18 Mar 2011

Mimpi



Apa jadinya jika cinta yang dianggap kekal, tapi justru ia meninggalkanmu. Apa jadinya jika pemberian yang dianggap kekal, padahal ia hanya sesaat, ia datang dengan sendirinya, berpaling dengan sendirinya, kapan pun ia mau.

“Namanya juga cinta, Bu…” Aku hanya bisa menjawab demikian ketika ibu menanyakan perihal waktuku yang terkuras habis untuk bermesraan dengan Firas. Ibu sempat menasihatiku sebelum menutup teleponnya, aku hanya terdiam mendengar nasihat yang sering kali diutarakannya itu kepadaku. Perhatian ibu kepadaku memang menanjak drastis semenjak ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Memang wajar adanya kalau ibu bersikap demikian, karena aku anak semata wayangnya, siapa lagi yang ia miliki selain diriku. Aku jadi sedih kalau teringat ibu, aku ingin selalu berada di sampingnya, tapi pekerjaanku tidak memungkinkan keinginan itu bisa terwujud. Ditambah lagi aku sering menghabiskan waktu luangku untuk Firas, kekasih hati yang sangat aku sayangi, pasti sangat sedikit sekali waktuku untuk ibu. Firas, gadis manis asal Bandung yang telah mengobrak-abrik palung hatiku. Pernah sesekali aku ajak dia untuk kuperkenalkan kepada ibu, namun tampaknya ibu tidak begitu suka dengannya, entah lantaran cemburu karena aku lebih memilih menghabiskan waktu dengannya atau ia merasa iri karena ia lebih cantik dari ibu, atau ada alasan lain yang belum sempat aku cari. Alah, semua itu tidak jadi masalah buatku, bagiku cintaku kepada Firas membuatku tidak mampu memikirkan hal lain selain dirinya, senyumannya, tatapan matanya yang hangat, melihat caranya berbicara, caranya menyentuhku, memanjakanku, seakan semuanya surga telah tersirat dalam kehidupanku.

Kulaju mobil sedan warisan mendiang ayah dengan kecepatan penuh, aku ingin buru-buru bertemu Firas, aku tidak mau ada waktu terbuang sia-sia, siang ini aku berjanji menemuinya di tempat biasa kami bertemu untuk makan siang. Kuraih ponselku, aku hanya ingin memastikan apakah dia sudah sampai di mana. Bunyi RBT terlontar di telingaku, sebuah lagu yang membuat kami berani berikrar menjadi sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Aku jadi teringat ketika dahulu aku begitu tergila-gila kepada Firas, berbagai cara aku lakukan untuk menumbangkan hatinya. Banyak pria-pria yang juga mendekatinya, namun bagiku tidak masalah, maju tak gentar, membela yang benar! Teriakku dalam hati. Bagiku memburu cintanya adalah sebuah kebenaran, dan bagiku akulah yang paling benar, benar-benar cinta kepadanya.

Lamunanku hangus ketika suara RBT selesai dan Firas belum juga mengangkat telepon genggamnya, beberapa konklusi kerdil mampir di pikiranku, mungkin dia sedang dalam perjalanan, mungkin ponselnya menggunakan profil silent, atau dia sedang mengerjaiku supaya aku panik atau membuatku penasaran, ah, aku tak tau, tapi, tidak seperti biasanya, alah.. daripada memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, lebih baik aku telepon dia kembali, toh, apa ruginya? Gitu aja kok repot, kata Gusdur. Tidak lama setelah terdengar suara RBT, “Halo…” tiba-tiba terdengar suara orang menjawab telepon, tapi anehnya suara itu suara laki-laki, bukan suara yang aku harapkan, bukan suara Firas. Aku kaget bukan main, suara siapa ini? Geram aku membatin “Halo.. ini dengan siapa saya bicara?” aku memburunya. “Halo.. Saya Dokter Yabi, maaf pak, siapa pun Anda, saya hanya ingin mengabarkan bahwa yang memiliki ponsel ini telah mengalami kecelakaan kendaraan, harap bapak datang ke rumah sakit Fatmawati segera, kondisi korban sangat kritis.” Jawabnya dengan sedikit tergesa-gesa.

Seperti dieksekusi di depan tujuh penembak jitu, seluruh badanku lemas, detup jantung tak beraturan, mataku berkunang-kunang, tidak! Aku tidak bisa terima ini! Teriakku dalam hati, rasanya jantung ini terbakar dahsyat, dan ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya, menerjang apa pun yang ada di hadapannku, hatiku hancur, aku tak bisa menerima berita ini, berita terburuk yang pernah aku terima, bahkan lebih buruk dari berita kematian ayahku sendiri.

Kubanting setir, aku harus cepat-cepat ke rumah sakit, aku harus ada di sana sebelum malaikat maut datang ke sana, mungkin masih ada kesempatan, aku tidak mau nama Tuhan buruk di mataku, memberiku rasa cinta yang besar kepada seseorang namun seenaknya sendiri merenggut cinta itu pada waktu yang tidak seharusnya. Aku yakin, aku pasti marah pada-Nya, aku pastikan aku akan memaki-Nya habis-habisan jika Ia melakukan itu.

Gedung berwarwa putih tepat menjulang di hadapanku. Dengan langkah yang tak karuan kususuri lantai demi lantai rumah sakit, tubuhku bersimbah keringat, tanganku gemetar, detak jantung hilir mudik ke arah antara “hidup” dan “mati”, aku bisa kalahkan kekhawatiran ini! Bisikku pada diri sendiri, Firas akan baik-baik saja! Ajal tidak akan mampu menghambat doaku, mudah-mudahan.

Kaki ini seperti ditancap pasak raksasa ketika aku telah berada di depan ruang bertuliskan Ruang “Bunga Jepun VI”, tepat di sini, di ruangan ini, seperti yang diberitahukan oleh si penelpon yang entah siapa namanya itu, aku sudah lupa. Kubuka pintu dengan ratusan doa dan ancaman kepada Tuhan, entahlah, keduanya terus saling berkejar-kejaran di pelipis sanubariku, entah siapa yang akan menang, entahlah, yang jelas aku ingin cepat-cepat melihat Firas.

Belum usai kemelut jiwa yang mengaduk-aduk ruang batinku itu, tersentak dari kejauhan aku melihat seonggok tubuh yang baru saja ditutup kain putih, tubuhnya penuh darah, tangannya dilipat di atas perut, oh Tuhan, apakah itu Firas? Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak bisa terima ini! Mungkin itu orang lain! Seonggok tubuh yang menyendiri dalam kesunyian. Dengan langkah yang tak karuan ku hampiri tubuh itu, orang-orang yang tadinya ada di sekeliling tubuh itu perlahan menjauh, beberapa dari mereka terlihat menyeka keringatnya yang mengucur deras, tampaknya pekerjaan mereka cukup melelahkan, kusingkap perlahan kain yang menutupinya, Alah! Sialan!! Aku aku tak sanggup membukanya, kuurungkan sejenak niatku itu, tanganku gemetar seperti tersengat listrik ribuan volt, bangsat!! Aku tak mampu, benar-benar tak mampu!! Dengan penuh kesesakan kubuka kain itu perlahan.

Seperti dihujam pedang jantungku menjadi pecah, hancur berkeping-keping. Sialan!! Bangsat!! Bangsaaaat!! Makian itu tentu saja aku tujukan kepada Tuhan, aku teriak dengan sekuat-kuatnya, kenapa semua ini terjadi padaku? Jiwa ini seakaan melayang, seakan tidak ingin ada hasrat untuk menjalani hidup lagi, pikiranku entah ke mana, semuanya menjadi begitu sunyi, begitu tenang, entah kenapa, mungkin aku telah sampai pada titik sakit yang sesakit-sakitnya, sehingga justru ketenangan yang aku dapatkan. Aku jadi linglung, entah perasaan apa yang sedang aku rasakan, aku tak bisa apa-apa, kesedihan menyelimuti jiwaku, air mata tak lagi menampung kegetiran yang luar biasa ini! Tidak setetes pun turun dari mata ini.

Tidak! Firas tidak boleh pergi meninggalkanku! Tidak! Firas tidak boleh dikubur! Tidak! Firas bukan milik siapa-siapa! Firas bukan milik Tuhan! Tidak! Firas adalah milikku! Milik Ricard! Hatinya bukan milik siap-siapa! Tetapi milik Ricard! Tidak! Tidak! Kuraih jenazah Firas, kuangkat dan kini ia berada dalam dekapan eratku, darah segarnya hijrah ke tubuhku, seakan-akan kami menyatu, aku ingin membawanya, entah ke mana, kemana saja bagiku itu tidak penting, aku ingin bersamanya. Seseorang mencoba datang kepadaku dan mengatakan bahwa aku tidak boleh membawa jasadnya, aku jadi kesal padanya, kumaki ia sejenak dengan kata-kata kotor tentunya, dan kuludahi dia habis-habisan, ia terlihat begitu kesal. Seseorang yang lain juga coba menenangkan, tapi aku ancam dia, aku akan membunuhnya jika aku tak boleh membawa jasad Firas. Yang jelas, semua melarangku membawa jasad Firas, aku dapat merasakannya, mereka tidak mengerti tentang perasaanku. Berapa pun jumlah kalian, Alah! aku tidak takut! Bahkan kalau sampai Tuhan yang ada di hadapannku, pun aku akan menerjangnya!

Dengan sekuat tenaga kubongkar barisan orang-orang yang ada di hadapanku, namun tubuhku justru terpental, jasad Firas pun ikut berlabuh di lantai, aku semakin kesal dengan orang-orang ini, orang-orang yang tak mengerti perasaan! Mataku yang liar tiba-tiba melihat sebilah pisau bedah yang bertumpuk di antara alat-alat yang lain, entah mengapa alat itu begitu indah dalam pandanganku. Kuraih dengan cepat lalu kuacungkan ke arah siapa saja yang berani mendekat.

Kuraih jasad Firas, kuacungkan sekali lagi pisau bedah itu ke arah orang-orang dalam ruangan, sesekali kupandang wajah kekasihku yang sangat kukasihi ini, kurengkuh bibirnya, masih manis, semanis pertama kali kami berciuman dulu. Aku cinta kamu, Fir! Hatimu hanya untuku, Fir! Sejenak aku terdiam, kutenggelamkan bibirku di telinganya, tidak ada satu pun yang mendekat, seakan ikut menyimak keheningan yang terjadi sejenak, dan mungkin kini mereka mulai mengerti perasaanku.

Hatimu! Hatimu! Yah, hatimu hanya untukku! Ucapku lirih. Dengan cepat kuangkat tinggi-tinggi pisau bedah yang ada di tangan kananku, lalu kuhujam dada kiri jasad Firas dengan dahsyat, darah muncrat di kemejaku membentuk butiran-butiran liar, membulir dan terjun membentuk semacam akar tanaman. Serentak semua orang teriak histeris, ada yang menutup wajahnya, ada yang buru-buru ke luar ruangan. Kuputar pisau yang kini menghuni di dadanya untuk membentuk lingkaran, aliran darahnya semakin mengucur deras, aku hanya bisa menonton mereka yang terus-terusan terjun ke baju dan celana yang kukenakan. Bau anyir darah kini hinggap di indra penciumanku. Mana hatinya? Hatinya hanya milikku! Keringat mulai terjun dari batas rambutku, sama sekali tak ada rasa jijik, yang ada hanya perasaan cinta yang menggebu, keinginan mengambil hatinya, karena hatinya hanya untukku.

Hatinya! Yah hatinya, aku telah menemukannya, bersembunyi di balik daging payudaranya, segera kurampas hatinya, tanpa aba-aba kumakan hatinya, kulumat buru-buru, aku tergesa-gesa, aku takut ada yang mengambil hatinya, karena hatinya hanya milikku. Tiba-tiba sebuah benda menghantam bagian kepalaku, kepalaku pusing, mau pingsan rasanya, tapi aku mau tetap terjaga bersama jasad Firas, tak lama sebuah jarum kecil menghujam lenganku, ah sial!! Siapa yang menyuntikku, Bangsat!! Teriakku, tadinya mau kuhujam dia dengan pisau namun benda itu entah ke mana aku tak tau. Perlahan semuanya terasa berat, aku mengantuk, ngantuk sekali, tiba-tiba semuanya gelap.

”Ricard! Ricard!” terdengar seseorang memanggilku, aku terkaget bukan main, mata ini terasa perih, perih sekali, tubuhku seperti remuk menjadi beberapa bagian, dan keringat panas mulai mengucur di sekujur tubuhku.
”Kenapa tidur di sini?” pertanyaan itu terdengar aneh di telingaku.
”Tidur?” aku balik bertanya.
”Iya, kamu tertidur sejak tadi di sini, di bawah pohon kamboja.” Perlahan aku mulai sadar, aku telah lama terlelap di bawah pohon ini, dan ternyata aku baru saja bermimpi.

”Mungkin kamu kelelahan, ayo ibu antar kamu ke kamar kamu.” Dengan perlahan orang itu mengangkat tubuhku yang kuyu, ia mendudukanku di atas kursi roda, tampaknya mimpi itu telah banyak menguras energi tubuhku. Orang itu memapahku dengan penuh kesabaran, perlahan aku baru teringat ternyata dia adalah seseorang yang selalu merawatku. Aku juga baru ingat kalau aku telah menghuni tempat ini sejak dua tahun yang lalu. Aku juga baru teringat, kalau dua tahun yang lalu Firas meninggal karena kecelakaan. Aku juga baru teringat, ketika aku tidak bisa menerima kematiannya, aku memakan jantungnya. Aku juga baru teringat kalau aku berada di sini karena divonis telah mengalami gangguan kejiwaan. Oh Tuhan, tiba-tiba aku teringat ibu. Teringat wajah ibu, Aku baru teringat. Yah, aku baru teringat. Kupalingkan wajahku ke arah seseorang yang memapahku, sepintas wajahnya tidak asing, aku tersenyum padanya, ia membalas senyumanku, lalu tiba-tiba air matanya menetes. Tiba-tiba aku teringat paras ibu, paras ibu yang tidak berbeda sama sekali dengan paras wanita tua yang sedang memapahku. Ia pasti ibuku, hiburku dalam hati.


14 Februari 2011
Seperti dimuat di laritelanjang.net
ilustrasi: laritelanjang.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar