4 Apr 2011

Pemikiran Islam


Judul: Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd
Editor :John Cooper, Ronald L. Nettler, dan Mohamed Mahmoud
Penerjemah :Wakhid Nur Effendi
Penerbit:Erlangga, 2006
Halaman:xxi + 233
Peresensi: Testriono


Modernitas, sebagai kemampuan manusia untuk secara optimal menggunakan akalnya dalam mengelola, mengubah dan mengendalikan alam, memang membawa kejutan-kejutan yang tak terduga, yang menghentak kesadaran orang-orang yang menganggap bahwa kepatuhan dan kesetiaan pada tradisi adalah sejenis keagungan dan kebenaran tertinggi.


Perubahan besar yang menyertai modernitas lantas membuat kita, masyarakat Timur yang melihat modernitas sebagai suatu bawaan dari bangsa Eropa yang menyertai kolonialisme dan imperialisme, mesti bersikap: menerima dengan terbuka, versi lain dengan memilah dan menyaring secara selektif dan hati-hati, atau dengan sebuah penolakan tegas yang defensif bahkan frontal—meski kadang diam-diam yang terakhir ini juga menyerap modernitas tanpa mengakui terus terang.

Ya, agama lantas harus diperhadapkan dengan arus deras modernitas yang tak terbendung itu. Karena agama, merupakan salah satu pengisi gerbong lokomotif tradisi, juga sebaliknya; tradisionalisme menghuni ruang-ruang tertentu dalam agama, yang kemudian berdampak pada pola dan sikap keberagamaan yang beragam.

Islam memang lantas terlihat tak ubahnya kendaraan yang digunakan untuk mengangkut pemikiran dan sikap yang menghadapi modernitas dengan sinis dan permusuhan. Padahal, Islam tak pernah menolak atau mendukung modernitas, sebagaimana Islam tak pernah condong pada satu mazhab, ideologi, atau kotak pemikiran tertentu.

Maka, muncullah suara-suara dalam gerbong besar pemikiran Islam yang mencoba mencari keterpautan: dukungan, keabsahan, atau kesesuaian antara Islam dan modernitas. Islam dijadikan hamparan samudera tempat mencari semangat modernitas yang kini berkembang. Pada aras lain, Islam dijadikan senjata untuk mengkritik modernitas yang dianggap semu dan merusak.

Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, adalah sebuah buku yang mencoba merangkum gagasan yang tersebar dalam pemikir-pemikir Muslim kontemporer, yang mencoba memahami hubungan Islam dan modernitas lewat pendekatan yang beragam: teologi, sosial, filsafat, hukum, antropologi, hingga politik dan sastra. Tak hanya dasar-dasar pemikiran yang dikaji, tapi juga masyarakat dan agama sebagai instituti.

Persoalan mendasar yang mengemuka sesungguhnya terletak pada, bagaimana menemukan pijakan untuk modernitas yang tengah menderas itu, dalam dasar-dasar dan tradisi Islam. Cukup menantang memang, terutama bila mengingat tradisi Islam telah terbentuk sejak hampir 1500-an tahun yang lalu, sementara modernitas baru berumur sekitar dua abad. Sederhananya, bagaimana menjadi Muslin sekaligus modern?

Persoalan tersebut muncul oleh sebab pengaruh modernitas yang tak selamanya berakibat positif, tetapi juga membawa dampak-dampak negatif seperti kekacauan yang timbul akibat pertentangan nilai-nilai lama yang sudah melekat dalam masyarakat dengan nilai-nilai baru yang dibawa modernitas. Individu-individu menjadi terasing (teralienasi), terpisah dari masyarakatnya, dan tercabut dari akarnya hingga kehilangan identitasnya. Dampak selanjutnya adalah ketegangan sosial, disintegrasi masyarakat, ketidakstabilan politik, bahkan gangguan psikologis dan ekonomi. Maka, sebagian menganggap perlu adanya pencarian titik temu antara Islam dan tradisi dengan modernitas. Meski, kutub ini juga tidak bisa dianggap mainstream.

Setidaknya, menurut Derek Hopwood dalam artikel pengantarnya, “Kultur Modernitas di Dalam Islam dan Timur Tengah”, respons terhadap modernitas yang muncul dari dalam Islam dapat dikategorikan ke dalam tiga arus: pembaruan kembali (tajdid) yang dimotori oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi pada awal abad 18, reformisme (salafiyyah) yang disuarakan oleh Jamaluddin al-Afghani, dan fundamentalisme sebagaimana yang disebarkan oleh Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb lewat Ikhwanul Muslimin.

Tajdid lebih berorientasi pada pemurnian Islam dan ketaatan pada syariah, dengan penyeruan pada penghapusan bid’ah dan rezim-rezim yang ada dengan pemerintahan di bawah kekuasaannya. Reformisme lebih cenderung merupakan reaksi terhadap tantangan pemikiran yang dimunculkan dunia modern, sementara fundamentalisme melihat Barat dengan modernitasnya sebagai ancaman bahkan invasi terhadap dunia Muslim.

Melalui buku ini kita akan diperlihatkan secara jernih bagaimana ketiga kategorisasi di atas mendasari respons pemikir-pemikir Muslim yang lebih kontemporer terhadap modernitas. Karena memang, buku ini sesungguhnya berasal dari lokakarya yang bertujuan mendiskusikan berbagai gagasan dari beberapa intelektual Muslim terkemuka pada abad ke-20.

Abdul Karim Soroush, Muhammad Said Ramadan al-Buti, Husain Ahmad Amin, Mahmud Muhammad Taha, Muhammad Talbi, serta Muhammad Abid al-Jabiri adalah para intelektual Muslim yang dikaji oleh para pakar, sebagian di antaranya adalah orientalis, dari sudut tertentu dan berdasarkan spesialisasi bidang yang didalami. Sehingga, kita tidak akan meragukan lagi kadar ilmiah dan kedalaman bahasannya. Muhammad Arkoun dan Nasr Hamid Abu Zaid bahkan menyumbang artikel, masing-masing bedasarkan pendekatan semiotik dan hermeneutik sesuai keahliannya.

Maka, Pemikiran Islam memang sebuah buku penting untuk mengetahui bagaimana para pemikir Muslim kontemporer tersebut membicarakan Islam dan modernitas dalam sudut pandang yang beragam dan tentunya dengan kedalaman dan kejernihan yang, pastinya tidak dengan semangat berperang, juga tidak asal bicara. 

beli buku klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar