The Queen and the Rebels oleh Saturday Acting Club |
Tanggal
3 Oktober tahun lalu, malam hari di Salihara, saya dan dua sohib senior sejoli Abud
dan Efri, menyempatkan diri untuk menonton suguhan drama dari Saturday Acting
Club, sebuah kelompok teater dari kota Jogja. Mereka membawakan naskah berjudul
“Pemberontak dan Ratu”. Pementasan ini adalah bagian dari rangkaian acara
festival Salihara tahun lalu. Efri yang membayari tiket kami bertiga.
Kami
bertiga duduk di barisan bangku paling depan, Andri dan Efri duduk berdampingan
di tengah barisan depan, sementara saya memilih duduk terpisah, yaitu di
samping barisan tepat dekat salah satu pintu masuk panggung.
Saat
masuk, telinga kami diperdengarkan alunan piano yang pelan. Panggungnya
berbentuk proscenium, tampak setingan sebuah ruangan yang lengkap dengan satu
meja dan bangku-bangku. Saya duduk sudah agak lama namun pementasan belum jua
dimulai, alunan piano masih diperdengarkan. Penonton sudah penuh. Tak lama,
suara piano redup berganti bunyi-bunyian rentetan senjata api, sesekali bom,
dan atmosfer perang perlahan demi perlahan merasuk dalam peristiwa. Setelah itu
peristiwa demi peristiwa mulai dimainkan sampai usai. Intinya keluar gedung
teater kami membawa secercah cahaya terang.
Saat
pementasan berakhir, kami sempatkan duduk-duduk sebentar sambil memesan kopi, katanya
selain rasanya enak, harganya juga mahal, itu yang perlu digaris bawahi.
Lagi-lagi efri yang membayari. Entah siapa yang mengawalinya saya lupa,
tiba-tiba kami terlibat dalam perdebatan tentang seni kayak gini ini sebenarnya
buat siapa sih? Saya berpihak di satu pendapat bahwa seni yang kayak gini tidak
boleh melulu berada di tempat yang tidak bisa didatangi oleh siapa pun dan
hanya ditonton sama 4L (Lu Lagi Lu Lagi), tapi seni yang kayak gini harus
menyentuh semua jenis manusia, karenanya seni harus juga ditonton sama buruh,
tukang becak, kuli bangunan, pokoknya sama siapa saja.
Efri
dan Abud bertolak belakang dengan saya, bagi mereka berdua, tak apa lah, seni
seperti teater walaupun hanya ditonton oleh kalangan tertentu, namun ia akan
memiliki efek ‘pencerahan’ (mudah-mudahan kata ini tidak dinilai lebay) yang
tidak hanya dirasakan oleh yang menonton akan tetapi juga untuk orang lain, karena
setiap satu penonton akan membawa dan menularkan pencerahan kepada orang lain.
Efek!
Itu yang mereka yakini. Tapi bagi saya, terlalu naif dan utopis jika harus
berharap pada efek! Saya tetap kukuh, bahwa kesenian apa pun itu harus turun
melatar serendah-rendahnya. Kesenian harus menyambangi ruang-ruang sempit
sosial karena ia salah satu alat untuk menyampaikan semangat penyadaran,
perubahan, dan perbaikan di tiap-tiap jiwa manusia.
Kita
tidak bisa melulu berharap menunggu kesadaran. Kata ‘berharap’ akan semakin
menyuburkan keyakinan bahwa teater hanyalah penampilan sekumpulan badut lucu yang
lenggak-lenggok membelakangi kain hitam. Padahal, ia adalah alat untuk menampar
kesadaran-kesadaran yang lama tertidur di setiap jiwa manusia. Ia bukanlah teh
hangat di kala hujan, ia juga bukan cokelat panas di tengah dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar