23 Nov 2010

Bayang-bayang PKI

 "Komunisme gagal, dan ada sebuah lelucon tentang itu. Saya mendengarnya di tepi Sungai Neva, Petersburg, di tahun 1990."

Di tepi bengawan yang membelah kota tua itu tertambat kapal penjelajah Aurora, yang sudah jadi sebuah museum. Tanggal 6 Nopember 1917, dari meriam kapal yang dikuasai para pelaut Bolsyewik ini, ditembakkanlah sebutir peluru kosong. Pasukan komunis pun menyerbu Istana Musim Dingin, tempat pemerintahan non-komunis yang dipimpin Kerensky berada. Kaum Bolsyewik menang, Kerensky lari, dan Rusia menjadi negeri komunis pertama di dunia.
Lebih dari 70 tahun kemudian, ketika komunisme terbukti tidak mampu membuat hidup yang lebih baik di sana, orang pun mencemooh: kapal Aurora ternyata punya senjata yang paling dahsyat di dunia, katanya. Dengan satu peluru kosong, ekonomi Rusia dapat dihancurkan selama 70 tahun lebih.
Dari segi ini, komunisme adalah sebuah cerita tragis sebenarnya.
Cita-cita keadilan yang mendorongnya sejak abad ke-19 kandas setelah beratus ribu, mungkin berjuta, orang berani dan merelakan diri untuk membunuh dan dibunuh, di Rusia, di Cina, di Kamboja, di Indonesia.
Yang barangkali sekarang bisa dilihat kembali dengan masygul ialah bahwa sebenarnya jauh hari menjelang akhir abad ke-19 di kalangan Marxis dan gerakan buruh sendiri, sudah ada suatu kebutuhan untuk meninjau kembali paham gerakan komunis.
Kita tahu sebabnya: kapitalisme, seperti yang nampak di Eropa waktu itu, menunjukkan daya tahan yang liat. Ia tidak kunjung runtuh seperti yang diramalkan Marx. Ia mampu mengadaptasikan diri dengan tuntutan kenyataan, misalnya desakan kelas pekerja. la hidup di suatu sistem yang demokratis dan tidak merasa sempurna, yang menyebabkan cacat-cacatnya sendiri dengan mudah ditelaah dan dikurangi.
Tapi Lenin punya teori “dua tahap revolusi”. Ia hendak menghela sebuah masyarakat yang sebetulnya masih dini dalam tahap awal kapitalisme—yang jumlah proletariatnya masih amat kecil—ke bawah “kediktaturan proletariat”, untuk menciptakan sebuah masyarakat komunis. Tapi ternyata peluru kosong yang ditembakkan dari kapal di Sungai Neva di tahun 1917 itu juga menandai suatu kekosongan yang lain: ada sesuatu yang tidak riil dalam teori Lenin.
Mungkin itu awal dari kegagalan yang kemudian terjadi. Tentu saja banyak yang dicapai oleh sang pembangun Rusia itu, juga oleh Stalin maupun Mao, untuk negeri mereka masing-masing. Tetapi sebuah partai yang didirikan atas nama kaum buruh, di tengah mayoritas yang bukan-buruh, nampaknya sulit mendapatkan dukungan sosial-ekonomis dari keadaan sekitarnya. Para petani, umpamanya, akhirnya tetap mempunyai peran yang besar. Jika mereka merasa tidak diperlakukan semestinya (misalnya tidak bisa memanfaatkan alat produksi untuk keuntungan mereka), mereka akan bisa membuat persoalan jadi rumit. Khususnya dalam produksi pangan.
Sebuah kekuasaan Partai Komunis yang hidup di tengah dunia yang bukan komunis, bahkan antikomunis, pada akhirnya harus mengerahkan diri untuk bertahan, dan alokasi dana dan daya untuk itu tidak selamanya didukung oleh kekuatan ekonomi yang besar.
Tapi apapun sebabnya, kemudian satu hal jelas: akhirnya bangunan dan sistem yang ditinggalkan Lenin, Stalin, dan Mao tidak bertahan. Mereka tidak bisa menyaingi, apalagi mengalahkan, sistem ekonomi yang berlangsung di luar mereka.
Bahwa kini, Cina dan Vietnam, misalnya, mempraktekkan cara kapitalisme dengan sukacita, bahkan dengan gairah—meskipun di bawah para pemimpin Partai Komunis yang masih mempertahankan legitimasi mereka dengan menyebut diri “komunis”—menunjukkan bahwa mereka telah sampai pada kesimpulan: sistem ekonomi yang dahulu berlangsung di luar mereka menang.
Di Indonesia, komunisme juga gagal. Tentu harus dicatat: ia gagal sebelum berkuasa. Ia gagal dengan cara yang berbeda. PKI dihancurkan oleh lawan-lawan politiknya. Namun dengan kenyataan itu pun barangkali dari sini ada sesuatu yang bisa ditelaah.
PKI adalah partai komunis yang terbesar, dari jumlah orang yang diklaim sebagai anggota, di dunia di luar di Uni Soviet dan di RRC. Ketika pemilihan umum yang bebas berlangsung di tahun 1955, partai itu tampil sebagai salah satu dari empat partai yang besar. Tetapi mengapa satu dasawarsa kemudian, ia dapat dihancurkan dengan begitu mudah, tanpa perlawanan yang berarti? Tidakkah di sini ada suatu faktor internal dari partai itu yang menyebabkan ia habis dengan gampang?
Pertanyaan ini memang di Indonesia jarang ditampilkan dan dicari jawabnya. Kebanyakan perbincangan tentang PKI di Indonesia selama 30 tahun ini belum berangkat dari suasana traumatik di tahun 1965, setelah peristiwa “Gerakan 30 September” dan kekerasan yang meluas setelah itu menyebabkan puluhan, mungkin ratusan, ribu orang dibunuh dan dipenjarakan. Mereka yang dulu jadi angota PKI atau simpatisannya barangkali merasakan pukulan itu terlalu pahit, banyak yang merasa dikhianati oleh nasib maupun kelicikan manusia, terutama yang menindas mereka.
Agaknya dari sini lahir teori bahwa CIA, atau sebuah kekuatan tunggal, telah mengatur semuanya sehingga PKI pun remuk redam. Atau kalau tidak, sebagai korban ketidakadilan, para anggota PKI dan simpatisannya cenderung merasa tak patut untuk menganalisa kekurangan di tubuh sendiri di masa lampau.
Tidak ditinjau misalnya, sejauh mana siasat PKI yang mendesak pembubaran partai dan organisasi sosial politik lain, siasat yang juga ikut dalam memperlemah insitusi-institusi demokratis di dalam masa “Demokrasi Terpimpin”, pada gilirannya hanya memperkuat kekuatan anti-demokratis dan perilakunya, dan akhirnya memojokkan PKI sendiri—sementara PKI tidak memegang monopoli alat pemaksaan seperti halnya ABRI, musuh politiknya.
Atau ada juga kemungkinan lain: bagi yang telah melakukan otokritik, tak ada tempat untuk berbicara secara terbuka. Atau mungkin mereka tidak mau hasil temuan kritik diri itu dikemukakan ke kalangan luas—kalau perlu dengan diterbitkan di luar negeri—karena itu pun mengesankan semacam pengkhianatan.
Sebaliknya, terutama dari kalangan pemerintah, gagalnya komunisme di Indonesia cenderung dilihat sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan realitas sosial, sehingga tanggal 1 Oktober adalah “Hari Kesaktian Pancasila”, seakan-akan suatu keajaiban. Tidak pernah ditelaah, benarkah analisa PKI-tentang eksploitasi, terutama di daerah pedesaan, memang cocok dengan kenyataan di Indonesia. Yang ada hanyalah kecenderungan untuk melihat PKI sebagai bagian daridemonologi baru: sesuatu yang jahat sekali tapi kuat sekali, sesuatu yang gelap dan rahasia, sesuatu yang sewaktu-waktu bisa menerkam kita kembali tatkala kita abai.
Di kalangan generasi yang lebih muda, PKI umumnya diterima dengan ngeri atau takjub: juga sebuah mitos. Mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran sejarah yang memberikan analisa yang kritis. Mereka sangat repas, dan mudah terjebak, oleh keyakinan-keyakinan yang cepat. Dan ketika mereka tak putus-putusnya mendengar suara agar tetap waspada pada “bahaya PKI”, mereka pun mau tak mau mempunyai gambaran yang ganjil tentang partai yang sudah dinyatakan terkubur bahkan sebelum mereka lahir itu: seakan-akan PKI adalah kesatria hitam, atau semacam Setan, dan itu berarti tak pernah kalah, tak pernah menyerah, tak pernah berubah, sama sekali.
Atau sedikitnya semua suara gagau “awas-bahaya-PKI” itu lambat laun begitu rutin, dan tak masuk akal pula, terutama bagi mereka (yang rata-rata umurnya di bawah 30 tahun) yang tidak pernah hidup sebagaimana para pemimpin Indonesia (yang rata-rata umurnya di atas 50 tahun), yakni hidup dengan terancam oleh akan berkuasanya PKI. Bisa dimengerti: ini tahun 1990-an, menjelang abad ke-21, ketika bahkan di Rusia, Cina dan Vietnam pun orang tidak percaya lagi bahwa Marxisme-Leninisme akan bisa kembali untuk memikat menjanjikan suatu masa depan yang lebih baik.
Buku ini disusun oleh satu tim (umumnya generasi muda) yang ingin tahu lebih jauh di balik mitos. Gagalnya PKI bisa diusut dari kehancurannya setelah “Gerakan 30 September”. Maka pelbagai teori tentang kejadian itu pun dicoba dikemukakan, dan ditelaah.
Pada garis besarnya—sesuai dengan sifatnya sebagai mitos—peristiwa yang menentukan itu oleh pelbagai kalangan selama ini hanya nampak sebagai “Peristiwa”—sesuatu yang dahsyat, krusial, apokaliptik, sekaligus misterius. Ia cenderung ditilik sebagai suatu yang sumbernya tunggal, bukan sebagai sesuatu yang lahir dari “aksiden”, melainkan dari esensi, bukan sebagai sesuatu yang tidak mudah diperhitungkan ujungnya, melainkan sesuatu yang sudah pasti.
Dengan singkat: orang menuntut adanya sesuatu yang “linear”, atau sebuah “struktur”. Maka orang pun datang menawarkan teori konspirasi, dalam pelbagai jenis, pelbagai versi—karena teori konspirasi adalah teori orang malas yang tidak tahan dengan kerumitan dan kepelbagai ragaman unsur, dan khaos.
Saya misalnya pernah membaca sebuah “teori” bahwa seluruh kejadian “Gerakan 30 September”, termasuk Brigjen Supardjo dan Letkol Untung, adalah kreasi CIA semata-mata—tanpa mempersoalkan lebih dulu, benar mampukah CIA jadi dewa yang bisa melakukan segala hal, benarkah CIA tidak pernah bobol, tak pernah bodoh, meskipun niat badan itu berantakan waktu mendukung Pemberontakan PRRI-Permesta di akhir tahun 1950-an.
Atau ada juga teori bahwa dalam peristiwa yang melibatkan sejumlah besar aktor yang berbeda-beda itu, dengan hubungan yang beragam pula, ada satu dalang (misalnya Bung Karno atau Pak Harto) yang bisa mengatur semuanya—seakan-akan dalam percaturan politik yang ruwet dan penuh silang susup di tahun 1960-an, ada satu atau dua orang yang mampu punya kaitan total dengan beragam anasir, dan secara penuh bersatu dengan nasib baik, sehingga berhasil memainkan orang dan kekuatan lain seperti menyodok bola di kamar bilyar.
Sebaliknya ada juga teori bahwa dalam peristiwa ini seluruh Partai Komunis Indonesia terlibat, dan sebab itulah semua orang PKI layak dibasmi—seakan-akan PKI bukanlah partai yang, seperti partai yang lain, punya perbedaan, bahkan perpecahan di dalam tubuhnya, juga cacat-cacatnya sendiri.
Mitos memang mudah menjawab pelbagai pertanyaan dengan satu patah kata, dan sekaligus melupakan hal-hal lain yang masih menggantung. Kenapa, misalnya, PKI tidak siap menyusun satu sayap militer, sementara pengalaman partai komunis di negeri lain menunjukkan bahwa kekuatan bersenjata di bawah kontrol partai adalah esensial dan kekuasaan, seperti kata Mao, “lahir dari laras bedil”? Adakah hal ini disebabkan oleh kian dekatnya PKI dengan establishment waktu itu, hingga kehilangan militansi dan kewaspadaan di pucuk pimpinan? Ataukah semuanya sudah terlambat, setelah PKI di pertengahan tahun 1950-an memilih jalan non-militer? Tidakkah terjadinya pemberontakan PRRI-Permesta yang dipimpin oleh sejumlah perwira ABRI yang antikomunis sudah seharusnya cukup jadi isyarat agar PKI punya alternatif perjuangan bersenjata?
Ada usaha memang, di tahun 1965, untuk membentuk “Angkatan ke-5” dengan mempersenjatai “buruh dan tani”, tetapi agaknya itu sudah terlambat.
Mungkin hal ini bisa menjelaskan informasi bahwa Ketua Partai, D.N. Aidit, akhirnya hanya punya satu cara yang karena sifatnya, harus ia tangani sendiri, tanpa melibatkan banyak orang, juga di dalam Partai: menggerakkan apa yang disebut “biro khusus”—meskipun istilah ini belum jelas dari mana asalnya, sebab tidak lazim dalam leksikon Partai Komunis. Dengan cara infiltrasi, seraya memanfaatkan konflik dan ketidakpuasan di kalangan ABRI, suatu usaha pembersihan “dari dalam” bisa dilakukan, tanpa PKI menunjukkan sikap berkonfrontasi secara terbuka.
Yang kemudian jadi pertanyaan, tentu, mengapa pada saat yang sama tidak disiapkan sebuah rencana tindakan alternatif bila infiltrasi itu, di saat yang menentukan, gagal. Yang jelas, tidak ada gerakan massa dari jumlah pendukung PKI yang besar setelah itu. Semua seakan-akan mungkin dari Bung Karno—suatu sikap ketergantungan kepada satu tokoh yang, sebagaimana seorang manusia biasa, punya reaksi yang tak selamanya bisa diperhitungkan dalam suatu krisis.
Tentu saja, yang saya paparkan barusan hanya sebuah spekulasi. lahir dari sejumlah pertanyaan dan mungkin lebih bersifat merangsang pertanyaan-pertanyaan baru ketimbang menjawabnya. Tapi itulah salah satu ikhtiar kami, atau setidaknya ikhtiar buku ini, untuk menghadapi bayang-bayang PKI dengan sikap yang lebih merdeka: bebas dari takhayul. (source:www.goenawanmohamad.com)
—————
*) Esai ini terbit pertama kali sebagai kata pengantar untuk buku 
Bayang-bayang PKI yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar