16 Feb 2012

Mulla Shadra; Jembatan Arus Pemikiran

Isroqiyyah http://isyraq.wordpress.com
Kita telah mengenal dua aliran filsafat yang—konon katanya—saling bersebrangan, yaitu filsafat Peripatetik dan Iluminasionis, selain dua aliran tadi, kita pun juga telah mengenal Teologi dan Tasawuf. Secara garis besar, dari keempat aliran yang disebutkan di atas, terdapat dua metode yang dianggap ‘hampir sama’, yang digunakan oleh masing-masing aliran di atas. Metode yang dipakai oleh kaum teologi dan peritatetisme, bersifat deduktif atau silogistik, yakni penyusunan premis-premis dari kebenaran umum untuk menghasilkan kesimpulan. Sedangkan kaum sufisme dan Iluminasionis berangkat dengan metode Intuitif atau eksperiensial, yaitu, bahwa mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya (sesuatu tersebut), yang berarti pula, intuisi primer atas determinan-determinan sesuatu.

Empat aliran, dalam ulasan singkat di atas, kemudian dipertemukan dalam suatu pandangan (mazhab) baru, yaitu filsafat Mulla Shadra, sosoknya—oleh Karen Amstrong—disebut-sebut sebagai filusuf mistik syi’ah, yang karyanya menjadi inspirasi bagi para cendikiawan, para revolusioner, dan modernis, terutama di Iran . Perbedaan mazhab Peripatetik dan Iluminasionis—meminjam istilah Murtadha Muthahhari—mulai ‘didamaikan’ oleh Shadr al-Muta’allihin. Ia juga telah berhasil menjawab pelbagai hal yang menjadi pertentangan antara filsafat dan tasawuf (irfan). Bahkan Murtadha Muthahhari menilai filsafat Mulla Shadra telah berperan sebagai jalan persimpangan yang menemukan Peripatetisme, Iluminasionisme, irfan, dan teologi/kalam. Namun pada kesempatan kali ini, saya akan mengulas secara tipis, kulit bagian luar dari filsafat Mulla Shadra, yaitu yang terbagi pada tiga wilayah pengulasan, antara lain seputar biografi dan dua pandangannya tentang hakikat jiwa dan wujud.     

A. Biografi
Mulla Shadra dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Ia berguru kepada Mir Damad dan Mir Abu Al-Qasim Findereski (w. 1640) di Isfahan. Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki, dan wafat di Basrah sekembalinya dari menunaikan ibadah haji yang ketujuh itu pada tahun 1641 M.  Nama lengkapnya Muhammad ibn Ibrahim Yahya Qawani Syirazi, atau sering disebut Shadr al-Din al-Syirazi atau Akhun Mulla Shadra. Diakalangan murid-muridnya dikenal dengan Shadr al-Mtui’allihin. Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status sosialnya tersebut dan sebagai anak tunggal, ia berkesempatan memperoleh pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna di kota kelahiranya. Sebagai anak yang cerdas, ia mampu dengan cepat menguasai berbagai ilmu pelajaran yang diajarkan kepadanya. Dalam usia muda, Mulla Shadra melanjutkan studi ke Isfahan, sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia Timur Islam pada saat itu, ia berguru kepada teolog Baha’ al-Din al-‘Amili (w. 1031 H/1622 M), kemudian kepada filsuf Peripatetik Mir Abu al-Qasm Fendereski (w. 1050 H/1641). Tetapi gurunya yang paling utama adalah seorang filsuf-teolog bernama Muhammad atau lebih dikenal dengan nama Mir Damad (w. 1041 h/1631 M), yang merupakan seorang penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal dengan “aliran Isfahan”. Guru inilah yang gembira dan berduka mempunyai murid seperti Mulla Shadra, gembira karena mempunyai murid yang cerdas, berduka karena beliau menyadari tulisan-tulisan Mulla Shadra mudah dipahami daripada tulisan Mir Damad.
Teman-teman seperguruan Mulla Shadra kalah bersaing sehingga kurang dikenal, akan tetapi setelah Mulla Shadra meninggalkan Isfahan menuju Kahak. Mereka mulai dikenal. Kahak adalah sebuah desa dipedalaman dekat Qum. Di Kahak ia menjalani hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan latihan-latihan rohani untuk mencapai hikmat-I illahi (Rahasia Ilahi) atau teosofi (theo = Tuhan, Sophia = cinta). Dia menjalani hidup zuzhud selama 7 tahun, tapi ada riwayat yang menyebutnya selama 11 tahun. Jalan ini dikritik oleh ulama zahir dan bahkan ada yang menuduhnya kafir. Padahal, ia orang shalih yang tidak mengabaikan kewajibannya terhadap agamanya. Hal diutarakan dalam kata pengantar kitabnya, Asfa’r dan Sih Ashl (semacam authobiografi). Sumbangan filsafat Mulla Shadra sangatlah banyak, diantaranya karya filsafat yang paling berpengaruh adalah Al-Masya’ir (Keprihatinan), Kasr Asnam Al-Jahiliyah (Menghancurkan Arca-arca Paganisme), dan “Empat Pengembaraan” (Al-Asfar Al-Arba’ah).

Lebih jauh ia berkata: “cahaya dunia Ilahi berkilat diatasku. . . dan dapat menyingkap segala rahasia yang tak pernah kuduga sebelumnya”. Lambat laun, ia mulai sadar terikat kewajiban untuk memberikan kepada orang lain apa yang telah ia terima sebagai hadiah dari Tuhan. Hasil karya itu adalah hasil karya yang tadi. Jiwa dari penciptaan (al-khalq) menuju realitas tertinggi (al-haqq), kemudian realitas melalui realitas, dan dari realitas kembali ke penciptaan, dan akhirnya ke realitas sebagaimana yang mengejawantah dalam penciptaan.
Atas desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas II (1588-1629), dari dinasti Safawi. Mulla Shadra diminta menjadi guru di madrasah Allah Wirdi Khan yang didirikan oleh gubernur provinsi Fars di Syiraz. Di sini pulalah ia banyak mengahsilkan karya. Hal ini di akui oleh Thomas Herbert, pengembara abad 11 H/17 M yang pernah melawat ke Syiraz selama masa hidup Shadra. Herbert menulis bahwa di Syiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika, kimia, dan matematika yang menyebabkannya termasyhur di seluruh Persia. Kesibukan dalam mengajar dan menulis tidak menghalanginya untuk menunaikan ibadah haji. Bahkan tujuh di antaranya, dilakukan dengan berjalan kaki. Namun dalam perjalanan pulang hajinya yang ke-7 ia jatuh sakit dan meninggal dunia di Basrah pada tahun 1050 H/1641 M. Makamnya sangat termasyhur di kota itu.

B. Karyanya
Menurut Tabataba’i sebagai dikutip Nasr, karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46 judul ditambah 6 risalah. Tetapi Fazlur Rahman menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah, sebagian besar karya-karya tersebut telah dipublikasikan semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja yang belum dipublikasi. Dalam karya-karya Mulla Shadra pada umumnya filosofis dan religius, telah menyatu dan saling melengkapi. Bahkan menurut Nasr, Mulla Shadra beranggapan bahwa antara filsafat dan agama merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya lahir dari suatu puncak atau sumber yang sama, yaitu hadirat Tuhan. Karya-karya yang dimaksud adalah :
1.’al- Hikmah al-Muta’aliyah fi Afsar al-‘Aqliyah al-Arba’ah (kebijaksanaan Transedental tentang Empat Perjalanan Akal pada Jiwa). Lebih dikenal sebagai afsar (perjalanan). Kitab ini merupakan monumental, karena menjadi dasar bagi karya pendeknya dan juga sebagai risalah pemikiran pasca-Avicennian pada umumnya. Didalamnya memuat simbol-simbol pengembaraan intelektual dan spiritual manusia ke hadirat Tuhan,
2. al-Hasyr (tentang kebangkitan)
3. al-Hikmah al-‘Arsyiyah (hikmah diturunkan dari Arsyi Ilahi)
4. Hudus al-‘Alam (Penciptaan alam)
5. Kasr al-Asnam al-Jahiliyyah fi Dhamm al-Mutasawwifin (pemusnahan berhala kejahilan dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi Ahli Sufi)
6. Khalq al-A’mal (sifat kejadian perbuatan manusia)]
7. al-Lama’ah al-Masyriqiyyah fi al-Funun al-Mantiqiyyah (percikan cahaya Ahli Isyraq dalam seni logika)
8. al-Mabda’ wa al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian)
9. Mafatih al-Ghaib (kunci alam gaib)
10. Kitab al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika)
11. al-Mizaj (tentang perilaku perasaan)
12. Mutasyabihat al-Qur’an (ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat dalam al-Qur’an)
13. al-Qada wa al-Qadar fi Af’al al-Basyar (tentang masalah qada dan qadar dalam perbuatan manusia)
14. al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manahij al-Sulukiyyah (penyaksian Ilahi akan jalan kearah kesederhanaan rohani). 

C. Hakikat Jiwa
Jiwa tidak bersifat abadi, dalam arti bermula, maka jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi. Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai entelechy badan.
Al-Farabi secara eksplisit mengidentifikasi jiwa manusia sebagai fakultas atau daya yang inheren dalam tubuh dan bukan sebagai substansi spiritual yang dapat mengada secara mandiri dari badan. Bagi Ibnu Sina, jiwa manusia, meskipun hanya merupakan intelek potensial pada awal karirnya, namun ia adalah substansi spiritual immaterial yang dapat mengada secara mandiri dari badan. 
Menurut Mulla Shadra, jiwa adalah entelechy badan jasmaniah yang bekerja melalui fakultas-fakultas yang disebut organ. Yang dimaksud organ menurut Mulla Shadra bukanlah organ fisik seperti tangan, perut, dan sebagainya, melainkan fakultas-fakultas atau daya-daya yang dengan perantaranya jiwa dapat bekerja, seperti selera makan, nutrisi dan pencernaan. 
Mulla Shadra menolak pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep relasional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat subtantif. Bila jiwa sejak dilahirkan berada di dalam materi, kejiwaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas kemudian berhubungan dengan materi. Lagi pula, apabila jiwa manusia merupakan sebuah substansi bebas, maka tidak mungkin untuk menyatukan jiwa dengan badan. 
Hubungan antara jiwa dengan badan tidaklah seperti hubungan antara daya fisik biasa dengan materinya. Jiwa bekerja di dalam materi melalui penghubung yang berupa daya-daya yang berada di bawahnya.
Menurut Mulla Shadra  jiwa itu bersandar kepada prinsip dasar yang disebut perubahan subtantif  (istihala jauhariya). Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah, tetapi akhirnya bersifat spriritual selamanya (jimaniyat al-huduts ruhaniyat al-baqa’). Artinya, manakala jiwa muncul di atas landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip perubahan substantive ini, dituntut adanya tingkatan yang lebih tinggi dari landasan di mana jiwa berada. Oleh sebab itu, dalam kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti tumbuh-tumbuhan meskipun ia bergantung kepada materi, tetapi tidak dapat dikatakan sepenuhnya bersifat materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrument dan merupakan langkah pertama untuk berpindah dari alam materi menuju alam spiritual.  

Empat perjalanan jiwa menurut Mulla Shadra dalam kitabnya Al-Asfar Al-Arba’ah, adalah sebagai berikut :
1.       perjalanan dari makhluk (khalaq) menuju Tuhan (Haqq).
2.       perjalanan menuju Tuhan melalui (bimbingan) Tuhan.
3.       perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
4.       perjalanan di dalam makhluk melalui (bimbingan) Tuhan.
Jiwa manusia maupun jiwa hewan sama-sama memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari badannya. Jiwa hewan melepaskan dirinya dengan imaginasi actual (khayal bi al-fil)nya, sedangkan jiwa manusia dengan akal actual (‘aql bi al-fil). Kedua konsep ini didasarkan doktrin ini, struktur ontologis realitas dibagi menjadi tiga macam alam, yaitu idea atau akal murni di peringkat atas, khayal murni di bagian tengah, dan benda-benda materi di bagian paling bawah. 

D. Kehakikatan Eksistensi (Ashalah al-Wujud)
Masalah kesejatian (hakikat) wujud (Ashalah al-Wujud) merupakan induk filsafat Mulla Shadra dan akar yang darinya tumbuh berbagai cabang dan ranting.  Para pendukung eksistensialisme beranggapan bahwa wujud manusia lebih unggul daripada esensinya. Artinya, segala sesuatu selain manusia, air misalnya, mempunyai ciri dan esensi yang menjadi wadah penjelmaan wujudnya.  Satu-satunya yang dimiliki manusia adalah wujudnya, yang dengan itu dia merealisasikan suatu esensi untuk dirinya sendiri. Demikian itu karena segala sesuatu selain manusia bersifat terciptakan, sementara manusia adalah Sesuatu yang dapat menjadi apapun yang sesuai dengan keinginannya.
Gagasan di atas—menurut Murtadha Muthahhari—sebenarnya bertalian erat dengan persoalan ‘kebebasan’ manusia.  Kebebasan yang dimiliki manusia, merupakan ciri yang membedakan manusia dari semua benda lain. Manusia dengan kebebasannya dapat menentukan esensinya, hal ini akan terus berjalan, dan lain halnya dengan benda mati lainnya yang tidak bisa merubah esensinya sendiri.

Gagasan Tentang Tuhan
Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang "keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga, memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka, perbedaan antara Wujud Wajib dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wujud Wajib merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut.
Di dalam hal ini Harun Nasution berpendapat, bahwa menurut Ibnu Sina, esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi (mumkinul wujud), tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya, hal ini disebut dengan (wajibul wujud) yaitu ‘Tuhan’.        
Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan  tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.
Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak.
Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud-Nya tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.
Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga dzat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya. Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat "mencakupi" dan "meliputi". Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya dzat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari 'urafa dan hukama muta'aliyah.

Kesatuan Wujud
Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam.  Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.
Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.
Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan kuantitas terpisah (kam al-munfashil) dari aksiden, dan aksiden termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (non materi) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud  mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.
Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, "Para filosof muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan  mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi" realitas wujud-Nya.


Daftar Bacaan:

            Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis., (Bandung: Mizan, 2001).
            Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).
Fazlur Rahmah, Filsafat Shadra, (Bandung: Pustaka, 2000).
Tim penerjemah Mizan “Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra” diterjemahkan dari beberapa sumber karya Murtadha Muthahari (Bandung: Penerbit Mizan, 2002).
               Harun Nasution, Falsafah dan Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999).
www. Wisdoms4all.com.
Karen Armstong “Islam Sejarah Singkat” Judul Asli “Islam: A Short History” (Phoenix Press, London, 2001) Penerjemah: Fungky Kusnaedy Timur (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2002) Cetakan ke-1, h. 233.

3 komentar: