30 Apr 2011

Ini tentang Shalat

Perkenankan saya menulis sekilas tentang ibadah yang diberi nama “Shalat” di tengah hiruk pikuk degradasi pemahaman sebagian umat Muslim—didominasi juga oleh kalangan Muslim muda—yang menganggap bahwa ibadah shalat adalah ibadah motorik belaka yang hanya bertujuan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan apabila keduanya telah tercegah, maka shalat tidak diperlukan lagi.
Shalat hanya dipandang sebagai alat (baca: media) pendorong terjadinya komunikasi antara makhluk dan khalik. Sehingga ketika komunikasi ini sudah terjalin, maka shalat tidak diperlukan lagi.
Pemahaman di atas tentu salah besar. Bahkan sudah menjadi trend di tengah-tengah masyarakat kita. Kasarnya, shalat kini telah menjadi perbuatan yang gengsi apabila dilakukan, shalat tidak perlu dijalankan secara fisik, cukuplah dengan mengingat Tuhan, dan pemahaman lainnya yang serupa yang sesungguhnya secara tidak langsung meremehkan ibadah shalat. Sungguh sombong dan salahnya pemikiran seperti ini.
KH. Muhammad Sholikhin dalam bukunyu The Miracle of Shalat, mengeritik orang-orang yang memiliki pemahaman salah tentang shalat tersebut dengan menyebutnya sebagai “orang-orang dengan pemahaman yang dipaksakan”. Mereka berkata: "lebih baik mana antara orang yang rajin beribadah, tapi tingkah lakunya buruk, dengan orang yang tidak beribadah, tetapi tingkah lakunya baik?"
Pemahaman yang “dipaksa” rasional ini tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan pandangan ini justru meremehkan ibadah sakral shalat, kalaupun demikian adanya, yang perlu dilihat adalah orang yang mengerjakan shalatnya, bukan shalatnya.
Ada tiga poin utama yang membuat segala pemahaman di atas salah. Pertama, pemahaman seperti tersebut sangatlah “dangkal” karena ibadah shalat bukan hanya memiliki tujuan untuk media instrospeksi diri, tetapi juga merupakan wujud (baca: devosi/bukti) kehambaan yang nyata—konkret—dari keimanan seseorang yang tidak bisa diraba—abstrak.
Kedua, pemahaman tersebut sama juga telah mengabaikan perintah Tuhan. Shalat adalah perintah wajib, sehingga tidak ada yang dapat membatalkannya. Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar adalah indikasi dan imbas dari shalat, bukan pembatal perintah. Sehingga dapat disimpulkan shalat diwajibkan atas orang yang telah mampu atau belum mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
 Ketiga, shalat adalah ritus yang khas dari Islam, sehingga hal yang paling khas dalam suatu agama harus menjadi pembeda dengan yang lainnya, apabila tidak dilaksanakan, lalu apa yang menjadi pembeda antara Islam dengan agama yang lainnya?
Shalat adalah perbuatan logis dari apa yang dinamakan dengan Iman. Shalat seharusnya dijadikan pemicu seseorang dalam berbuat baik. dan amal saleh adalah dua kenyataan, di mana yang pertama mendasari yang kedua. Maka untuk mendapatkan dorongan dari dalam dirinya untuk selalu mengarah pada perbuatan baik, tidak ada jalan lain, kecuali melalui kegiatan ubudiah.
Keseimbang, begitulah yang ingin disampaikan oleh risalah shalat kepada kita, di mana antara Iman dan Ibadah merupakan dua hal yang harus berjalan harmonis dalam kehidupan seornag Muslim. Jika shalat tidak dijalankan maka Iman—yang sewaktu-waktu dapat berubah: menurun, berkurang, melemah; positif; menaik, bertambah, menguat, dan memerlukan pemeliharaan terus menerus melalui ibadah—tidak mampu memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu ke tingkat ketulusan yang sejati. Sehingga Iman harus diejawantahkan melalui ibadah (salah satunya shalat) sebagai ekspresi penghambaan seseorang kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar