Tulisan ini juga dimuat di horisononline.or.id
Ulasan tipis ini dibuat untuk kepentingan diskusi Erlangga Book Club, Sabtu 13 April 2013
Ulasan tipis ini dibuat untuk kepentingan diskusi Erlangga Book Club, Sabtu 13 April 2013
Prolog
Izinkan saya membuka tulisan ini dengan
kalimat-kalimat kegelisahan yang belakangan merundungi jiwa. Beberapa minggu
lalu, saudari Winda sebagai penanggung jawab acara diskusi meminta saya untuk
menjadi pemateri dalam diskusi Erlangga Book
Club yang kalau tidak salah baru berjalan satu kali. Yang terlintas dalam
pikiran saya waktu itu adalah perihal apa kiranya yang dapat saya sampaikan?
Selama beberapa hari--di tengah kesibukan saya sebagai editor--saya mencari materi yang sekiranya tepat untuk dijadikan bahan diskusi, akhirnya saya putuskan
untuk membicarakan tentang problem penerjemahan karya sastra, yang sekiranya cukup
layak menjadi bahan diskusi di Erlangga book club.
Inti permasalahan pada topik ini adalah: Penerjemahan
karya sastra asing yang serasa jauh panggang dari api. Banyak karya sastra berbahasa
asing diterjemahkan dengan kurang baik sehingga gagasan dan informasi yang diciptakan
oleh penulis tidak mampu ditangkap dengan baik oleh pembaca, misalnya
pengadopsian kultur asing secara mentah-mentah—tidak disesuaikan—ke
dalam kultur Indonesia tentunya akan mengakibatkan ketidakpahaman pembaca
sehingga makna tulisan menjadi bias dan lepas dari apa yang sebenarnya ingin
disampaikan penulis. Hal ini kemudian yang mengakibatkan tulisan kurang atau
bahkan tidak berkualitas.
Problem
penerjemahan karya sastra asing sebenarnya telah banyak disinggung oleh banyak
penulis dan kritikus sastra kita, seperti Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, A
Teeuw, Mochtar Lubis,
Damhuri Muhammad, Aprinus Salam, dll. Secara umum, orang-orang ini menilai
bahwa perlu ada kajian khusus yang mendetail tentang perihal bagaimana
menerjemahkan karya sastra asing. Tidak hanya itu, problem ini juga telah
menjadi buah bibir yang sering diperbincangkan di beberapa diskusi (seminar
atau pembicaraan di dunia maya), dan ternyata tak sedikit orang yang yang mengatakan
bahwa penerjemahan kita kurang menggairahkan, tidak bagus, tidak layak, dan
sederet kepedihan lainnya yang tak perlu ditulis di sini.
Beberapa bulan lalu film Life of Pi besutan Ang lee booming hampir di seluruh negeri
termasuk di Indonesia. Betul saja, film ini—bagi saya—sangat bagus
sekali, baik secara ide cerita dan visualnya, sehingga ketika usai nonton saya
ingin sekali mendapatkan fantasi jalan- hidup Pi melalui bukunya yang—katanya—telah lama diterjemahkan dan
diterbitkan oleh salah satu penerbit di Indonesia. Singkat cerita akhirnya saya mendapatkan buku
tersebut dan alangkah kagetnya saya, saat baru membaca di lembar pertama saja
saya langsung menutup buku itu. Menurut saya terjemahannya kurang enak dibaca. Memang
terdengar subjektif, tapi memang demikian adanya.
Problem
Penerjemah(an)
Mungkin kita harus samakan
persepsi kita bahwa karya sastra terjemahan adalah teks sastra “yang sudah
berbeda” dari teks sastra dalam bahasa aslinya. Teks sastra terjemahan bukan
lagi bagian dari khazanah sastra asalnya, tetapi menjadi bagian dari khazanah
sastra dalam bahasa yang menerjemahkan teks tersebut. Novel Heart of The
Matter karya Emily Giffin yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah bagian
dari khazanah sastra Barat. Namun, jika novel tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa lain—misalnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Isthi P.
Rahayu (Di Antara Dua Hati, Penerbit Erlangga, 2012), maka novel
tersebut kini telah menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah
klaim “khazanah sastra Indonesia” atas karya asing yang diterjemahkan telah
sejalan dengan kualitas penerjemahannya? Apakah persepsi bahwa karya tersebut
telah menjadi khazanah karya sastra kita mampu dihadirkan oleh para penerjemah
kita dengan menciptakan produk terjemahan yang layak dibaca sehingga tidak
memalukan jika diklaim sebagai khazanah sastra Indonesia?
Maaf kalau saya harus subjektif, jujur selama ini
saya belum banyak menemukan karya sastra terjemahan yang baik dan bagus. Para penerjemah kita masih banyak yang belum mampu menghadirkan ruh dalam penginterpretasian. Saya selalu
berusaha mati-matian membaca terjemahan karya sastra, walaupun sebenarnya saya
mampu mencerna, namun sebagai pembaca, saya merasa lebih banyak memberikan
permakluman atas kekurangan di sana-sini ketimbang menikmati apa yang disajikan
oleh buku-buku tersebut.
Hal ini sangat jauh berbeda ketika saya membaca buku
terjemahan selain karya sastra yang ternyata lebih cemerlang. Ketika saya
membaca buku terbitan Pranada Media, 2006 setebal 788 halaman yang berjudul Modern Sociological Theory (Teori
Sosiologi Modern) karya George Ritzer & Douglas J. Goodman, tingkat
kepahaman saya akan ide-ide tulisan yang diterjemahkan dengan baik oleh
Alimandan meningkat dibadingkan ketika saya membaca buku teori sosiologi yang
lain. Pemahaman yang serupa juga saya rasakan ketika membaca buku terbitan
Paramadina, 2001 Liberal Islam: A
Sourcebook (Editor Charles Kurzman) yang diterjemahkan oleh Bahrul Ulum dan
E. Kusnadiningrat dengan sangat baik.
Dalam bidang filsafat, saya juga berkesempatan menjumpai
karya-karya terjemahan bagus dari Haidar Bagir dan kawan-kawan yang tergabung
dalam Dewan Redaksi Seri Filsafat Mizan, selanjutnya karya terjemahan
yang baik juga disajikan oleh penerbit Ar-Ruzz melaui Seri Pemikiran Tokoh yang diampu oleh Listiyono Santoso dkk.
Kenyataan-kenyataan di atas kemudian membuat saya
memiliki kecurigaaan jangan-jangan salah satu penyebab tidak berkualitasnya
penerjemahan karya sastra asing akhir-akhir ini terletak pada kurangnya
pengetahuan penerjemah dalam menguasai kedalaman gaya sastra, baik secara
teknik, budaya, dan kedekatan emosionalnya dengan sang penulis dan tulisannya.
Buku-buku yang saya sebutkan memang diterjemahkan
oleh penerjemah yang memiliki pengetahuan yang memadai dalam bidang Sosiologi
dan Filsafat. Contoh lain yang lebih spesifik dapat saya buktikan ketika
membaca buku The Venture of Islam
(Paramadina, 1999) karya seorang orientalis Marsall G.S. Hodgson yang
diterjemahkan dengan sangat baik sekali oleh Mulyadhi Kartanegara. Mengapa? Itu
karena Mulyadhi sudah sering bersinggungan dan sangat menguasai The Venture of Islam saat ia mengambil
matakuliah “Islamic Civ.” di Universitas Chicago. Buku The Venture of Islam adalah buku rujukan utama pada matakuliah ini,
dan tentu saja Mulyadhi sangat kenal dengan Marsall G.S. Hodgson karena ia yang
merancang matakuliah “Islamic Civ.”. Hal ini membuktikan bahwa
penguasaan materi dan kedekatan emosi sang penerjemah dengan penulis dan tulisannya
sangat penting dalam usaha penerjemahan.
Selain penguasaan materi dan
kedekatan emosi, penerjemah mungkin harus memiliki daya kreativitas dan daya
tafsir yang tinggi. Damhuri Muhammad mengatakan bahwa menyunting teks tidak
hanya perlu penguasaan terjemahan tekstual, tapi juga kecerdasan mengungkapkan
tafsir kontekstual agar pesan teks asli tidak hilang. Damhuri menyoal perihal
penerjemahan sastra—khususnya sastra Arab—dengan istilah “cita rasa”. Menurutnya, para penerjemah memang menguasai
bahasa Arab dengan baik, namun payah dalam bahasa Indonesia. Sehingga yang
dihasilkan adalah teks terjemahan bahasa Indonesia yang bercita rasa bahasa
Arab.
Problem “cita rasa” yang
dipaparkan oleh Damhuri di atas kiranya pernah saya alami ketika awal-awal
di Erlangga tahun 2010. Baru saja masuk saya langsung dijejali dengan buku
terjemahan yang—menurut saya—diterjemahkan dengan ngasal. Buku yang saya maksud adalah buku terbitan Daar Al-Misriyah
Al-Lubnaniyah Mesir yang berjudul Al-Bushairi:
Syairul Burdah karya Ma’mum Gharib yang menjelma menjadi Syair Cinta
Legendaris Islam: Al-Busairi & Syair Burdah (Pen. Misbakhul Khair,
Erlangga, 2010). Menurut saya, terjemahan buku ini masih bercita rasa Arab dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kurang baik. Jadi, penguasaan
materi dan kedekatan emosi, kreativitas, dan daya tafsir penerjemah sangat
berpengaruh terhadap hasil terjemahan buku, khususnya karya sastra.
Problem
Bahasa
Persoalan bahasa adalah kendala utama dalam
penerjemahan. Aprinus
Salam berpendapat bahwa Persoalan bahasa memang selalu
menjadi
salah satu faktor penentu akan keberadaan dan
identitas teks sastra. Ketika sebuah novel dialihbahasakan, maka bukan sekadar
“bahasa” akan tetapi muatan budaya, kesejarahan, nilai pengecapan bahasa, nilai
budaya, nilai politik dan sosial, logika bahasa, dan sebagainya juga harus
“diterjemahkan”.
Harus diakui, beberapa permasalahan kualitas buku
cukup banyak ditimbulkan dari bahasa, dimulai dari penerjemahan (translating),
penyuntingan (editing)—yang keduanya (penerjemah & penyunting) harus
mampu melakukan upaya interpretasi bahasa (intrinsik), interpretasi penulis
sosial budaya (ekstrinsik), penyesuaian gaya bahasa dan kultur bahasa, sampai
pada pengemasan “produk jadi” (buku). Pentingnya pengolahan bahasa dalam suatu tulisan
membuat disiplin ilmu seperti linguistik, semiotika, morfologi dan ilmu
kebahasaan lainnya yang dimiliki penulis, menjadi perangkat elementer dalam
menginterpretasikan tulisan yang diciptakan oleh penulis (author).
Sebetulnya
ada banyak cara untuk menginterpretasikan hal tersebut, salah satunya adalah
menggunakan pendekatan analisis sastra, misalnya metode sastra bandingan.
Sastra bandingan adalah suatu kajian metodik dengan cara meneliti hubungan
analogi, keterkaitan, pengaruh, dan hubungan karya sastra dengan bidang
pengetahuan lainnya atau mengkaji peristiwa-peristiwa dan atau teks literatur,
baik yang dihasilkan pada waktu dan ruang yang sama atau tidak selama itu
merupakan bagian dari satu kebudayaan atau lebih.Tidak hanya itu, dalam
penginterpretasian karya sastra, edior juga harus melakukan analisis struktural
dan semiotik antara lain: Perbandingan (simile), metafora, perbandingan
epos (epic simile), allegori, personifikasi, metonimia, sinekdoki (synecdoche),
sehingga editor mampu menangkap pesan penting di dalam sebuah karya sastra,
maka akan didapatkan kualitas buku internasional yang memiliki akrab dengan
gaya kultur lokal.
Terlalu
rumit memang jika kita harus bersinggungan dengan teori-teori yang njelimet
di atas, namun, itulah bahasa, sebuah jalan keluar dari—meminjam istilah Mochtar Lubis—sistem komunikasi yang amat kompleks. Bahasa merupakan sebuah sistem
komunikasi yang amat kompleks yang amat peka terhadap
manipulasi yang disengaja atau tak disengaja terhadap makna kata-katanya. Namun, tidak
ada salahnya jika terus berusaha untuk keluar dari kesulitan bahasa yang
mengungkung kita.
Pertanyaan krusial: apakah para penerjemah kita sudah cukup menguasai betul bahasanya
sendiri (bahasa ibu kandung) dan bahasa asing tulisan yang diterjemahkannya?
Apakah para penerjemah kita sudah mengenal, memahami, dan menguasai seluk-beluk
penulis dan tulisannya, termasuk budaya,
sejarah, nilai pengecapan bahasa, nilai budaya, nilai politik dan sosial, dan logika bahasa sang penulis? Lalu, apakah
para editor sudah cukup siap untuk menerima tongkat estafet penerjemahan dari
sang penerjemah yang bisa saja bagus atau buruk?
Interpretasi
Budaya dan Kritik Sastra
Tentang
kebudayaan, ada yang menarik yang pernah diungkapkan oleh Ignas Kleden, bahwa
karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Untuk dapat memberikan makna
sepenuhnya pada sebuah karya, selain dianalisis intrinsiknya (strukruralnya)
dan dihubungkan dengan kerangka kesejarahannya-(intertektualitas), maka
analisis juga tidak dapat dilepaskan dari kerangka sosial budayanya
(ekstrinsik). Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak
terhindarkan dipersiapkan oleh keadaaan masyarakat dan kekuatan pada zamannya.
Maka dari itu, menganalisis karya sastra berarti juga harus menganalisis
budaya, adat-istiadat, pandangan, dan benda-benda budaya yang terdapat pada
masyarakat di lingkungan penulis.
Memahami
budaya memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ignas Kleden
mengatakan bahwa kebudayaan tidak selalu dihayati dalam cita rasa yang sama,
dipahami menurut pengertian yang sama, atau dibicarakan dengan memakai
idiom-idiom yang sama. Perbedaan-perbedaan itu selain mengangkat variasi dalam
aksentuasi, melibatkan pula perbedaan logika, baik yang menyangkut kerangka
konseptual maupun yang berkenaan dengan lingkup minat kepentingan
masing-masing. Maka dari itu perlu adanya perangkat khusus untuk memahami
sebuah karya sastra, karena karya sastra merupakan produk dari suatu budaya.
Kultur
budaya yang berbeda antara budaya luar asing dengan budaya Indonesia (lokal)
telah merubah pola pandang, cara hidup, dan bahasa antara keduanya sehingga
masyarakat Indonesia belum tentu sepenuhnya memahami apa yang ditulis orang
asing—tentunya yang ditulis dilatarbelakangi dengan budaya dan kultur si
penulis—sehingga ketika buku asing diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
perlu adanya penyesuaian bahasa baik secara kultur sosial, budaya, dan
antropologinya. Penyesuaian ini tentunya tugas dari seorang penerjemah dan
editor buku. Sehingga seorang penerjemah dan Editor—dituntut tidak hanya mampu
menginterpretasikan maksud yang termuat dalam buku tersebut, akan tetapi juga
mampu menyesuaikan maksud tersebut ke dalam kultur Indonesia.
Kiranya betul apa yang
dikatakan Aprinus Salam bahwa membaca
karya terjemahan akan memberi "nilai tambah" bagi para pembaca. Karya
terjemahan memberi keragaman informasi yang kaya perihal masyarakat, bangsa,
dan negara asal karya tersebut. Jika sebuah bangsa terbiasa membaca karya
terjemahan, kita terbiasa pula memahami perbedaan dan imajinasi bangsa lain. Di
sini diharapkan terbangunnya budaya plural atau multikulturalisme.
Epilog
Bijak rasanya jika kita mau berusaha
bersusah-payah mencari solusi untuk persoalan kualitas terjemahan— khususnya
terjemahan karya sastra. Identifikasi masalah yang saya paparkan di atas dapat
saja dijadikan salah satu solusi, namun itu hanyalah sebatas kulit ari. Pernah
ada usul menarik—lebih lengkapnya baca di inisiatifpenerjemahansastra.org—dari
Anton
Kurnia seorang cerpenis, esais, editor, dan penerjemah karya
sastra. Ia pernah mempresentasikan problem dan solusi dalam penerjemahan di
acara Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang, tahun 2009. Anton
mengusulkan pembentukan sebuah lembaga penerjemahan yang bertugas membantu dan
memperbaiki kemampuan para penerjemah—khususnya para penerjemah sastra—dari
berbagai bahasa ke bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya, lengkap dengan
segenap fungsi dan fasilitas penunjang: referensi yang lengkap, jaringan yang
luas, dan koordinasi yang baik. Lembaga ini juga bertugas memfasilitasi
penerjemahan karya-karya sastra Indonesia terbaik ke berbagai bahasa asing,
serta mengupayakan penerbitan dan penyebarannya.
Menurut Anton Kurnia, pembentukan serta
pengelolaan lembaga ini hendaknya merupakan kerja sama antara pemerintah (dalam
hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan), berbagai kelompok praktisi
penerjemahan (termasuk HPI), kalangan akademisi, para penerbit, dan kaum
sastrawan, dengan melibatkan berbagai lembaga kebudayaan dan kedutaan asing
(termasuk British Council, Goethe Institute, CCF–Pusat Kebudayaan Prancis,
Erasmus Huis, dan Pusat Kebudayaan Jepang). Salah satu tugas lembaga
penerjemahan sastra ini adalah mengupayakan pemberian penghargaan yang sepadan
kepada para penerjemah agar mampu berkonsentrasi dalam berkarya. Namun,
kontribusi utama lembaga ini tak dapat diukur dengan uang. Di lembaga ini, para
penerjemah berbagai bahasa bisa berkumpul, berdiskusi membahas proses kerja,
sekaligus meningkatkan komunikasi dan saling pengertian demi menghasilkan karya
terjemahan yang baik kualitasnya—baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa
asing. Karya terjemahan yang baik amat kita perlukan demi kemajuan sastra kita.
Jadi, para penerjemah kita tinggal
memilih saja, mereka ingin menjadi penerjemah yang berusaha mentransformasikan
satu konteks bahasa ke konteks bahasa lain sehingga teks terjemahan
"sesuai" dengan teks aslinya, totok dengan teori-teori sastra,
atau menjadi penerjemahan dengan paradigma kreatif yang menggabungkan seluruh
ekspresi dan pengecapan rasa dan sedikit imajinasi.
Terserah sajalah, yang
penting saya dapat menikmati terjemahan yang menarik, luwes, penuh impresi, dan
membuat saya bahagia. Dan kalaupun nanti jika, seandainya,
andaikan, misalkan, umpamanya, dst, penerjemahan kita sudah mampu menerjemahkan
dengan baik dan menelurkan penerjemahan karya-karya yang bagus, sudah barang
tentu perusahaan penerbitan akan selalu ketiban durian untung karena buku
bagusnya laku keras di pasaran, tapi eit jangan senang dulu, masih ada
PR kita satu lagi yang cukup meresahkan yaitu “Pembajak(an)”. Kita tahu, usaha
penerbitan buku di Indonesia terseok-seok karena tingkat kegemaran membaca
masyarakat kita rendah, ditambah kemampuan finansialnya yang sangat terbatas, tentu
tidaklah menjanjikan akan menghasilkan untung yang menarik. Dan, kalaupun
kebetulan ada buku yang laku, langsung diancam pembajakan. Kalaupun ada
pengaduan, paling juga sering menguap di tengah jalan, karena pembajak lebih
punya ”wibawa” tinggi ketika berhadapan dengan penegak hukum karena keuntungan
pembajak jauh lebih besar daripada yang diperoleh penerbit asli. Terima Kasih. Salam kebudayaan.
Sumber Bacaan
Joko Pradopo, Rachmat, Pengkajian Puisi, Universitas Gajah Mada Press, Jogjakarta, 1997.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1998.
Pichois & Rousseau, la litécomparée, Paris, A Colin, Coll. U2, A.M, 1967 seperti dikutip dalam Jurnal Susastra Vol. I/ I, Himpunan Sarja Susatra Indonesia)
Hozumi, Tamotsu, Asian Copyright Handbook, Asia/Pasific Cultural Centre for UNESCO, 2004.
Gharib, Ma’mum Syair Cinta Legendaris Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta 2010.
Damhuri Muhammad, Darah-Daging Sastra Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta 2010.
Teeuw, A. Sastra Indonesia Baru I. Flores-Ende: Nusa Indah, 1980.
________Indonesia : Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustaka Jaya, Jakarta 1994.
Joko Pradopo, Rachmat, Pengkajian Puisi, Universitas Gajah Mada Press, Jogjakarta, 1997.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1998.
Pichois & Rousseau, la litécomparée, Paris, A Colin, Coll. U2, A.M, 1967 seperti dikutip dalam Jurnal Susastra Vol. I/ I, Himpunan Sarja Susatra Indonesia)
Hozumi, Tamotsu, Asian Copyright Handbook, Asia/Pasific Cultural Centre for UNESCO, 2004.
Gharib, Ma’mum Syair Cinta Legendaris Islam, Penerbit Erlangga, Jakarta 2010.
Damhuri Muhammad, Darah-Daging Sastra Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta 2010.
Teeuw, A. Sastra Indonesia Baru I. Flores-Ende: Nusa Indah, 1980.
________Indonesia : Antara Kelisanan dan Keberaksaraan, Pustaka Jaya, Jakarta 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar