Kedai Kopi Kong Djie, Blitong 2018 |
“Tidak ada yang
begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis
bersama.” –Rousseau.
Kawan,
izinkan saya bicara sedikit perihal kopi. Tentu bukan dalam perspektif ahli
apalagi seorang sufi. Ini murni dari seorang penikmat kopi. Tidak lebih.
Bicara kopi, tentu kita akan banyak menemukan seabrek informasi
di alam daring, misalnya dalam hal bahasa. Kata “kopi” diadaptasi
dari bahasa Arab “qahwa” atau “kahve” dalam istilah Turki. Kata ini mulai diadaptasi
ke dalam banyak bahasa Eropa sekitar tahun 1600-an, seperti bahasa Belanda
“koffie”, bahasa Perancis “café”, bahasa Italia “caffè”, bahasa Inggris
“coffee”, bahasa Cina “kia-fey”, bahasa Jepang “kehi”, dan bahasa melayu
“kawa”. Hampir
semua istilah untuk kopi di berbagai bahasa memiliki kesamaan bunyi dengan
istilah Arab. (Wiliam
H. Ukers dalam All About Coffe (1922) seperti
disitir
oleh laman sasamecoffee.com.).
Kopi,
sejak tahun 1453, sudah diperkenalkan oleh Ottoman Turki di Konstantinopel. Kedai
kopi pertama di dunia yang bernama Kiva Han pun berada di kota ini, tepatnya dibangun
22 tahun setelah diperkenalkan.
Saya
percaya jika kopi merupakan salah satu minuman favorit orang-orang saleh. Dulu waktu
nyantri, saya pernah mendengar seorang kiai bercerita, kopi dan rokok adalah
teman sehari-hari kaum santri. Para santri meminum kopi agar bisa terjaga di
malam hari untuk membaca kitab kuning, dan rokok menjadi alat penerangannya. Tak
hanya sebagai alat untuk menghilangkan kantuk, kopi pun menjadi sarana untuk
berzikir. Saat mengaduk kopi, konon hitungan mengaduknya dihitung
sampai 33 kali ke arah kanan dan 33 kali ke arah kiri. Terus terang, cerita itu
sangat memesona saya.
Cerita lain yang pernah saya dengar adalah kisah Syaikhona
Kholil Bangkalan yang kerap menyuguhkan kopi kepada para tamu yang sowan. Suatu
hari, saat Mbah Kholil sedang menemani tamu-tamunya, tiba-tiba datang seseorang dengan pakaian lusuh sambil membawa seekor anjing. Tanpa
malau-malu, orang tersebut menyeruput kopi milik Mbah Kholil hingga
tinggal ampasnya. Semua orang kaget, kecuali Mbah Kholil. Seketika Mbah Kholil terdiam
dan mengubah posisi duduknya seperti posisi duduk orang yang sedang shalat,
telapak tangannya menyatu di atas paha, kepalanya menunduk tanpa berani menatap
muka orang tersebut. Orang tersebut pun kemudian berlalu tanpa sepatah kata. Selepas ia pergi, Mbah Kholil berkata: “Siapa
yang mau meminum kopi bekas tamuku tadi?” Semua diam. “Kalau begitu biar saya yang menghabiskan,” kata Mbah Kholil sambil meminum
sisa kopi di cangkir.
Semua tamu bingung dibuatnya. Mbah Kholil lalu berkata: “Yang
dating itu Nabi Khidir, beliau baru saja mengunjungi sahabatnya seorang wali di
Yaman dan Sudan, kemudian melanjutkan perjalanan ke sini untuk menemui para
Waliyullah di tanah Jawa.” Mendengar penjelasan Mbah Kholil, para tamu sontak
berebut sisa kopi yang tinggal cangkirnya itu. Mbah
Kholil cuma bisa ketawa.
Pembahasan kopi juga tidak luput dalam literatur kitab
klasik, Syaikh Ahmad Dahlan Ibn Abdullah, ulama dari Semarang dalam Tadzkiratul
Ikhwan li Bayanil Qahwah wad Dhukhan mengatakan perihal keutamaan kopi,
عليك باكل البن
في كل ساعة ففي
البن للاكل خمس فوا ءد
نشاط وتهضيم
وتحليل بلغم تطيب افناس وعون القاصد
“Haruslah bagimu mengonsumsi kopi setiap
waktu, dalam mengonsumsi kopi ada lima faedah, semangat, pencernaan,
menghilangkan riak, membaguskan napas, dan membantu orang yang berhajat.”
Dalam kitab yang kemudian diringkas dalam bentuk nadzam
oleh Syaikh Ihsan Jampes tersebut, Syaikh Ahmad Dahlan juga banyak mengutip
pendapat Imam At-Tarabusi yang menganjurkan untuk meminum kopi tanpa gula untuk
mendapatkan manfaat yang baik. Sekali lagi, ini menandakan bahwa sudah sejak lama
meminum kopi menjadi rutinitas orang-orang saleh dan para ulama.
Tak hanya dalam hal pengonsumsiannya, kopi juga telah
lama menjadi komoditas para kiai. Gusdur dalam bukunya, Islam Kosmopolitan
mengatakan bahwa kopi dan tanaman lain (tebu dan tembakau) telah lama menjadi
alat bisnis para kiai untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Timur Tengah. Anak-anak
muda itu kelak menjelma menjadi korps ulama yang menguasai ilmu-ilmu agama dan
menjadi ulama tekemuka di semenanjung Arabia, khususnya di Makkah, seperti Kiai
Nawai al-Bantani, Kiai Mahfudz al-Tarmasi, Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad al-Banjari,
Kiai Abdus Shamad al Palimbani, Syaikh Kholil Bangklan, dan Hadratussyaikh Kiai
Hasyim As'ari.
Kawan, terlepas dari semua sejarah dan cerita tentang
kopi yang memesona itu, sisi lain yang membuat saya tertarik pada kopi adalah
kenyataan bahwa ia telah banyak melatih sisi spiritual saya sebagai manusia. Kopi bagi saya tak
sekadar sebuah minuman pahit dan asam yang berpadu di lidah. Lebih dari itu, ada
sisi kekhususan
yang sakral dalam sebuah kopi. Kopi banyak mengikis hal-hal teknis dalam hidup
yang selalu diulang berhari-hari. Kegelisahan, ketakutan, yang kerap menyita
perhatian saya kerap luluh saat berdekatan dengan kopi. Jika Rumi selalu mabuk
pada syair dan musik, mungkin saya merasakan yang sama pada sebuah kopi. Kopi
kerap menyuguhkan saya sebuah keistimewaan; ruang khusus dalam keheningan,
begitu romantis, emosional, penuh kenikmatan dan keindahan. Bukankah Tuhan itu
indah?
Kopi
mengajarkan banyak hal, kesabaran,
penghormatan, ketulusan, dan bagaimana menjadi teman.
Kopi
bagai musik yang membuai rumus-rumus matematika menjadi puisi. Puisi yang tak henti-henti membuat kita terjaga. ‘Kopi’ dan
‘terjaga’ mesra dalam hukum kausalitas. Lalu apa yang dapat kita perbuat jika
terjaga? Banyak! Keterjagaan melahirkan kesadaran lahiriah dan batiniah, yang mungkin dijelmakan oleh para santri tadi menjadi
zikir-zikir.
Kopi
menjadi identik dengan kata-kata puitis; janji jiwa, kenangan, lain hati, dan
sebagainya. Kopi jadi semakin menampakkan eksistensinya sebagai penghuni
keharmonisan, keheningan, dan kebersahajaan. Begitulah kopi. Selalu saja
bermesraan dengan kata-kata puitis dan kunci mesra segala hubungan. Karenanya,
ia begitu spesial. Kopi diminum dengan persiapan, diseduh atas landasan
suasana. Disuguhkan begitu sakral dan mendalam.
Jadi,
tak dimungkiri, kopi telah menjadi salah satu tren
hidup umat modern. Kopi
kerap
menjadi selipan kata basa-basi atau lobi-lobi politik, kopi kerap mencairkan suasana dan membangun keakraban.
Begitulah kopi tidak pernah minta royalti meski namanya banyak dijualbelikan,
tidak pernah dianggap pahlawan meski banyak menyelamatkan banyak orang.
Kawan,
apa pun jenis kopi favoritmu, entah robusta, liberika, atau arabika, semuanya
memiliki pesonanya masing-masing. Siapa pun Anda,
dengan cara apa pun Anda menikmati kopi. Kopi tetaplah kopi, tak peduli diminum
oleh santri, bukan santri, anak milenial, tua, muda, laki-laki perempuan, kopi
tetaplah kopi, ia bukan karena ia bukan milik pribadi atau mencibir orang lain
seolah-olah kau yang paling mengerti kopi. Bukan begitu kawan. Entah apa pun
aliran Anda, hitam, pakai gula, campur susu, campur ini-itu kopi tetaplah kopi.
Kopi mengajarkan sebuah arti mesra sebuah perkawanan. Dari
kopi, kita bisa berbagi tawa canda yang membuncah, terkadang berbagi kesedihan,
tapi tak mengapa, toh kesedihan akan manis rasanya jika dalam kebersamaan,
seperti kata Rousseau. (9 Ramadhan 1441 H.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar