17 Feb 2012

Tentang Hendri Yetus Siswono


foto diambil saat Hendri mengumumkan saldo amal musolah
Namanya Hendri, kerap dipanggil Mashen, Yetus, atau Rahim (yang terakhir ini panggilan aneh dari abeng, entah dari mana asal-usulnya, saya sempat menanyakan kepada yang bersangkutan, tapi cuma dijawab “wih wih wih berkembang luh ben.. berat pule.. apa yang mau diangkat? Nah, repotkan nerusinnya? Yaudah biarin aja”). Wajah rupawan, senyum manis menawan menyungging dari gigiya yang gingsul aduhai, rambut tebal, lebat nan hitam pekat rapi tertata dan klimis, kumisnya tipis, pertanda ia rajin merawatnya, matanya sedikit sayu dan nanar namun cukup membuat para wanita rela bergelantungan di bahunya. Setelan kemeja putih dengan susur-susur hitam lembut garis simetris ke batas bawah dan celana jeans mulus wangi kerap membalut tubuhnya. Tidak terlalu tinggi memang, namun terlihat (ingat! terlihat) kekar dan cukup atletis. Biasanya tas pinggang hitam model tergress selalu menghuni bahu kanannya, di dalamnya terdapat paling tidak dua bungkus rokok gudang garam filter, buku sastra (lebih spesifiknya kumpulan puisi WS. Rendra), dan beberapa biji koinan sisa kembalian beli rokok. Perangainya lembut, padahal alisnya tebal (itulah uniknya, hah unik? Barang antik kali?) Tutur katanya tertata baik, pertanda dia doyan baca dan diskusi, terlebih ketika ia tengah menggoda seorang perempuan.  

Namanya Hendri, biasa dipanggil Mas Hen. Sudah lebih dari delapan tahun ini ia hidup dengan semangat dari teman-temannya. Kalau bukan karena teman-temannya mungkin ia kini sudah mati, begitu pikirku suatu hari. Bagiku ia adalah sosok anak muda yang sejati (sejati itu semacam rokok ya?). Ia selalu mengerti apa yang diinginkannya dan paham betul apa yang dilawannya. Baginya, hidup tidak memiliki jalan pasti, tapi mau tidak mau semua orang harus melaluinya. Ia seperti melawan arus, tapi begitu tenang, atmosfir yang ditata di matanya tidak pernah mampu dideteksi siapa pun. Ia seperti terus dan terus menembus ruang pikir yang dimiliki manusia, entah sampai kapan ia lelah . Ia begitu khas, dan ia mampu menjaga kekhasan tersebut lantaran bukan karena sensasi, tapi itulah kenyataan yang ada padanya, ia hidup, mengalir, dan bejalan seperti yang ia mau.
Nah! Ini dia! Anda bisa lihat kan? gak keurus! *eh salah foto

Namanya Hendri, ada juga yang memanggilnya Yetus. Jauh terpaut dari laga yang ia peragakan ketika masih bekerja dulu. Kini, wajahnya garang, terlihat begitu matang, senyumnya samar, entah bahagia atau tak suka (seperti biasa, tak ada yang mampu merentasnya) rambutnya gondrong, tampak tak terawat, kumis dan jenggotnya nya dibiarkan tumbuh liar, seperti tanaman yang merindukan hujan, matanya nanar seakan tidak memiliki tuan, cara berpakaiannya aneh (ingat! caranya), kemeja safari hitam dengan lengan yang pendek, dalam pandanganku ia seperti security (tapi ngakunya penyair). Kehadiran Hendri di tengah-tengah kami tidak tanpa alasan, satu-satunya alasan yang membuatnya datang ke sini adalah takdir Tuhan, begitu ia pernah berkata.

Delapan tahun yang lalu kami bertemu dia ketika kami sedang latihan di sebuah taman yang manis bernama kamboja. Ia datang layaknya produser yang hendak mencari bakat-bakat aktor dan aktris yang terpendam. Tadinya aku berpikir seperti itu, laki-laki dengan gaya dan stelan yang rapi ini ternyata jauh dari dugaanku, ia hanya menambah deretan panjang cerita kesengsaraan yang harus dipikul para seniman seperti kami, hidup tak teratur, Jarpul alias “Diajarin si ipul”, maaf maksud saya jarang pulang, dan selalu saja membawa cerita luka, luka, luka, luka karena cinta.
Nah, ini baru versi yg aslinya! eh tapi gak jauh beda!

Hendri pernah bercerita tentang desanya nun jauh di sana, di selangkangan ceritanya ia kerap menyelipkan kalimat “saya dan warga desa saya itu adalah orang-orang yang pemberani, garang, siapa saja dilawan, bahkan karang pun dihantam (mungkin ini semacam agitasi atau hipnotis alam bawah sadar supaya kami yang mendengarkan menciptakan kesepakatan bahwa hendri ini galak dan gak culun, padahal?). Siapa pun yang ingin macam-macam dengan warga kampungnya pasti akan dilawan. Begitulah ceritanya padaku.cerita yang menggebu. Kini cerita itu tak lagi menepi di telingaku. Cerita riuh riang yang kerap mengalun di sisa-sisa malam. Kerinduan? Kerinduan tentu masih ada dan akan tetap ada. Nanti apabila kita bersua, saya harap Anda masih Hendri, Hendri yang kerap berkata berapa anjing yang kau pelihara dalam hatimu?.

3 komentar:

  1. Tulisannya bagus mas.. seperti bertutur tapi nyastra dan lucu.. salam kenal dari saya ya..

    (Layla Najwa)

    BalasHapus
  2. hahaha terima kasiiih terima kasiiihhh.. salam kenal juga ya mba Layla...

    BalasHapus
  3. Ngakak,,, nyinyir,,, dalam,,, perih,, sosok orang diampar-ampar.. padat...merayap.. menyentuh... bagus...

    BalasHapus