21 Mar 2011

Pinangan, Karya: Anton Chekov

( RUANG TAMU DI RUMAH RADEN RUKMANA KHOLIL)

RUKMANA : Eee ... ada orang rupanya. O ... Agus Tubagus, aduh, aduh, aduh ... Sungguh diluar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA BERSALAMAN).

AGUS : Baik, baik, terima kasih, bagaimana dengan Bapak?

RUKMANA : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik melupakan tetanggamu, Agus. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian? Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi kemana?

AGUS : Oh, tidak Aku hanya akan mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik.

RUKMANA : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.

AGUS : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Rukmana? Segelas air!

RUKMANA : (KESAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya.
(KEPADA AGUS) Apa soalnya, Agus?

AGUS : Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.

RUKMANA : Akh, Agus jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?

AGUS : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.

RUKMANA : (DENGAN GIRANG) Anakku Agus, Agus Tubagus, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya.

AGUS : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ...
RUKMANA : Anakku sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu lama sekali. Memang itulah keinginku. Aku selalu mencintaimu, Agus. Seperti kau ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...

AGUS : Pak Rukmana Kholil yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk melamar saya?

RUKMANA : Bagi seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)

AGUS : Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan, Ratna Rukmana gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek, terpelajar, tamatan SKP ... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup. (MINUM)
Chh ... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK)

RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil barangnya? Apa kabar Agus Tubagus?

AGUS : Apa kabar Ratna Rukmana yang baik?

RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang? Duduklah.
(MEREKA DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya. Dan aku seharusnya menunggu.
(MEMANDANG SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, Agus? Huu ... kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?

AGUS : (GUGUP) Begini Ratna Rukmana yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)

RATNA : Ada apa? (HENING)

AGUS : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Rukmana yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga Jayasasmita, ayahku, dan keluarga Raden Rukmana, ayahmu, selalu rukun dan boleh dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Sari Gading”-ku yang dibatasi oleh pohon-pohon ...

RATNA : Maaf, saya memotong. Kau katakan Lapangan “Sari Gading“ apa benar itu milikmu?

AGUS : Ya, itu milikku.

RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Bukan milikmu.

AGUS : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Rukmana yang manis.

RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milikmu.

AGUS : Tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan “Sari Gading” yang terbentang antara Anyer dan Jakarta.

RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.

AGUS : Tidak, Ratna Rukmana yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.

RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Agus Tubagus ... Sejak berapa lama tanah itu menjadi milikmu?

AGUS : Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? selamanya aku punya ingatan, tanah itu adalah milik kami.

RATNA : Mana bisa ... ?

AGUS : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Rukmana Kholil. Lapangan “Sari Gading” dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu miliku dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Nenek-Bibiku mengijinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak Harto lengser ...

RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakkekku, keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai Rawa Pening. Jadi Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana Agus Tubagus.

AGUS : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Rukmana ...

RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Agus Tubagus Jayasasmita. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh bahu dan harganya paling tinggi tiga ratus ribu rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes karena ketidak adilan. (AGUS BERAKSI INGIN BICARA)
Kau boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan ketidakadilan.

AGUS : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani Kakek-Ayahmu seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk Nenek-Bibiku. Dan karena Nenek-Bibiku ingin membalas kebaikan ini ...

RATNA : Kakek-Nenek-Bibi, aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami ! Itulah !

AGUS : Milikku ... ! ..., Milikku ... !

RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas, Lapangan “Sari Gading“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!

AGUS : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Rukmana. Kalau kau mau akan kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah.

RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Agus Tubagus. Percayalah. Sampai sekarang aku masih memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi hingga bulan Nopember dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, Agus Tubagus. Ini bukan sikap tetangga yang baik. Terlebih-lebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.

AGUS : Kalau begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Chh, aku belum pernah merampas tanah orang lain, nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.

RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di lapangan itu.

AGUS : Akan kulempar mereka semua keluar!

RATNA : Awas kalau kau berani!

AGUS : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Sari Gading” adalah miliku.

RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila di rumahmu sendiri. Tapi disini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat.

AGUS : Kalau aku tidak sakit napas, nona. Kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK) Lapangan “Sari Gading“ milikku.

RATNA : Punya kami!

AGUS : Punyaku!

RATNA : Kami!

AGUS : Punyaku! (RUKMANA KHOLIL MASUK)

RUKMANA : Ada apa dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak?

RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Sari Gading“. Dia atau kita?

RUKMANA : Agus, Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.

AGUS : Masya Allah, Rukmana ! Bagaimana bisa menjadi milikmu?
Cobalah sedikit adil. Nenek-Bibi meminjamkan Lapangan “Sari Gading“ tersebut kepada petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami.

RUKMANA : Maaf, Agus. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Nenekmu dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gus.

AGUS : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!

RUKMANA : Akan tidak bisa, Nak ...

AGUS : Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)

RUKMANA : Mengapa kau berteriak-teriak, Agus? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyakanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan kepunyakanku. Untuk apa? Kalau kau, Agus ... Kalau kau sudah berani mencoba untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu.

AGUS : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain?

RUKMANA : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namammu: “Juragan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku sudah dua kali umurmu, Juragan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan seterusnya ...

AGUS : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan mentertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Rukmana Kholil ... Kau bukan tetangga yang baik. Kau lintah darat!

RUKMANA : Apa katamu, Agus? Lintah darat?

RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.

AGUS : Apa katamu, nona?

RATNA : Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ...

AGUS : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan pengadilan bahwa akulah pemiliknya.

RUKMANA : Di depan pengadilan boleh saja, Juragan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ... Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !

AGUS : Bapak jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Jayasasmita selalu orang yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti pamanmu. (KEPADA RATNA)

RUKMANA : Semua keturunan Jayasasmita keturunan gila !

RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... !

RUKMANA : Kakekmu seorang pengadu ayam, bibimu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan seterusnya ... (LEMAH)

AGUS : Dan bibimu seorang yang bongkok.
(MEMEGANG JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah ... Air ...

RUKMANA : Dan ayahmu seorang yang mata keranjang!!!

RATNA : Dan tak ada lagi selain Bibimu yang mulutnya latah dan judes ...

AGUS : Oooohh ... Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintuny?! Aku mau pulang ... !!

RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!!

RUKMANA : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar malapetaka, itulah kau!

AGUS : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya? ... (KELUAR)

RUKMANA : Selangkahpun kamu jangan lagi memasuki rumah ini!

RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (AGUS KELUAR MERABA PINTU)

RUKMANA : Persetan dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)

RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?, penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!!

RUKMANA : Dan si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah ... Melamar.

RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa?

RUKMANA : Dia datang ke sini untuk melamarmu ...

RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu? (MENYESAL)

RUKMANA : Karena itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!

RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia kembali lagi.

RUKMANA : Aduh, bawa dia kembali?

RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

RUKMANA : Aduh ... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI KELUAR)

RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

RUKMANA : (MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku, kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau.

RATNA : Tidak. Ayah yang salah!

RUKMANA : Ha ... ? Salahku? Begitukah? (AGUS MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (RUKMANA KELUAR)

AGUS : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

RATNA : Kami minta maaf, Agus. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru, Agus Tubagus Jayasasmita, sekarang aku ingat Lapangan “ Sari Gading “ adalah milikmu. Sungguh-sungguh ...

AGUS : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Sari Gading“ adalah milikku. Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.

RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.

AGUS : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang aku hargai adalah prinsipnya.

RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja.

AGUS : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Rukmana. Nenek-Bibiku memberikan ijin kepada petani-petani ayahmu ...

RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana memulainya. (KEPADA AGUS) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari?

AGUS : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah panen selesai, Ratna Rukmana yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si Belang, anjingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ...

RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ...

AGUS : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, anjingku adalah yang terbaik. Lagi pula belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar kepada Haji Soleh sebanyak dua ribu rupiah untuk si Belang?

RATNA : Terlalu mahal, Agus Tubagus.

AGUS : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia anjing yang lucu dan cerdas.

RATNA : Ayah hanya membayar lima ratus rupiah untuk si Kliwon, dan si Kliwon jauh lebih cerdik daripada si Belang.

AGUS : Si Kliwon lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Kliwon lebih cerdik dari si Belang?

RATNA : Ya, tentu saja. Si Kliwon masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-sifatnya dan cerdiknya, Raden Jayasasmita tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang bisa mengalahkannya.

AGUS : Maaf, Ratna Rukmana. Tapi kau lupa bahwa si Kliwon berkumis pendek. Dan, ooo ... Anjing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.
RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang hal itu.

AGUS : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.

RATNA : Sudah kau ukur?

AGUS : Oh ya, anjingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.

RATNA : Tetapi pada anjing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah tua dan jelek seperti kuda yang hampir mati.

AGUS : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh ekor anjing seperti si Kliwon. Dan si Kliwon itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai berpuluh-puluh anjing, seperti si Kliwon itu. Dan lima ratus rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.

RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Agus Tubagus. Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Sari Gading“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau mengatakan si Belang anjingmu lebih cerdik dari si Kliwon. Aku tidak suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa anjing kami seratus kali lebih bagus dan berharga daripada anjingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang sebaliknya?

AGUS : Sekarang sudah jelas, Ratna Rukmana. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa anjingmu berkumis pendek.

RATNA : Bohong ... !

AGUS : Betul ... !

RATNA : Bohoooooong ... !

AGUS : Mengapa menjerit-jerit? Mengapa kau berteriak-teriak?

RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Kliwon.

AGUS : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebar-debar.
RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu.

AGUS : Nona, kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah!

RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Kliwon seratus kali lebih baik dari si Belang.

AGUS : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan si Kliwon. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ... Pundakku ...

RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap mati saja.

AGUS : Diam! Hatiku mau pecah! Oh.

RATNA : Sekarang apa lagi? (RUKMANA MUNCUL) Ayah katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, anjing mana yang lebih baik, si Kliwon atau si Belang?

AGUS : Pak Rukmana, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si Kliwon berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?

RUKMANA : Mengapa kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa? Tidak ada lagi anjing yang baik di seluruh daerah kita ini.

AGUS : Tetapi anjing si Belang lebih baik dari si Kliwon, bukan?

RUKMANA : Jangan terburu-buru, Agus. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang baik. Dia anjing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ... Tapi anjing itu Agus, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...

AGUS : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di rumah Wak Mansyur, anjing Raden Martasuwanda dikalahkan si Belang, sedangkan anjing Bapak, si Kliwon, setengah kilo di belakang mereka.

RUKMANA : Bohong, Agus. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini. Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat anjing orang lain. Misalkan saja kau menemukan bahwa anjing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Agus?

AGUS : Kuingat juga ...

RUKMANA : (MENIRUKAN) Kuingat juga. Apa yang kau ingat?

AGUS : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ...

RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah. Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan anjing orang lain. Kau seharunya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ...

RUKMANA : Ya! Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu, tak apalah, tapi kau Cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, Agus. Lebih baik kau hentikan saja perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu!
AGUS : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang berkomplot!

RUKMANA : Apa? Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!

AGUS : Tukang komplot!

RUKMANA : Pengecut! Anak liar!

AGUS : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat!

RUKMANA : Tutup mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok!

AGUS : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ...

RUKMANA : Dan kau suka menggoda babu-babu tetanggamu.

AGUS : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI)

RUKMANA : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang hawa.

RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !

RUKMANA : Siapa mati? (MELIHAT AGUS) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN AIR DI BIBIR AGUS)
Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(AGUS BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah,Agus ...

AGUS : (BERKUNANG-KUNANG) Dimana aku?

RUKMANA : Sebaiknya kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan akan kuberikan anakku kepadamu.

AGUS : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa?

RUKMANA : Ia menerima kamu dan persetan dengan kalian.

RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu.

RUKMANA : Jabatlah tangannya, Nak. Dan seterusnya ...

AGUS : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis.

RATNA : Saya ... saya juga senang Agus Tubagus.

RUKMANA : Nah ... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.

RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Kliwon .

AGUS : Dia lebih cerdik, Ratna.

RATNA : Ia kurang cerdik!

AGUS : Ia lebih cerdik.

RATNA : Kurang!

AGUS : Lebih!

RATNA : Kurang!

AGUS : Lebih!

RUKMANA : Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia seopasang suami-istri! Mari kita berpesta!

L a y a r T u r u n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar