11 Des 2010

Melihat Wajah Tionghoa Indonesia

Sumber: Koran Jakarta, 28 Oktober 2010
Judul : Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa
Peresensi: Muhammad Bagus Irawan
Penulis : Dewi Anggraeni
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 1, Oktober 2010
Tebal : 286 halaman
Secara figuratif, melihat sejarah tragedi kerusuhan Mei 1998 menjadi puncak ketidakadilan dan pelampiasan emosi liar tertuju pada etnik Tionghoa. Sebuah tragedi kemanusiaan yang sempat mengguncang kaidah moralitas bangsa Indonesia. Ya, saat itu kekerasan, perusakan, penjarahan, pemerkosaan pecah menimpa etnis keturunan China itu.
Meskipun faktanya hanya segelintir bangsa saja yang menjadi sumbu penyulut api. Dalam asumsi mereka seolah keturunan China identik dengan stigma krisis nasionalisme, insan yang eksklusif, ketagihan mencari uang dengan segala cara, tak menghiraukan apa pun di sekitarnya.
Etnik Tionghoa secara intuitif menyerap untaian dan imaji negatif dalam kerangka sistemik politisasi selama Orde Baru, seakan mendapat kekangan. Hingga asumsi itu diproyeksi steorotipe dan berkembang menjadi pandangan sentimen segelintir kecil bangsa.
Padahal, setelah tragedi Mei 1998 itu sebagian besar nurani bangsa pribumi prihatin dan turun melindungi Tionghoa yang termarginalkan, menjadi korban tak berdosa. Inilah semangat multikulturalisme dan pluralisme yang menjadi tonggak utama nilai reformasi yang dipelopori Gus Dur.
Begitulah, gambaran miris dan tragis akan wajah Tionghoa Indonesia yang coba diulas secara apa adanya oleh Dewi lewat buku berjudul Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa” ini. Di dalamnya berisi untaian kisah dan perjuangan tokoh (protagonis) apik menjalani asam manis kehidupan menjadi bagian bangsa; Ester Indahyani Jusuf, Linda Christanty, Susi Susanti, Maria Sundah, Hajah Sias Mawarni Saputra, Jan luyke Oey, Milana, dan Meylani Jo.
Fokus awal pembahasan bahwa rona pertalian darah yang berbeda tampak hanya sebuah angin lalu. Subliminal dan ciri-ciri fisik Tionghoa adalah entitas utama penggolong dan pembeda etnis dalam kehidupan sosial. Wujud itu semakin dipertegas situasi politik yang melatarbelakangi.
Dikisahkan, solidaritas tinggi Ester membuat wadah Solidaritas Nusa Bangsa guna menghadapi ketidakadilan akibat kerusuhan Mei 1998, yang menimpa sesama bangsa. Dan, ambivalensi menjadi etnik Tionghoa menjadi sorotan miris hati Linda yang sadar akan dirinya.
“Etnik Tionghoa itu bermasalah” mula-mula rasa itu yang kerap menghantuinya juga yang lain. Kemudian menjadi elemen penting, warisan budaya dan peran resiprositas dalam interaksi dengan bangsa pribumi sudah menggejala terjalinnya suatu komunitas, etnis tidak melintas batas kesatuan.
Letak geografis juga memengaruhi, Milana dan Meylani Jo termasuk yang bernasib mujur karena lahir dan besar di Papua, karena di sana isu etnisitas tak menjadi persoalan penting, tak ada atribut miring (halaman 262).
Selanjutnya, imaji negatif Tionghoa seakan menjadi memori kekal bangsa ini. Hingga, dalam berjalannya waktu, ada titik cerah bahwa semata kesenjangan ekonomilah yang membuat stigma itu.
Peresensi adalah Muhammad Bagus Irawan, pustakawan pada Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Semarang..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar