4 Apr 2011

Membendung Militansi Agama


                                    Judul buku: Membendung Militansi Agama
Penulis: Mun’im A. Sirry
Kata Pengantar: Nurcholis Madjid
Editor: Sayed Mahdi & Singgih Agung
Penerbit: Erlangga
Tahun terbit: 2003
Tebal buku: xvii + 228 Halaman


Pengakuan M. Basri dan Tugiran, tersangka kasus kekerasan di Poso di kantor POLRI beberapa waktu lalu cukup mencengangkan kita semua. Bagaimana tidak, ia mengaku telah mendapatkan doktrin dari ustadz-ustadz JI (Jemaah Islamiyyah) untuk membunuh orang-orang kafir –dalam pandangan mereka-, sehingga ia mengaku telah membunuh empat orang. Tidak hanya doktrin membunuh orang kafir, ia juga disuruh mencari harta fai’ yaitu harta benda yang dirampas dari orang-orang kafir dan pemerintah yang tidak berdasarkan syari’at Islam, sehingga ia pun melakukan perampokan toko emas di Palu.


Semenjak tragedi 11 September di AS, setiap terjadi gelombang radikalisme, seperti yang dilakukan oleh M. Basri dan Tugiran di atas selalu saja dikaitkan dengan gerakan Islam. Kehadiran ‘sebagian’ kelompok Islam fanatik semacam inilah yang menjadikan Islam sebagai “tertuduh”, sehingga muncul adagium di Barat, ‘Tidak ada gejolak politik yang lebih menakutkan daripada bangkitnya “fundamentalisme Islam”’.

Buku Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik Dalam  Masyarakat Islam merupakan salah satu karya Mas Mun’im A. Sirry di antara sekian banyak karyanya yang lain. Buku ini adalah kumpulan tulisan yang dimuat media cetak antara pertengahan tahun 2002 hingga 2003. Buku yang ditulis oleh alumnus Faculty of Shari’a and Law di Internasional Islamic University, Islamabad, Pakistan ini diterbitkan Erlangga dan mendapatkan apresiasi dari Nurcholis Madjid (Alm.) yang notabene pioneer pluralisme di Indonesia sehingga beliau berkenan memberikan kata pengantar pada buku ini.

Yang menarik dari buku ini adalah dalam setiap babnya mampu merekam pergulatan dan isu yang berkembang mengenai Islam, baik di Indonesia maupun di dunia Internasional. Di samping itu, buku ini juga menawarkan solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Islam -khususnya gerakan militansi Islam- dengan memberikan gambaran secara gamblang mengenai peran dan posisi Islam sebagai agama inklusif yang menghendaki dan merestui keterbukaan, toleransi dan perbedaan, bukan sebaliknya sebagai agama eksklusif –hanya milik sebagian kecil kelompok- yang mengacu pada kekerasan dan teror.

Dalam pandangan Mas Mun’im, hanya dengan demokrasi berbagai pandangan keagamaan mampu berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan debirokratisasi. Konsekuensi logisnya adalah lahirnya model keberagaman yang terbuka, menjamin kebebasan agama, dan meminimalisir intervensi terhadap Negara. Inilah yang sekarang dinikmati negara-negara maju dengan tingkat demokrasi stabil. (hal. 46)

Kelemahan yang terjadi selama ini pada manusia adalah semangat yang menggebu-gebu dalam memahami agama, sehingga ada sebagian di antara mereka yang melebihi sikap Tuhan, yang menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat  menjadi satu aliran atau agama (hal. 172). Bukankah tujuan dari agama yang terpenting adalah menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi pemeluknya dan bagi manusia di sekitarnya?. Jikalau pemeluk agama sudah menilai suatu kebenaran agama sebagai kebenaran mutlak, mustahil akan tercipta rasa aman, karena keyakinan yang demikian itu adalah sifatnya mengusik.

Yang paling akhir, Mas Mun’im berpesan agar agama menjadi faktor rekonsiliasi dan perkembangan komunal diperlukan penerimaan pluralitas dan keragaman sebagai kebajikan sosial. Di samping itu, agar kultur perdamaian dapat tumbuh, berkembang dan membawa kita kepada masa depan yang lebih baik, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, dialog lintas agama yang akan memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan kultur perdamaian. Kedua, berkembangnya civil society di ranah global akhir-akhir ini memungkinkan terjadinya akselerasi sinergi antara agama, perdamaian dan demokrasi. Sebab, demokrasi tidak mungkin diwujudkan dalam kondisi konflik yang disebabkan oleh sentimen apa pun, termasuk sentimen keagamaan.  (hal. 228)

beli buku klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar