8 Jul 2013

Menyoal Karya Sastra Terjemahan


 Tulisan ini juga dimuat di horisononline.or.id

Ulasan tipis ini dibuat untuk kepentingan diskusi Erlangga Book Club, Sabtu 13 April 2013

Prolog 
Izinkan saya membuka tulisan ini dengan kalimat-kalimat kegelisahan yang belakangan merundungi jiwa. Beberapa minggu lalu, saudari Winda sebagai penanggung jawab acara diskusi meminta saya untuk menjadi pemateri dalam diskusi Erlangga Book Club yang kalau tidak salah baru berjalan satu kali. Yang terlintas dalam pikiran saya waktu itu adalah perihal apa kiranya yang dapat saya sampaikan? Selama beberapa hari--di tengah kesibukan saya sebagai editor--saya mencari materi yang sekiranya tepat untuk dijadikan bahan diskusi, akhirnya saya putuskan untuk membicarakan tentang problem penerjemahan karya sastra, yang sekiranya cukup layak  menjadi bahan diskusi di Erlangga book club.

Inti permasalahan pada topik ini adalah: Penerjemahan karya sastra asing yang serasa jauh panggang dari api. Banyak karya sastra berbahasa asing diterjemahkan dengan kurang baik sehingga gagasan dan informasi yang diciptakan oleh penulis tidak mampu ditangkap dengan baik oleh pembaca, misalnya pengadopsian kultur asing secara mentah-mentah—tidak disesuaikan—ke dalam kultur Indonesia tentunya akan mengakibatkan ketidakpahaman pembaca sehingga makna tulisan menjadi bias dan lepas dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis. Hal ini kemudian yang mengakibatkan tulisan kurang atau bahkan tidak berkualitas.  

Problem penerjemahan karya sastra asing sebenarnya telah banyak disinggung oleh banyak penulis dan kritikus sastra kita, seperti Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, A Teeuw, Mochtar Lubis, Damhuri Muhammad, Aprinus Salam, dll. Secara umum, orang-orang ini menilai bahwa perlu ada kajian khusus yang mendetail tentang perihal bagaimana menerjemahkan karya sastra asing. Tidak hanya itu, problem ini juga telah menjadi buah bibir yang sering diperbincangkan di beberapa diskusi (seminar atau pembicaraan di dunia maya), dan ternyata tak sedikit orang yang yang mengatakan bahwa penerjemahan kita kurang menggairahkan, tidak bagus, tidak layak, dan sederet kepedihan lainnya yang tak perlu ditulis di sini.

Beberapa bulan lalu film Life of Pi besutan Ang lee booming hampir di seluruh negeri termasuk di Indonesia. Betul saja, film ini—bagi saya—sangat bagus sekali, baik secara ide cerita dan visualnya, sehingga ketika usai nonton saya ingin sekali mendapatkan fantasi jalan- hidup Pi melalui bukunya yang—katanya—telah lama diterjemahkan dan diterbitkan oleh salah satu penerbit di Indonesia. Singkat cerita akhirnya saya mendapatkan buku tersebut dan alangkah kagetnya saya, saat baru membaca di lembar pertama saja saya langsung menutup buku itu. Menurut saya terjemahannya kurang enak dibaca. Memang terdengar subjektif, tapi memang demikian adanya. 

Problem Penerjemah(an) 
Mungkin kita harus samakan persepsi kita bahwa karya sastra terjemahan adalah teks sastra “yang sudah berbeda” dari teks sastra dalam bahasa aslinya. Teks sastra terjemahan bukan lagi bagian dari khazanah sastra asalnya, tetapi menjadi bagian dari khazanah sastra dalam bahasa yang menerjemahkan teks tersebut. Novel Heart of The Matter karya Emily Giffin yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah bagian dari khazanah sastra Barat. Namun, jika novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa lain—misalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Isthi P. Rahayu (Di Antara Dua Hati, Penerbit Erlangga, 2012), maka novel tersebut kini telah menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia.

Pertanyaannya adalah apakah klaim “khazanah sastra Indonesia” atas karya asing yang diterjemahkan telah sejalan dengan kualitas penerjemahannya? Apakah persepsi bahwa karya tersebut telah menjadi khazanah karya sastra kita mampu dihadirkan oleh para penerjemah kita dengan menciptakan produk terjemahan yang layak dibaca sehingga tidak memalukan jika diklaim sebagai khazanah sastra Indonesia?

Maaf kalau saya harus subjektif, jujur selama ini saya belum banyak menemukan karya sastra terjemahan yang baik dan bagus. Para penerjemah kita masih banyak yang belum mampu menghadirkan ruh dalam penginterpretasian. Saya selalu berusaha mati-matian membaca terjemahan karya sastra, walaupun sebenarnya saya mampu mencerna, namun sebagai pembaca, saya merasa lebih banyak memberikan permakluman atas kekurangan di sana-sini ketimbang menikmati apa yang disajikan oleh buku-buku tersebut.

Hal ini sangat jauh berbeda ketika saya membaca buku terjemahan selain karya sastra yang ternyata lebih cemerlang. Ketika saya membaca buku terbitan Pranada Media, 2006 setebal 788 halaman yang berjudul Modern Sociological Theory (Teori Sosiologi Modern) karya George Ritzer & Douglas J. Goodman, tingkat kepahaman saya akan ide-ide tulisan yang diterjemahkan dengan baik oleh Alimandan meningkat dibadingkan ketika saya membaca buku teori sosiologi yang lain. Pemahaman yang serupa juga saya rasakan ketika membaca buku terbitan Paramadina, 2001 Liberal Islam: A Sourcebook (Editor Charles Kurzman) yang diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan E. Kusnadiningrat dengan sangat baik.

Dalam bidang filsafat, saya juga berkesempatan menjumpai karya-karya terjemahan bagus dari Haidar Bagir dan kawan-kawan yang tergabung dalam Dewan Redaksi Seri Filsafat Mizan, selanjutnya karya terjemahan yang baik juga disajikan oleh penerbit Ar-Ruzz melaui Seri Pemikiran Tokoh  yang diampu oleh Listiyono Santoso dkk.

Kenyataan-kenyataan di atas kemudian membuat saya memiliki kecurigaaan jangan-jangan salah satu penyebab tidak berkualitasnya penerjemahan karya sastra asing akhir-akhir ini terletak pada kurangnya pengetahuan penerjemah dalam menguasai kedalaman gaya sastra, baik secara teknik, budaya, dan kedekatan emosionalnya dengan sang penulis dan tulisannya.

Buku-buku yang saya sebutkan memang diterjemahkan oleh penerjemah yang memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang Sosiologi dan Filsafat. Contoh lain yang lebih spesifik dapat saya buktikan ketika membaca buku The Venture of Islam (Paramadina, 1999) karya seorang orientalis Marsall G.S. Hodgson yang diterjemahkan dengan sangat baik sekali oleh Mulyadhi Kartanegara. Mengapa? Itu karena Mulyadhi sudah sering bersinggungan dan sangat menguasai The Venture of Islam saat ia mengambil matakuliah “Islamic Civ.” di Universitas Chicago. Buku The Venture of Islam adalah buku rujukan utama pada matakuliah ini, dan tentu saja Mulyadhi sangat kenal dengan Marsall G.S. Hodgson karena ia yang merancang matakuliah “Islamic Civ.”. Hal ini membuktikan bahwa penguasaan materi dan kedekatan emosi sang penerjemah dengan penulis dan tulisannya sangat penting dalam usaha penerjemahan.

Selain penguasaan materi dan kedekatan emosi, penerjemah mungkin harus memiliki daya kreativitas dan daya tafsir yang tinggi. Damhuri Muhammad mengatakan bahwa menyunting teks tidak hanya perlu penguasaan terjemahan tekstual, tapi juga kecerdasan mengungkapkan tafsir kontekstual agar pesan teks asli tidak hilang. Damhuri menyoal perihal penerjemahan sastra—khususnya sastra Arab—dengan istilah “cita rasa”.  Menurutnya, para penerjemah memang menguasai bahasa Arab dengan baik, namun payah dalam bahasa Indonesia. Sehingga yang dihasilkan adalah teks terjemahan bahasa Indonesia yang bercita rasa bahasa Arab.

Problem “cita rasa” yang dipaparkan oleh Damhuri di atas  kiranya  pernah saya alami ketika awal-awal di Erlangga tahun 2010. Baru saja masuk saya langsung dijejali dengan buku terjemahan yang—menurut saya—diterjemahkan dengan ngasal. Buku yang saya maksud adalah buku terbitan Daar Al-Misriyah Al-Lubnaniyah Mesir yang berjudul Al-Bushairi: Syairul Burdah karya Ma’mum Gharib yang menjelma menjadi Syair Cinta Legendaris Islam: Al-Busairi & Syair Burdah (Pen. Misbakhul Khair, Erlangga, 2010). Menurut saya, terjemahan buku ini masih bercita rasa Arab dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kurang baik. Jadi, penguasaan materi dan kedekatan emosi, kreativitas, dan daya tafsir penerjemah sangat berpengaruh terhadap hasil terjemahan buku, khususnya karya sastra. 

Problem Bahasa 
Persoalan bahasa adalah kendala utama dalam penerjemahan. Aprinus Salam berpendapat bahwa Persoalan bahasa memang selalu menjadi salah satu faktor penentu akan keberadaan dan identitas teks sastra. Ketika sebuah novel dialihbahasakan, maka bukan sekadar “bahasa” akan tetapi muatan budaya, kesejarahan, nilai pengecapan bahasa, nilai budaya, nilai politik dan sosial, logika bahasa, dan sebagainya juga harus “diterjemahkan”.

Harus diakui, beberapa permasalahan kualitas buku cukup banyak ditimbulkan dari bahasa, dimulai dari penerjemahan (translating), penyuntingan (editing)—yang keduanya (penerjemah & penyunting) harus mampu melakukan upaya interpretasi bahasa (intrinsik), interpretasi penulis sosial budaya (ekstrinsik), penyesuaian gaya bahasa dan kultur bahasa, sampai pada pengemasan “produk jadi” (buku). Pentingnya pengolahan bahasa dalam suatu tulisan membuat disiplin ilmu seperti linguistik, semiotika, morfologi dan ilmu kebahasaan lainnya yang dimiliki penulis, menjadi perangkat elementer dalam menginterpretasikan tulisan yang diciptakan oleh penulis (author).

Sebetulnya ada banyak cara untuk menginterpretasikan hal tersebut, salah satunya adalah menggunakan pendekatan analisis sastra, misalnya metode sastra bandingan. Sastra bandingan adalah suatu kajian metodik dengan cara meneliti hubungan analogi, keterkaitan, pengaruh, dan hubungan karya sastra dengan bidang pengetahuan lainnya atau mengkaji peristiwa-peristiwa dan atau teks literatur, baik yang dihasilkan pada waktu dan ruang yang sama atau tidak selama itu merupakan bagian dari satu kebudayaan atau lebih.Tidak hanya itu, dalam penginterpretasian karya sastra, edior juga harus melakukan analisis struktural dan semiotik antara lain: Perbandingan (simile), metafora, perbandingan epos (epic simile), allegori, personifikasi, metonimia, sinekdoki (synecdoche), sehingga editor mampu menangkap pesan penting di dalam sebuah karya sastra, maka akan didapatkan kualitas buku internasional yang memiliki akrab dengan gaya kultur lokal.

Terlalu rumit memang jika kita harus bersinggungan dengan teori-teori yang njelimet di atas, namun, itulah bahasa, sebuah jalan keluar dari—meminjam istilah Mochtar Lubis—sistem komunikasi yang amat kompleks. Bahasa merupakan sebuah sistem komunikasi yang amat kompleks yang amat peka terhadap manipulasi yang disengaja atau tak disengaja terhadap makna kata-katanya. Namun, tidak ada salahnya jika terus berusaha untuk keluar dari kesulitan bahasa yang mengungkung kita. 

Pertanyaan krusial: apakah para penerjemah kita sudah cukup menguasai betul bahasanya sendiri (bahasa ibu kandung) dan bahasa asing tulisan yang diterjemahkannya? Apakah para penerjemah kita sudah mengenal, memahami, dan menguasai seluk-beluk penulis dan tulisannya, termasuk  budaya, sejarah, nilai pengecapan bahasa, nilai budaya, nilai politik dan sosial, dan logika bahasa sang penulis? Lalu, apakah para editor sudah cukup siap untuk menerima tongkat estafet penerjemahan dari sang penerjemah yang bisa saja bagus atau buruk? 

Interpretasi Budaya dan Kritik Sastra 
Tentang kebudayaan, ada yang menarik yang pernah diungkapkan oleh Ignas Kleden, bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Untuk dapat memberikan makna sepenuhnya pada sebuah karya, selain dianalisis intrinsiknya (strukruralnya) dan dihubungkan dengan kerangka kesejarahannya-(intertektualitas), maka analisis juga tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial budayanya (ekstrinsik). Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaaan masyarakat dan kekuatan pada zamannya. Maka dari itu, menganalisis karya sastra berarti juga harus menganalisis budaya, adat-istiadat, pandangan, dan benda-benda budaya yang terdapat pada masyarakat di lingkungan penulis.

Memahami budaya memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ignas Kleden mengatakan bahwa kebudayaan tidak selalu dihayati dalam cita rasa yang sama, dipahami menurut pengertian yang sama, atau dibicarakan dengan memakai idiom-idiom yang sama. Perbedaan-perbedaan itu selain mengangkat variasi dalam aksentuasi, melibatkan pula perbedaan logika, baik yang menyangkut kerangka konseptual maupun yang berkenaan dengan lingkup minat kepentingan masing-masing. Maka dari itu perlu adanya perangkat khusus untuk memahami sebuah karya sastra, karena karya sastra merupakan produk dari suatu budaya.

Kultur budaya yang berbeda antara budaya luar asing dengan budaya Indonesia (lokal) telah merubah pola pandang, cara hidup, dan bahasa antara keduanya sehingga masyarakat Indonesia belum tentu sepenuhnya memahami apa yang ditulis orang asing—tentunya yang ditulis dilatarbelakangi dengan budaya dan kultur si penulis—sehingga ketika buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, perlu adanya penyesuaian bahasa baik secara kultur sosial, budaya, dan antropologinya. Penyesuaian ini tentunya tugas dari seorang penerjemah dan editor buku. Sehingga seorang penerjemah dan Editor—dituntut tidak hanya mampu menginterpretasikan maksud yang termuat dalam buku tersebut, akan tetapi juga mampu menyesuaikan maksud tersebut ke dalam kultur Indonesia.

Kiranya betul apa yang dikatakan Aprinus Salam bahwa membaca karya terjemahan akan memberi "nilai tambah" bagi para pembaca. Karya terjemahan memberi keragaman informasi yang kaya perihal masyarakat, bangsa, dan negara asal karya tersebut. Jika sebuah bangsa terbiasa membaca karya terjemahan, kita terbiasa pula memahami perbedaan dan imajinasi bangsa lain. Di sini diharapkan terbangunnya budaya plural atau multikulturalisme. 

Epilog 
Bijak rasanya jika kita mau berusaha bersusah-payah mencari solusi untuk persoalan kualitas terjemahan— khususnya terjemahan karya sastra. Identifikasi masalah yang saya paparkan di atas dapat saja dijadikan salah satu solusi, namun itu hanyalah sebatas kulit ari. Pernah ada usul menarik—lebih lengkapnya baca di inisiatifpenerjemahansastra.org—dari Anton Kurnia seorang cerpenis, esais, editor, dan penerjemah karya sastra. Ia pernah mempresentasikan problem dan solusi dalam penerjemahan di acara Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang, tahun 2009. Anton mengusulkan pembentukan sebuah lembaga penerjemahan yang bertugas membantu dan memperbaiki kemampuan para penerjemah—khususnya para penerjemah sastra—dari berbagai bahasa ke bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya, lengkap dengan segenap fungsi dan fasilitas penunjang: referensi yang lengkap, jaringan yang luas, dan koordinasi yang baik. Lembaga ini juga bertugas memfasilitasi penerjemahan karya-karya sastra Indonesia terbaik ke berbagai bahasa asing, serta mengupayakan penerbitan dan penyebarannya.

Menurut Anton Kurnia, pembentukan serta pengelolaan lembaga ini hendaknya merupakan kerja sama antara pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan), berbagai kelompok praktisi penerjemahan (termasuk HPI), kalangan akademisi, para penerbit, dan kaum sastrawan, dengan melibatkan berbagai lembaga kebudayaan dan kedutaan asing (termasuk British Council, Goethe Institute, CCF–Pusat Kebudayaan Prancis, Erasmus Huis, dan Pusat Kebudayaan Jepang). Salah satu tugas lembaga penerjemahan sastra ini adalah mengupayakan pemberian penghargaan yang sepadan kepada para penerjemah agar mampu berkonsentrasi dalam berkarya. Namun, kontribusi utama lembaga ini tak dapat diukur dengan uang. Di lembaga ini, para penerjemah berbagai bahasa bisa berkumpul, berdiskusi membahas proses kerja, sekaligus meningkatkan komunikasi dan saling pengertian demi menghasilkan karya terjemahan yang baik kualitasnya—baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Karya terjemahan yang baik amat kita perlukan demi kemajuan sastra kita.

Jadi, para penerjemah kita tinggal memilih saja, mereka ingin menjadi penerjemah yang berusaha mentransformasikan satu konteks bahasa ke konteks bahasa lain sehingga teks terjemahan "sesuai" dengan teks aslinya, totok dengan teori-teori sastra, atau menjadi penerjemahan dengan paradigma kreatif yang menggabungkan seluruh ekspresi dan pengecapan rasa dan sedikit imajinasi.

Terserah sajalah, yang penting saya dapat menikmati terjemahan yang menarik, luwes, penuh impresi, dan membuat saya bahagia. Dan kalaupun nanti jika, seandainya, andaikan, misalkan, umpamanya, dst, penerjemahan kita sudah mampu menerjemahkan dengan baik dan menelurkan penerjemahan karya-karya yang bagus, sudah barang tentu perusahaan penerbitan akan selalu ketiban durian untung karena buku bagusnya laku keras di pasaran, tapi eit jangan senang dulu, masih ada PR kita satu lagi yang cukup meresahkan yaitu “Pembajak(an)”. Kita tahu, usaha penerbitan buku di Indonesia terseok-seok karena tingkat kegemaran membaca masyarakat kita rendah, ditambah kemampuan finansialnya yang sangat terbatas, tentu tidaklah menjanjikan akan menghasilkan untung yang menarik. Dan, kalaupun kebetulan ada buku yang laku, langsung diancam pembajakan. Kalaupun ada pengaduan, paling juga sering menguap di tengah jalan, karena pembajak lebih punya ”wibawa” tinggi ketika berhadapan dengan penegak hukum karena keuntungan pembajak jauh lebih besar daripada yang diperoleh penerbit asli. Terima Kasih. Salam kebudayaan. 

Sumber Bacaan
Joko Pradopo, Rachmat, Pengkajian Puisi, Universitas Gajah Mada Press, Jogjakarta, 1997.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1998.
Pichois & Rousseau, la litécomparée, Paris, A Colin, Coll. U2, A.M, 1967 seperti dikutip dalam  Jurnal Susastra Vol. I/ I, Himpunan Sarja Susatra Indonesia)
Hozumi, Tamotsu, Asian Copyright Handbook, Asia/Pasific Cultural Centre for UNESCO, 2004.
Gharib, Ma’mum Syair Cinta Legendaris Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta 2010.
Damhuri Muhammad, Darah-Daging Sastra Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta 2010.
Teeuw, A. Sastra Indonesia Baru I.  Flores-Ende: Nusa Indah, 1980.
________Indonesia : Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustaka Jaya, Jakarta 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar