11 Des 2010

Tidak Sekadar Rutinitas

Sebagai sebuah ibadah, bentuk puasa dalam Islam sangat unik dan tidak sama seperti yang dilakukan oleh agama lain. Dalam Islam, puasa tidak berarti meninggalkan dan menjauhkan diri dari kehidupan sosial. Pelaksanaan ibadah puasa berbeda dengan orang yang bertapa dengan tidak makan dan minum, mereka mengasingkan diri ke hutan-hutan dan menyingkir ke gunung-gunung untuk melaksanakan perenungan. Sementara orang yang berpuasa dalam Islam, kecuali hanya menahan makan dan minum serta segala hal yang mungkin dapat membatalkannya, tetap berada dan menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat sekitarnya.
Dalam agama Islam tidak dikenal konsep ‘uzlah (menghindar dari masyarakat) dan kemudian menolak sama sekali sesuatu yang bersifat duniawi. Islam mengajarkan manusia tetap berada dalam kehidupan sosial. Karenanya, orang yang berpuasa tetap berada di dalam lingkungan masyarakat. Dalam sosiologi agama, ibadah puasa barangkali dapat disamakan dengan istilah worldly ascetism, bertapa tetapi tetap berada di dalam kehidupan riil dunia.

Selama ini mungkin kita masih memahami puasa sebagai bentuk ritual untuk membujuk Tuhan agar tidak marah. Lalu kita mengisi ritual puasa tersebut dengan berbagai ibadah tambahan lainnya yang bersifat sunah. Kita juga berlomba-lomba memberi makan fakir miskin, bersedekah dan mengundang orang-orang untuk berbuka puasa bersama. Dengan demikian kita telah beranggapan bahwa kita telah menjadi pihak yang paling dekat dengan Tuhan dan berharap Tuhan mengampuni dan menghapus dosa-dosa sosial kita. Inilah rutinitas puasa yang kita jalankan dari tahun ke tahun.
Pada bulan Ramadan manusia hendaknya melakukan introspeksi dan koreksi terhadap segala perilakunya, baik secara personal maupun sosial. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mungkin telah banyak hal-hal yang membutakan mata hati yang telah kita lakukan, baik sebagai pribadi maupun masyarakat.
Suasana Ramadan begitu semarak di mana-mana. Namun, ritual-ritual keagamaan yang dilakukan selama ini bersifat ektrinsik (tidak menyentuh inti), belum intrinsik. Pengalaman ritual keagamaan kita baru menyentuh kulit. Apa makna di balik ritual tersebut rasanya masih belum mampu kita jabarkan dalam segenap aktivitas kehidupan.
Pengalaman kegamaan kita masih terbatas pada formalitas simbolis dan tidak berlanjut pada penyelaman makna hakiki di balik simbol-simbol tersebut. Hal ini tentunya telah lama disinyalir oleh Nabi Muhammad, Nabi bersabda yang intinya adalah: banyak sekali orang yang berpuasa yang hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga, sedangkan secara esensi dan sisi spiritual, seseorang tersebut tidak mendapatkan apa-apa, hatinya kosong, jiwanya hampa.
Karena itu, puasa hendaknya dijadikan momentum untuk pencairan terhadap makna hakiki dengan menyebrangi simbol-simbol keagamaan. Kemampuan untuk menyeberangi makna simbolis keagamaan, termasuk puasa, akan sangat membantu bagi tumbuhnya sikap religius individu dan masyarakat, yang sejalan dengan maksud hakiki ajaran agama itu sendiri. Kesadaran ini selanjutnya akan mengantarkan seseorang pada peningkatan kualitas, baik secara vertikal (hablum minannâs) maupun horinzontal (hablum minallah).
Bila seseorang mampu berdialog dengan Tuhannya, artinya dapat memahami esensi spiritual yang terkandung dalam ibadah puasa, maka orang tersebut tentu akan merasakan betapa indahnya ibadah tersebut yang telah secara perlahan membentuk karakter manusia yang berkualitas, karakter manusia yang peka terhadap masalah-masalah sosial, dan karakter manusia yang senantiasa taat akan perintah Allah SWT, yang diberengi dengan rasa takut terhadap segala hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT sebab ia memiliki kesadaran bahwa dirinya akan selalu dipandang oleh Allah SWT. (Wallâhu a’lam bishawab )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar