16 Nov 2013

teater

The Queen and the Rebels oleh Saturday Acting Club  

Tanggal 3 Oktober tahun lalu, malam hari di Salihara, saya dan dua sohib senior sejoli Abud dan Efri, menyempatkan diri untuk menonton suguhan drama dari Saturday Acting Club, sebuah kelompok teater dari kota Jogja. Mereka membawakan naskah berjudul “Pemberontak dan Ratu”. Pementasan ini adalah bagian dari rangkaian acara festival Salihara tahun lalu. Efri yang membayari tiket kami bertiga.

Kami bertiga duduk di barisan bangku paling depan, Andri dan Efri duduk berdampingan di tengah barisan depan, sementara saya memilih duduk terpisah, yaitu di samping barisan tepat dekat salah satu pintu masuk panggung.

Saat masuk, telinga kami diperdengarkan alunan piano yang pelan. Panggungnya berbentuk proscenium, tampak setingan sebuah ruangan yang lengkap dengan satu meja dan bangku-bangku. Saya duduk sudah agak lama namun pementasan belum jua dimulai, alunan piano masih diperdengarkan. Penonton sudah penuh. Tak lama, suara piano redup berganti bunyi-bunyian rentetan senjata api, sesekali bom, dan atmosfer perang perlahan demi perlahan merasuk dalam peristiwa. Setelah itu peristiwa demi peristiwa mulai dimainkan sampai usai. Intinya keluar gedung teater kami membawa secercah cahaya terang.

 Saat pementasan berakhir, kami sempatkan duduk-duduk sebentar sambil memesan kopi, katanya selain rasanya enak, harganya juga mahal, itu yang perlu digaris bawahi. Lagi-lagi efri yang membayari. Entah siapa yang mengawalinya saya lupa, tiba-tiba kami terlibat dalam perdebatan tentang seni kayak gini ini sebenarnya buat siapa sih? Saya berpihak di satu pendapat bahwa seni yang kayak gini tidak boleh melulu berada di tempat yang tidak bisa didatangi oleh siapa pun dan hanya ditonton sama 4L (Lu Lagi Lu Lagi), tapi seni yang kayak gini harus menyentuh semua jenis manusia, karenanya seni harus juga ditonton sama buruh, tukang becak, kuli bangunan, pokoknya sama siapa saja.

Efri dan Abud bertolak belakang dengan saya, bagi mereka berdua, tak apa lah, seni seperti teater walaupun hanya ditonton oleh kalangan tertentu, namun ia akan memiliki efek ‘pencerahan’ (mudah-mudahan kata ini tidak dinilai lebay) yang tidak hanya dirasakan oleh yang menonton akan tetapi juga untuk orang lain, karena setiap satu penonton akan membawa dan menularkan pencerahan kepada orang lain.

Efek! Itu yang mereka yakini. Tapi bagi saya, terlalu naif dan utopis jika harus berharap pada efek! Saya tetap kukuh, bahwa kesenian apa pun itu harus turun melatar serendah-rendahnya. Kesenian harus menyambangi ruang-ruang sempit sosial karena ia salah satu alat untuk menyampaikan semangat penyadaran, perubahan, dan perbaikan di tiap-tiap jiwa manusia.

Kita tidak bisa melulu berharap menunggu kesadaran. Kata ‘berharap’ akan semakin menyuburkan keyakinan bahwa teater hanyalah penampilan sekumpulan badut lucu yang lenggak-lenggok membelakangi kain hitam. Padahal, ia adalah alat untuk menampar kesadaran-kesadaran yang lama tertidur di setiap jiwa manusia. Ia bukanlah teh hangat di kala hujan, ia juga bukan cokelat panas di tengah dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar