan, urat-urat di jidatnya keluar seperti menantang teriknya matahari. Sekuat mungkin ia lari. Lari dari kejaran Toto yang sudah berubah jadi budak amarah yang menyala-nyala. Padahal laki-laki itu sudah lari sekencang-kencangnya, namun Tuhan berkehendak lain, mangsa itu telah berada dalam cengkeraman sang pemburu, sedikit perlawanan yang diburu hanya melukai tangan dan perut Toto, tidak masalah, semuanya tidak begitu berasa baginya. Kujang yang sejak tadi menghuni tangan Toto begitu cepat kini telah bersarang tepat di dada kiri laki-laki apes itu, bertubi-tubi Toto melepaskan amarahnya yang menyatu dengan rasa tega pada seonggok tubuh di hadapannya. Semua orang hanya terpaku, tak ada yang mampu berbuat apa-apa.
 

Semua seakan bisu. Tubuh malang itu kini terkapar bersimbah darah, ia sudah tidak berdaya, namun bagi Toto tubuh malang itu seakan masih menyembulkan rasa kebencian dan muak yang sangat dalam untuk dirinya. Dihirupnya udara ketenangan, ia maki sejenak mayat itu lalu meludahinya. Tubuh yang malang. Begitu malang sampai tak ada yang mengenali siapa seorang yang dibunuh itu. Toto bergegas pergi seperti hilang ditelan awan.

Sejak kejadian itu Toto menghilang entah ke mana, namun saat ini jelas ia kini telah menjadi buronan polisi atas pembunuhan seorang laki-laki di terminal. Tidak ada satu pun yang mengetahui ke mana Toto menghilang. Beberapa hari setelah kejadian semua orang mengenal Toto dimintai keterangan termasuk Kyai Mansyur pengasuh pondok pesantren tempat Toto menimba ilmu. Namun nihil, tidak ada yang mengetahui keberadaan Toto. Tiga bulan sudah Toto menghilang. Berita yang tadinya sempat santer di kalangan masyarakat umum khususnya di lingkungan pesantren seakan hilang ditelan bumi, sampai pada satu malam Toto datang ke pondok dengan tergesa-gesa.
 

Tubuhnya berkeringat, napasnya tak beraturan, dari balik dedaunan pohon pepaya di belakang pondok Toto mencoba memanggil seseorang dengan berbisik lirih. Ahmad yang ternyata mendengar suara dari balik kegelapan ini mencoba menghampiri, ia memicingkan mata. Alangkah kagetnya yang dilihat ternyata Toto, orang yang selama ini menjadi topik pembicaraan yang tak sudah-sudah. Ahmad menghampiri Toto, ia sama sekali tidak melihat wajah ketakutan di mata Toto. Ia begitu tenang, namun ia tampak tidak memiliki banyak waktu. Ia menceritakan semua perihal peristiwa yang ia alami. Ia bahkan menceritakan detil setiap peristiwa yang ia alami. Kata-kata membuncah begitu saja bagaikan peluru yang tak henti-henti. Ahmad hanya mengangguk-angguk. Ia benar-benar terdiam dan sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Toto tampaknya sudah selesai dan begitu tenang menyampaikan semuanya kepada Ahmad. Ia yang tak punya waktu banyak menepuk punggung Ahmad.
 

“saya pamit kawan, saya titip Kujang ini, tolong rawat baik-baik, ini adalah pemberian ayah saya, saya tidak mau dipegang oleh orang yang tidak saya kenal. Terima kasih kawan semoga kita dapat bersua lagi” Toto hilang ditelan gelap, Ahmad cuma bisa terdiam sambil menggulung Kujang pemberian Toto dengan kain. Dalam benaknya ia tidak bisa berkata Toto telah melakukan yang benar atau yang salah.
 

Toto telah pergi, namun entah ke mana, tak ada lagi yang ia kasihi, karena yang ia kasihi telah pergi menghadap Tuhan walau dengan aib dan nista yang dibawa, Uzlah bunuh diri namun itu bukan kehendaknya, kekasihnya dihamili oleh seseorang yang sangat dekat dengan dirinya, seseorang yang selama ini banyak mendapatkan pelajaran tentang bertahan hidup dengan kekerasan, kejahatan, dan kekejaman di terminal, seseorang yang selalu memanggil kakak kepada Toto. Seseorang yang mati terkapar bersimbah darah ditikam Kujang oleh Toto, kakak kandungnya sendiri, yang tak mampu menanggung malu dan aib adiknya sendiri terutama di depan kekasihnya Uzlah Utina yang terlebih dahulu menghadap Yang Kuasa.

Untuk sahabatku Toto
Semoga kita dapat bersua kembali kawan!

Seperti dimuat di laritelanjang.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar