10 Feb 2011

A9ama Saya Jurnalisme

Sumber: Koran Jakarta, 17 Januari 2011
Judul : A9ama Saya adalah Jurnalisme
Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka
Penulis : Andreas Harsono
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta

Judul buku ini menantang: A9ama Saya adalah Jurnalisme. Jika pembaca jeli, penulisan agama pada judul patut dicermati. Penulis memilih redaksional yang unik. Huruf “g” pada kata agama diganti dengan angka “9”. Sebenarnya ada apa dengan jurnalisme, media, dan agama? Itulah pertanyaan yang menggelantang. Sebelum menuju sana, pembaca perlu tahu apa yang ditawarkan penulis dengan mengganti huruf “g” dengan angka “9”.



Ternyata itu adalah sembilan elemen rumusan Bill Kovach untuk mewujudkan media massa yang ideal. Antara lain, kebenaran, loyalitas kepada masyarakat, disiplin verifi kasi, independesni, memantau kekuasaan dan menyambung lidah kaum tertindas, sebagai forum publik, menjadikan yang penting menarik dan relevan, komprehensif, dan menuruti hati nurani. Memang, tanpa mengimani sembilan vitamin itu, media dihadapkan pada hal dilematis.

Pertama, kepemilikan media massa oleh perorangan tentu menjadi sekat untuk lebih bertaring. Ini memungkinkan media hanya berpihak kepada “sang pemilik”, sementara kepentingan publik jadi hal kesekian. Intervensi pemilik yang berlebihan akan membuat mata media cacat sebelah, sehingga kekuatannya dalam menyuarakan idealisme jadi patah arang. Kedua, dan ini adalah imbas dari yang pertama, hegemoni itu menodai misi profetik sebuah media.

Sembilan elemen itu akan mati kutu jika seorang jurnalis terlalu “dikekang” dengan arahan yang mengunci. Sensor yang terlampau ketat, perlahan-lahan mempersempit gerak jurnalis untuk menyeimbangkan iman jurnalismenya pada arasy yang seharusnya. Lalu, apa hubungan antara jurnalisme dan media dengan agama? Hal ini cukup fi losofi s. Agama dimaknai bukan sebagai hal yang mengultuskan, akan tetapi dilekatkan pada hal yang luhur.

Agama, bagaimanapun juga, selalu mengemban tugas suci sebuah zaman. Nah, agama jurnalisme bisa dipersepsi sebagai keimanan dalam penyampaian informasi yang bertanggung jawab, tidak sekadar bisa dipertanggungjawabkan. Keimanan itu mungkin bisa dipertahankan jika pemilik media tak begitu mengotot memberikan “arahan”. Kekuasaan pemilik yang terpusat hanya akan menampilkan arogansi. Ya, jika masa Orde Baru media massa tersetir oleh kekuatan tanpa kompromi, sekarang ini pegiat media menghadapi tantangan yang jauh lebih berat.

Di samping pemilik media, pegiat media harus melawan arus yang sangat dahsyat “menghasut” kesadaran. Bukan lain adalah rezim iklan dan propaganda politik. Andreas Hartono mengkritik kinerja media massa Ibu Kota. Konsep keterpusatan dan mengabaikan apa yang berada jauh di seberang sana adalah luka bagi idealisme media. Tentu kita masih ingat betapa korban tsunami Mentawai tak lebih mendapatkan “perhatian” media massa ketimbang korban Gunung Merapi, beberapa waktu lalu.

Seolah penderitaan masyarat Mentawai tidak jauh lebih penting dibanding mereka yang tersiram debu vulkanik. Akibatnya, masyakat pun lalai untuk mengunyah informasi dengan proporsional. Media massa tentu tidak mencukup kan diri pada tataran sebagai wasilah informasi kepada publik. Lebih dari itu, juga melakukan pemihakan kepada yang diabaikan, yang dilemahkan, dan yang seharusnya dibenarkan untuk dikabarkan. Tidak sekadar menjadi yang pertama sebagai penghantar informasi. Kalau hanya itu, apa bedanya dengan penjual kacang di pinggir jalan?

Peresensi adalah Ahmad Khotim Muzakka, Pegiat Pers IDEA, IAIN Walisongo, Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar