4 Nov 2010

Islam dan Civil Society

SJ Arifin Dalam pendahuluan buku “Ikut Membangun Demokrasi; Pengalaman 55 Hari Menjadi Cawapres”, mengatakan bahwa:
“…Agenda-agenda menuju konsolidasi demokrasi, jika dikerucutkan akan berpusar pada beberapa isu politik. Pertama, pembangunan sistem kepartaian yang mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang sehat dan fungsional. Pilihan pada sistem politik demokrasi mutlak menghajatkan pertumbuhan partai-partai yang hidup dan mampu bekerja secara optimal. Partai partai politik yang sehat, lazimnya mampu melaksanakan fungsi kaderisasi atau recruitment kepemimpinan, pendidikan politik , kontrol, aktualisasi kepentingan politik…”

Selain isu pertama yang diusung di atas, adapula beberapa agenda yang harus dipenuhi dalam konsolidasi demokrasi antara lain yaitu: Penyelenggaraan pemilu, hubungan sipil-militer, proyek otonomi daerah, kebebasan pers, pembangunan kekuatan masyarakat, pengembangan prilaku kepemimpinan, pengembangan budaya politik demokrasi yang berakar pada egalitarianisme dan pluralisme, pengembangan etika politik, pembangunan ekonomi yang adil, penegakan hukum, dan yang terakhir, menjaga keutuhan wilayah territorial.

Isu-isu politik di atas telah menunjukan kepada kita bahwa proses terlaksananya demokrasi di Indonesia masih membutuhkan waktu yang panjang. Jika kita hadapkan antara konsep demokrasi dan Islam dan menempatkannya pada ruang-lingkup keindonesiaan, maka kita akan menemukan kisi-kisi dan benturan yang cukup banyak menuai kontroversi, karena mengaitkan antara Demokrasi, Islam dan Indonesia, adalah bagaimana menemukan benang merah konsepsi tentang demokrasi Islam di Indonesia. Kalau kita menghadapkan antara demokrasi dan Islam, tentunya akan tidak terlalu sulit, karena Islam sendiri telah mengandung unsur-unsur demokrasi. Dalam hal ini mengatakan:

“..Demokrasi melindungi Islam dan kaum Muslim, demikian pula unsur-unsur lain pluralisme nasional dan global, dari serangan baik di atas maupun dari bawah. Membuka saluran-saluran demokratis untukl berpendapat dan berkumpul mencegah ledakan-ledakan sosial, dan akan menampakan bahwa Islam dan kaum muslim sejati selalu tampil dengan rasional, akal sehat, dan prilaku moral..”

Namun jika menghadapkan demokrasi Islam di Indonesia, maka akan sangat banyak sekali benturan yang akan dialalmi mengingat Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang dan sedang mencari jati-dirinya.

Demokrasi; Pemimpin, Rakyat, Sistem dan Pemilu
Demokrasi, sebagai sebuah sistem—titik-akhir evolusi (perjalanan) ideologi manusia dan bentuk final pemerintahan—yang telah dipakai sejak dasawarsa 1970-an di belahan dunia, seperti di Spanyol, Portugal, Amerika latin dan sejumlah Negara di asia timur (Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan), nampaknya mulai dinilai efektif oleh Negara-negara berkembang lainnya—termasuk Indonesia—dan diadopsi karena dianggap membawa perubahan dalam segi politik, ekonomi, dan budaya. Pada dasarawarsa 1990-an—isu ini pun mulai berkembang di Indonesia.
Lahirnya sejumlah organisasi, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai bangkitnya kembali politik aliran, (PCPP, YKPK, PNI baru, dan banyak lagi) juga dianggap dari proses demokratisasi itu sendiri. Lahirnya demokrasi juga dianggap sebagai manifestasi kebutuhan rakyat, dan karenanya layak disebut sebagai bagian dari proses demokratisasi.
Terlepas dari kenyataan di atas, demokrasi dalam konsep dan praktiknya sungguh tidak tunggal, unsur-unsur dasar atau “family resemblances” demokrasi itu dipengaruhi, dibentuk, dan diperkaya oleh kultur dan struktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan praktik demokrasi digerakan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat setempat, dan inilah yang membuat pengadopsian sistem demokrasi di beberapa negara berbeda-beda.
Menurut Taufik Abdullah, kalau sejarah wacana politik di tanah air kita kaji lagi, maka tampaklah bahwa ketika kata “demokrasi” pertamakali dipakai konsep ini dipahami sebagai bagian yang esensial dari “kemajuan” dan “dunia maju” dua konsep yang merupakan landasan ideologis yang paling awal mempengaruhi golongan terpelajar yang masih segelintir.
Ada hal yang perlu dimengerti dalam konsep demokrasi, John Rawls dan Jurgen Habermas mengatakan, untuk menegakkan demokrasi modern (liberal), perlu adanya konsensus dalam masyarakat demokratik yang plural. Lebih jelasnya, untuk mewujudkan persamaan dan keadilan yang maksimal, dituntut empat syarat konsensus demokrasi, yaitu kesetaraan (equality), keterbukaan (openness), imparsialitas, dan bebas paksaan (without coercion). Empat syarat yang diberikan oleh Rawls dan Habermas menyangkut akan berhasilnya demokrasi, nampaknya senada dengan apa yang dikatakan oleh Robert A. Dahl, namun ia lebih menekankan beberapa unsur demokrasi yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang demokratis. Lebih lanjut, Robert A. Dahl menjelaskan, bahwa sebuah rezim politik (baca: pemimpin) dapat dianggap sebagai demokratis kalau ia: (1) menyelenggarakan pemilihan yang terbuka dan bebas; (2) menggembangkan pola kehidupan politik yang kompetitif; (3) dan memberikan perlindungan terhadap kebebasan masyarakat (civil liberties). Ketiga poin di atas nampaknya telah memperlihatkan kepada kita secara jelas, bahwa apa yang menjadi isu utama dalam sebuah sistem demokrasi adalah “kebebasan” dan implementasi (unsur-unsur pokok) demokrasi dapat dirumuskan dalam satu ajang yang syarat dengan sifat demokrasi, yaitu pemilihan orang yang dipercaya untuk memimpin, secara umum dan bebas. Lebih lanjut, implementasi tersebut melingkupi dua hal antara lain adalah: (1) proses rekrutmen elite melalui pemilihan yang jujur dan bebas; dan (2) hak masyarakat untuk memilih. Pelaksanaan dari konsep prosedural ini akan menjamin kebebasan untuk berpendapat dan berserikat. Lebih dari itu, dengan menganggap pemilihan umum sebagai cara untuk merekrut elite pemerintahan atau organisasi, system ini mengisyaratkan bahwa pemimpin bertanggung jawab kepada yang memberi mandat (warga negara/anggota organisasi), khususnya ketika mereka tengah berkuasa.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat kita sedikit simpulkan bahwa proses jalannya demokrasi menuntut adanya hubungan dua pihak yang saling berkaitan dalam mewujudkan iklim demokrasi, yaitu pemimpin yang dipercaya (diberi mandat oleh golongan masyarakat) dan masyarakat itu sendiri, hubungan emosional ini, sangat menentukan jalannya laju Demokrasi dalam suatu pemerintahan atau organisasi. Kebijakan seorang pemimpin yang demokratis adalah pengejawantahan kebutuhan golongan masyarakat. Hubungan yang terjalin ini, tak ubahnya seperti “mesin” peramping opini (masyarakat luas) yang secara sistematis diangkut dan disampaikan kembali oleh pemimpin, sesuai dengan opini yang ada.
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia). Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi “pemerintah” bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di dunia Barat menganggap sebagai pioner dan garda depan demokrasi. Lembaga legislatif benar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dan distributif.
Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkin semua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalu besar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsip amanah dan tanggung jawab (credible and accountable) menjadi keharusan bagi setiap anggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikan hak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunya perwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah.

Islam dan Konsep Demokrasi
Secara normatif, Islam menekankan pentingnya ditegakkan “amar ma’ruf nahi munkar” bagi semua orang, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, bagaimanakah konsep demokrasi Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama, yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan demokrasi?
Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam penegakan demokrasi, dan hubungannya dengan realitas demokrasi dalam negara yang berbasis mayoritas Islam. Jika dilihat basis empiriknya, menurut M. Zainuddin, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun menurut Asghar Ali Engineer bahwa Demokrasi Islam sebagaimana yang berkembang pada masa Nabi dan empat khalifah pertama tidak dapat bertahan lagi. Seluruh rezim yang berkuasa baik di dunia Arab maupun di luar Arab berkarakter dinasti dan tidak ada hubungannya dengan prinsip pemilihan.
Namun begitu, menurut M. Zainuddin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: Syura, Musawah, Adalah, Amanah, Masuliyyah dan Hurriyyah. Pertama, al-Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah.
Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
Kedua, al-‘Adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. Ketiga, al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat.
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat, al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima, al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
Keenam, al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di dunia Islam dalam sejarahnya?
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan khulafaurrasyidin.
Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quo raja-raja Islam, demokrasi sering dijadikan tumbal. Bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya , bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut kemudian Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, diamana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis.
Melihat kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama di atas yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak benar. Bahkan Huntington mengidentikkan demokrasi dengan the Western Christian Connection. Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.

Konsep Demokrasi Islam Indonesia
Menurut Asghar Ali Engineer bahwa demokrasi Islam dapat berhasil terlaksana di tanah Arab pada masa Nabi karena dua sebab satu faktor spiritual dan dua faktor material. Faktor spiritual adalah kejujuran dan kredibilitas Nabi (beliau dikenal sebagai sadiq artinya yang jujur dan dapat dipercaya bahkan sebelum Nabi memproklamirkan kenabian dan kerasulannya pada masyarakat Makkah). Komitmennya pada terbentuknya sebuah masyarakat yang adil yang menjamin martabat dan harga diri kemanuasiaan tidak diragukan lagi.
Faktor material adalah watak kesukuan (tribal) dari Semenanjung Arabia di mana tidak produksi agrikultura dan sistem kanal yang mengharuskan adanya sebuah kekuasaan yang terpusat dan apropiasi surplus dari kaum tani. Secara faktual baik di Madinah dan di Makkah tidak terdapat administrasi pemerintahan, tidak ada polisi, tentara, pengadilan atau birokrasi atau yg mirip dengan itu. Akan tetapi ketika menyebar ke kawasan Rumawi Timur (Byzantine) dan Sasanid terdapatlah sebuah peradaban agrikultura yang kaya dengan kultur politis feodal. Dan dalam waktu tidak lama pusat perhatian islam berpindah ke kawasan yang kaya ini dan Ibukota politis didirikan di Damaskus dan Baghdad. Makkah dan Madinah menjadi kota-kota suci dan hanya memiliki signifikansi agama sedangkan signifikansi politis berpindah ke kawasan yang subur pertaniannya dengan potensi pengumpulan penghasilan negara yang tinggi.
Sejak awal, setumpuk keraguan terhadap perkembangan demokrasi di dunia muslim memang mewarnai berbagai perdebatan. Berbagai prasyarat, seperti historis, geografis, ekonomi, kultur, basis sosial, agama, dan seterusnya yang dipenuhi oleh masyarakat demokratis Barat tidak tercipta di banyak belahan dunia muslim. Salah satu prasyarat tersebut adalah tradisi kapitalisme yang tidak tumbuh dengan baik di dunia muslim. Kapitalisme menjadi sarana tumbuhnya iklim demokrasi karena mengandaikan kehidupan persaingan bebas, yang pada akhirnya akan melahirkan para borjuis, para borjuis inilah yang menjadi pilar demokrasi seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Barrington Moore menjelaskan hal ini dalam sebuah ungkapan singkat: “No bourgeois, no democracy.”
Faktor lain, misalnya, dunia Islam tidak mengalami sejarah pertentangan panjang seperti yang dialami oleh Barat. Sejarah Barat dipenuhi oleh berbagai pertentangan: antara gereja dan negara, antara raja dan bangsawan, antara Katolik dan Protestan, sampai kemudian muncul revolusi industri yang menandai ketegangan antara para bangsawan dan borjuis, pertentangan antara borjuis sendiri, belum lagi peperangan kekuasaan antar bangsa, dan sebagainya. Semua itu menumbuhkan sikap pengakuan terhadap kepemilikan dan hak-hak pribadi antar sesama manusia. Pembagian kekuasaan dan mekanisme perebutan kekuasaan yang melibatkan sebanyak mungkin orang juga kemudian disadari karena proses panjang perebutan berbagai kepentingan tersebut di atas. Satu hal yang tidak boleh luput dari ingatan adalah bahwa demokrasi selalu unik pada setiap negara, bahkan kerapkali demokrasi sangat sulit didefinisikan. Pengambilan kebijakan publik melalui keterlibatan segelintir anggota masyarakat laki-laki kelas atas secara langsung di Yunani 2500 tahun lalu disebut sebagai demokrasi.
Kesulitan mendefinisikan demokrasi ini membuat Fareed Zakaria hanya mengartikannya sebagai a good government. Sebab sangat tidak memadai apabila demokrasi hanya dimaknai prosedural (pemilihan umum). Karena, demokrasi seperti itu tak jarang hanya melahirkan pemimpin teroris, rasis, fasis, ataupun mereka yang memiliki proyek untuk mengabaikan konstitusi dan mencabut hak-hak individu. Demokrasi juga tidak cukup dimaknai sebagai demokrasi liberal, di mana telah tercipta pemilihan umum dan juga terdapat rule of law, a separation of power, dan the protection of basic liberties of speech, assembly, religion, and property. Kenyataannya, demokrasi dan liberalisme kerapkali berpisah jauh. Maka menjadi relevan apabila demokrasi hanya memiliki makna sebagai pemerintahan yang baik: di mana ada pemerintahan yang baik, di situlah demokrasi berada. Dengan demikian, demokrasi menjadi sebuah konsep yang tidak kaku. Islam memiliki konsep demokrasinya sendiri, yang mungkin berbeda dengan konsep demokrasi di dunia lain, termasuk dengan dunia Barat.
Otokrat liberal adalah istilah yang terlalu pesimis bagi dunia Islam, khususnya Indonesia, untuk merebut posisi dalam arus gelombang demokratisasi dunia. Soeharto telah tumbang, dan tidak ada alasan untuk kembali ke era kekuasaan Soeharto hanya untuk mematangkan diri menuju sistem demokrasi yang sesungguhnya. Istilah “demokrat Islamis,” yang dimunculkan oleh Saiful Mujani, sangat mewakili konsep demokrasi ala Islam, sejauh istilah itu bukan untuk menyatakan pesimisme demokrasi di dunia Islam. Inilah demokrasi ala Islam, lebih khusus Indonesia, di mana pemilu berjalan damai di tengah sikap intoleran umat Islam itu sendiri. Umat Islam tentu tidak bisa melepaskan fanatisme keagamaannya. Tapi itu bukan masalah ketika kehidupan praksis demokratis berjalan dengan baik.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Freedom Institute (FI), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang orientasi politik Islam di Indonesia pada awal bulan November 2004 cukup mencengangkan. Betapapun pemilu 2004 berjalan sukses dan menjadi sebuah alasan kuat untuk mengatakan bahwa Indonesia benar-benar layak menyandang gelar sebagai negara paling demokratis di antara negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, temuan penelitian ini menunjukkan landasan yang sangat rapuh bagi proses demokratisasi di Indonesia, yang boleh jadi merupakan representasi dunia muslim pada umumnya. Angka dukungan terhadap agenda-agenda Islamis cukup membuat gentar: 41,1 % yang mendukung perempuan tidak boleh jadi presiden; 55 % setuju hukum rajam bagi penzina; 58 % mendukung pembagian waris dua banding satu antara laki-laki dan perempuan; 41 % menyatakan dukungan terhadap pelarangan bunga bank; pendukung poligami sebanyak 39 %; dan sebanyak 40 % setuju hukum potong tangan diterapkan di Indonesia. Dan yang lebih merisaukan bagi kelanjutan demokrasi dan kebebasan sipil (civil liberties) adalah tingginya sikap intoleran kaum muslim terhadap ummat Nasrani: 24,8 % keberatan kalau orang Kristen mengajar di sekolah negeri, apalagi di sekolah agama (madrasah, pesantren, IAIN, dan seterusnya); 40,8 % umat Islam Indonesia keberatan jika orang Kristen mengadakan kebaktian di sekitar wilayah tempat tinggalnya; dan 49,9 % umat Islam Indonesia keberatan jika orang Kristen membangun gereja di sekitar tempat tinggal mereka.
Fenomena di atas mungkin masih bisa ditanggulangi dengan mengatakan bahwa itu baru pada tataran sikap, sehingga sangat mungkin berbeda pada tataran praksis. Menurut penelitian ini, sekitar 2–3 % umat Islam Indonesia pernah melakukan aksi pemboikotan terhadap barang atau jasa yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, melakukan razia tempat-tempat hiburan, atau demonstrasi sebagai dukungan terhadap penderitaan umat Islam di manapun berada. Sementara itu, ada sekitar 15,9 % kaum muslim Indonesia mendukung apa yang telah dilakukan Amrozi, Imam Samudra, dan lainnya. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menjelaskan proses pemilu yang sedemikian demokratis? Lalu kekalahan partai-partai Islam yang sangat telak dari partai-partai nasionalis (sebut saja partai-partai sekuler)? Banyak jawaban yang bisa muncul, misalnya bahwa demokrasi hanya menjadi instrumen legitimasi bagi kekuatan non-demokratis Islam untuk merebut kekuasaan.
Adapun umat Islam yang beralih memilih partai-partai sekuler, karena partai-partai Islam demikian terfragmentasi. Andai hanya ada satu pilihan partai Islam (dengan agenda-agenda Islamis), sangat mungkin umat Islam menyatukan suara. Lalu, kenapa kekuatan politik dengan agenda Islamis itu tidak menyatukan diri? Pertanyaan inilah yang bisa dijadikan pijakan awal bagi sebuah optimisme demokrasi di dunia Islam, bahwa di mana-mana, tak terkecuali di dunia Islam, selalu ada hasrat kepentingan bagi perebutan kekuasaan. Dan itulah fondasi paling fundamental bagi demokrasi.

Referensi:

• A.Syafi’I Ma’arif Dkk, Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The Wahid Institut, 2006).
• Asghar Ali Engineer, Absennya Demokrasi di Dunia Islam (http://articlesea.blogspot.com/}.
• Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001).
• Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil, Wajah Dunia Islam; dari Dinasti Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern judul asli: Lahmatun Min Tarikhid Da’wah; Asbabudh-Dha’fi Fil Ummatil Islamiyyah (Daarul Arqam-Zaqaziq Mesir: 1989) penj: Fadhli Bahri Lc. (PUSTAKA AL-KAUTSAR (Jakarta 1998) Cetakan ke-1.
• Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan; Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban, Penj. Irfan Abu Bakar (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006).
• M. Zainuddin MA, Islam dan Demokrasi, http://islamlib.com/id
• Salahuddin Wahid, Ikut Membangun Demokrasi; Pengalaman 55 Hari Menjadi Cawapres (Jakarta: Pustaka Indonesia satu, 2004).
• Saidiman, Optimisme Demokrasi Ala Islam Indonesia (http://islamlib.com/id).
• Taufik Abdullah, Nasionalisme dan sejarah, (Bandung: Satya Historika, 2001) Cet ke-1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar