21 Feb 2011

Nyonya-nyonya-Wisran Hadi

2 komentar:
Dipentaskan pertama kali oleh Akademi Seni Kebangsaan Kemantrian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia pada Maret 2004 di Auditorium Tuanku Abdul Rahman, Pusat Pelancongan Malaysia, Kuala Lumpur

Dipentaskan kedua kalinya oleh Akademi Seni Kebangsaan Kemantrian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta pada 2 dan 3 maret 2004 di teater Kecil Taman Ismail Marzuki


Naskah ini dipersembahkan kepada Istri tercinta, Putri Reno Raudha Thaib



TUAN Pedagang Barang Antik
NYONYA Istri Kedua Datuk
PONAKAN A Kemenakan Suami Nyonya
PONAKAN B Kemenakan Suami Nyonya
PONAKAN C Kemenakan Suami Nyonya
ISTRI Istri Tuan


DI TERAS

TUAN
Drastis! Perubahan cuaca memang sulit dipastikan, walau pun televisi setiap malam mengumumkan ramalannya. Sulitnya di sini, mereka meramal tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi lain. Akibatnya, yang jadi korban selalu saja orang-orang seperti saya. Berdiri berjam-jam sejak senja, taksi tak ada yang lewat, dan malam tiba-tiba saja turun!

Mestinya pedagang barang antic seperti saya harus dilindungi dari bencana alam yang datang mendadak. Bukan hanya karena langkanya pedagang barang antic, tapi karena barang antik itu sendiri yang sudah langka sekarang.

Tetapi, ah! Orang-orang itu! jangankan untuk melindungi saya, mereka datang ke sini maunya hanya duduk, berderet-deret dalam gelap lagi – berbisik menggunjungkan saya dan menunggu-nunggu tindakan apa lagi yang akan saya lakukan.

Orkes Madun I Atawa Madekur dan Tarkeni -Arifin C Noer

Tidak ada komentar:

Catatan:

Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itupun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin

PENGANTAR

Ketika menulis naskah Madekur dan Tarkeni, Arifin pernah bilang bahwa nakahnya ini adalah bagian dari sebuah trilogy, yaitu Orkes Madun yang terdiri dari Madekur dan Tarkeni, Umang-umang dan Ozone. Selesai dengan Umang-umang, Arifin menulis lagi dengan judul Sandek; Pemuda Pekerja, yang semula dikiran teman-teman Teater Ketjil adalah naskah yang berdiri sendiri. Tetapi, menjelang latihan Sandek, Pemuda Pekerja yang bersamaan dengan penulisan naskahnya (Kebisaaan Arifin, latihan sambil menulis naskahnya) dia tulis pada sampul naskah judulnya sebagai Sandek, Pemuda Pekerja atawa Orkes Madun IIa, dan tidak pernah diubah. Selanjutnya dia menulis Ozone atawa Orkes MAdun IV. Lalu ia nyatakan bahwa Orkes Madun adalah sebuah pentalogi, dan bahwa yang kelima akan berjudul Magma ia bercerita kemana-mana tentang Magma. Juga kepada anak-anak sekolah Perancis di Jakarta, hingga bebebrapa dari mereka tergerak membuat komik Magma yang juga dimuat dalam kumpulan naskah ini. Tetapi, Arifin tak sempat sama sekali menulis Magma. Lalu orkes Madun III, ya, Sandek, Pemuda Pekerja itulah yang ketika rencananya trilogy, dia adalah IIb, tetapi ketika rencana berubah pentalogi, dia pun menjadi III. Namun tidak sempat Arifin mengubahnya, Arifin meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995 karena Kanker dan Sirosis hati.

Orkes Madun II Atawa Umang-Umang-Arifin C Noer

Tidak ada komentar:

Catatan:

Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itu pun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin



WASKA
BOROK
RANGGONG
BIGAYAH
DEBLENG
GUSTAV
JAPAR
BUANG
NABI-NABI
EMBAH
EMBAH PUTRI
SENIMAN/JONATHAN
TUKANG JAMU
TUKANG SEKOTENG
TUKANG KUE
TUKANG PIJAT
ANAK KECIL
JURU KUNCI
ANAKNYA
ENGKOS
DAJJAL
DAN LAIN-LAIN


BAGIAN PERTAMA

LONCENG DUA KALI
ROMBONGAN WASKA LEWAT
KOSONG

LONCENG DUA KALI
ROMBONGAN WASKA (MAKIN BANYAK) LEWAT
KOSONG

LONCENG DUA KALI
ROMBONGAN WASKA (MAKIN BANYAK LAGI) LEWAT
KOSONG

ROMBONGAN WASKA MAKIN BANYAK MUNCUL TAK EBRATURAN UNTUK KEMUDIAN MENYEBAR MENYELINAP MENJAUHI PENTAS. SIKAP MEREKA MENGESANKAN SEDANG MENGINTIP. KOSONG DENGAN BUNYI DETIK LONCENG.

LONCENG DUA BELAS KALI.
BERSAMAAN DENGAN ITU MUNCUL WASKA
SENAR MENANGGALKAN PERAN WASKA

SEMAR
Apakah yang sedang terjadi atau telah terjadi, para penonton? Atau sedang apakah aktor-aktor atau aktris-aktris tahadi? Mungkinkah mereka titik titik titik? Atau barangkali mereka titik titik titik? Jawabnya; mungkindan barangkali. Atau? Atau? Dan seterusnya masih banyak lagi deretan pertanyaan untuk adegan yang barusan tadi.

Nah, saya, Semar. Pemimpin rombongan sandiwara ini tanpa tedeng aling-aling ingin menjelaskan dan membuka segala sesuatunya apa adanya. Para penonton, percayahlah dan yakinlah bahwa mereka tadi sedang dalam perjalanan di pimpin oleh seorang penjahat besar, bernama Waska, yang kebetulah saya mainkan sendiri sekaligus menyutradari. Lantas, perjalanan kemanakah, para penonton? Jawabannya: tontonlah sandiwara ini.

ORKES MADUN III Atawa SANDEK-Arifin C. Noer

Tidak ada komentar:

Catatan:

Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itu pun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin

SATU

SEMUA ORANG MAU LEPAS DARI IKATAN APAPUN NAMANYA. DARAH MENGALIR BEREDAR, MAU LELUASA. GERAKAN TIDAK LAGI MAU MEMPUNYAI BENTUK. SUARA TIDAK MAU LAGI MEMPUNYAI HURUF. WAKTU DAN TEMPAT CAIR. JUGA ISINYA. YANG ADA CUMA RUH.

SANDEK
Saya mau bicara. Saya mau bicara

(Tidak ada sahutan. semua diam. semua diam. diam dan aneh. mereka sudah menyimpan suatu rahasia yang menakutkan)

Saya mau didengarkan

(Seseorang menembak lawannya)

saya mau didengarkan!

(Orang itu menembak dirinya sendiri)

Saya perlu kawan. Saya perlu kawan
Saya tidak bias sendirian. Saya tidak
bisa terus-terusan jadi solis. Saya perlu orkes
lalu saya perlu penonton
lalu saya perlu menonton

(Lalu dia ngamuk. lalu dia setanan. lalu orang-orang memburunya. lalu orang-orang menangkapnya. lalu orang menyalibnya. dan ketika ia mengamuk tadi dia mengucapkan segala macam kata-kata jorok. dalam berbagai bahasa dan dialek)

RT NOL RW NOL - Iwan Simatupang

Tidak ada komentar:
ADEGAN I


KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI.

KAKEK
Rupa-rupanya, mau hujan lebat.

PINCANG (Tertawa)
Itu kereta-gandengan lewat, kek!

KAKEK
Apa?

PINCANG
Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.

KAKEK (Menggeleng-Gelengkan Kepalanya, Sambil Mengaduk Isi Kaleng Mentega Di Atas Tungku)
Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.

ANI
Lalu?

KAKEK
Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.

KAKEK
Kalau begitu apa guna larangan?

ANI
Untuk dilanggar.

KAKEK
Dan kalau sudah dilanggar?

ANI
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.

KAKEK MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, TERUS MENGADUK MASAKANNYA. SUARA GEMURUH LAGI.

PINCANG
Kali ini, suara itu adalah suara guruh.

ANI (Tersentak)
Apa?!

PINCANG (Tertawa)
Itu neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak lama lagi hujan turun.

SOBRAT - Arthur S. Nalan

Tidak ada komentar:
Catatan Gelap

Kisah ini diilhami oleh tragedi penambang emas liar di daerah gunung Pongkor, Jawa Barat. Serta, kejadian aneh yang dialami pembantu saya sekitar tahun 80 an yang bernama Jaman. Dia suka nomor buntut, dan ia bermimpi berjumpa dengan jin wanita di garasi rumah, jin itu membisikan nomor jitu dengan dengan syarat Jaman harus bersedia kawin dengannya. Tanpa piker panjang, Jaman bersedia dan nomor pun kena. Akibatnya, Jaman jadi kaya menurut ukurannya, lalu pulang ke kampungnya dan menikah dengan gadis pilihannya. Ternyata jin wanita itu menagih janji dan menganggap Jaman berkhianat. Jin itu hanya meniup tangannya dan menciumnya dalam mimpi. Sejak saat itu, Jaman jadi bisu dan tuli. Percaya atau tidak bahwa dalam hidup ini adakalanya muncul keanehan. Dan, keanehan bagi seorang penulis lakon adalah lahan untuk didramatisir. Dengan mengambil setting masa penjajahan ketika masa kuli kontrak merajalela, sandiwara ini dikembangkan. Hasilnya, sebuah sandiwara gelap yang terdiri dari delapan belas bagian berjudul SOBRAT. Siapa tahu bisa jadi cermin bahwa kita memang masih jadi bangsa kuli sampai sekarang dan pengiriman TKI/TKW tak akan pernah berhenti.


DRAMATIC PERSONAE

Sobrat Pemuda Kampung Lisung
Samolo Pemuda Kampung Lisung
Doyong Pemuda Kampung Lisung
Mimi Ibu Sobrat
Wak Lopen Pemilik Warung
Rasminah Nyai/Istri Sobrat
Surobromo Guru judi Sobrat
Mongkleng Hawa Nafsu
Silbi Gendruwi Mahluk Halus Penguasa Bukit Kemilau
Inang Honar Pencari Tenaga Kerja
Mandor Bokop Mandor
Mandor Burik Mandor
Mandor Mandor
Dongson Bandar Judi Koplok

MALAM JAHANAM - Motinggo Boesje

Tidak ada komentar:
DIPINGGIRAN LAUT KOTA KAMI, PARA NELAYAN TAMPAK SELALU GEMBIRA MESKIPUN MISKIN. RUMAH MEREKA TERDIRI DARI GUBUK, TIANG BAMBU BERATAP DAUN KELAPA. SUARA MEREKA YANG KERAS DAN GURAUAN KASAR MEREKA, SEOLAH MENGESANKAN BAHWA MEREKA KURANG AJAR. BEGITU PULA PAKAIAN MEREKA, YANG LELAKI BERCELANA KATOK DAN BERBAJU KAOS HITAM DENANG GOLOK DIIKAT DI PINGGANG.

KAIN SARUNG TERSELEMPANG, BERKOPIAH DAN MATA YANG TAJAM MENGESANKAN DARAH YANG KERAS.

PERERMPUAN DISINI BERBICARA PEDAS, PENUH GAIRAH DAN PAHIT. PAKAIAN MEREKA MENCOLOK DI TUBUH PADATNYA, MENCOLOK SEPERTI KETAWANYA YANG KERAS, SAMBIL BIBIR BERGINCU ITU MELEMPARKAN SENYUM YANG SEOLAH-OLAH KURANG AJAR.

TETAPI BETAPUN SEBENARNYA, MEREKA, SEPERTI DIMANA-MANA MEMPUNYAI JUGA KELEMBUTAN HATI DAN KETULUSAN, BIARPUN MUNGKIN KETULUSAN YANG AGAK BODOH.

MALAM INI SEMUA ITU TERJADI.

Kapai-Kapai, Karya: Arifin C Noer

Tidak ada komentar:
Drama lima babak

Para pelaku :
Abu
Iyem
Emak
Yang Kelam
Bulan
Majikan
Kakek
Jin
Putri
Pangeran
Bel
Pasukan Yang Kelam
Kelompok Kakek
Seribu Bulan Yang Goyang-Goyang
Gelandangan
Tanjidor dll

BAGIAN PERTAMA

Dongeng Emak

Emak : Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-tombaknya mengepung istana cahaya itu, sang Pangeran Rupawan menyelinap diantara pokok-pokok puspa, sementara air dalam kolam berkilau mengandung cahaya purnama. Adapun sang Putri Jelita, dengan debaran jantung dalam dadanya yang baru tumbuh, melambaikan setangan sutranya dibalik tirai merjan, dijendela yang sedang mulai ditutup oleh dayang- dayangnya. Melentik air dari matanya bagai butir-butir mutiara.

Abu : Dan sang Pangeran, Mak ?

Emak : Dan Sang Pangeran, Nak ? Duhai, seratus ujung tombak yang tajam berkilat membidik pada satu arah ; purnama di angkasa berkerut wajahnya lantaran cemas, air kolam pun seketika membeku, segala bunga pucat lesi mengatupkan kelopaknya, dan...

Abu : Dan Sang Pangeran selamat, Mak ?

Emak : Selalu selamat. Selalu selamat.

Abu : Dan bahagia dia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Abu : Dan sang Putri, Mak ?

Emak : Dan sang Putri, Nak ? Malam itu merasa lega hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun berguling-guling bersama Sang Pangeran dalam mimpi yang sangat panjang, diaman seribu bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah itu penuh cahaya.

Abu : Dan bahagia, Mak ?

Emak : Selalu bahagia. Selalu bahagia.

Majikan : Abu !

Emak : Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng mesti tidur sore-sore.

Abu : Sang Pangeran juga tidur sore-sore, Mak ?


Emak : Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore karena dia anak yang ganteng. Kau seperti Sang Pangeran Rupawan.

Majikan : Abu !

Abu : Mak ?

Majikan : Abu !

Abu : Bagaimana keduanya bisa senantiasa selamat ?

Majikan : Abu !

Emak : Berkat cermin tipu daya.

Abu : Berkat Cermin Tipu Daya, Mak ?

Majikan : Abu !

Emak : Semuanya berkat Cermin Tipu Daya.

Abu : Cuma berkat itu ?

Majikan : Abu !

Emak : Cuma berkat itu.

Abu : Cuma.

Majikan : Abu ! Abu !

Abu : .... di mana cermin itu dapat diperoleh, Mak ?

Emak : Jauh nun di sana kala semuanya belum ada (KELUAR)

Majikan : Bangsat ! Tuli kamu ?

Abu : Mak ?

Nyanyian Angsa, Karya: Anton Chekov

Tidak ada komentar:
Pelaku :
Vasili Svietlovidoff : Seorang komedian berumur 68 tahun
Nikita Ivanitch : Seorang promter (pembisik), orang tua

Skene ini terjadi di atas sebuah teater daerah. Malam hari setelah pementasan. Si sebelah kanan keadaannya tidak teratur dan ada pintu usang tak bercat ke kamar-kamar pakaian. Di sebelah kiri dan latar belakang pentas diseraki oleh bermacam-macam barang usang. Di bagian tengah ada sebuah kursi polos terjungkir.

SVIETLOVIDOFF : (dengan sebuah lilin ditangan, keluar dari kamar pakaian dan tertawa) ya, ya ini gila sekali! Sungguh ini lelucon yang sangat bagus. Aku jatuh dari kamar pakaian setelah pementasan habis, dan di situ aku dengan tenang ngorok setelah semua orang meninggalkan gedung teater ini. Ah! Aku memang orang tua yang tolol, si tua yang sialan! Kiranya aku telah minum lagi sehingga aku tertidur di dalam sana, tergeletak. Sungguh pintar! Selamatlah kau pemuda gaek! (memanggil) Yeghorka! Petruskha! Di mana engkau setan, Petruska? Kedua bajingan itu tentulah sudah tidur, dan meskipun gempa tak akan bisa membangunkan mereka sekarang!
Yekhorka (mengambil kursi polos, lalu duduk setelah meletakkan lilin di atas lantai) tak ada suara! Hanya gema yang menyahutku.
Aku beri yegorkha dan petruskha persen setiap hari dan mereka telah hembus dan mungkin sekali telah mengunci gedung teater ini. (menggoyang-goyangkan kepalanya). Aku mabuk.
Ugh, pementasan malam ini sungguh menggembirakan, dan alngkah gilanya jika dipikir. Berapa banyak bir dan anggur yang telah kutuang ke dalam tenggorokan untuk menghormati peristiwa ini. Luar biasa! Rasanya tubuhku ikut tenggelam seluruhnya dan kurasa ada dua puluh macam lidah didalam mulutku. Sungguh gila! Tolol sekali! Si jahanam yang malang dan gaek ini telah mabuk lagi dan tidak tahu apa sebenarnya yang dia Tuhankan! Ugh kepalaku remuk, seluruh tubuhku menggeletar dan aku m,erasa dingin serta gelap bagaikan dalam kolong bawah tanah. Bahkan jika aku tidk lupa hancurnya kesehatanku, seharusnyalah aku ingat umurku. Betul-betul si gaek yang tolol aku ini. Yah! Umurku yang telah tua, tak ada gunanya lagi. dan aku yang berlaku dengan tolol, pongah, dan pura-pura muda padahal hidupku sekarang telah usai. Kuciumi juga tanganku yang telah enampuluh depalan tahun berlalu dan tak mungkin kulihat kembali. Aku kosongkan botol itu. Hanya tinggal beberapa tetes lagi di dasar, itupun cuma kerak-kerak. Ya, ya demikianlah halnya, Vasili, pemuda gaek. Waktu telah tiba bagimu untuk meltih peranan sebagai orang mati, suka atau tidak. Kematian kini sedang diperjalanan menujumu (melotot ke atas).

10 Feb 2011

Surat-surat Aubrey

Tidak ada komentar:
Sumber: Koran Kompas, 15 Januari 2011
Judul : Love, Aubrey
Peresensi: Paskalina Oktavianawati
Penulis : Suzanne LaFleur
Penerbit : M-pop (Kelompok Penerbit Matahati)

Kehilangan ditinggal pergi oleh orang yang disayangi bisa membuat seseorang depresi dan sedih berkepanjangan. Hal ini dialami Aubrey dan ibunya. Aubrey kehilangan ayah dan adiknya karena sebuah kecelakaan. Aubrey dan ibunya juga korban kecelakaan tersebut, namun keduanya selamat, semantara itu ayah dan adiknya tidak selamat. Semenjak kecelakaan itu, Aubrey tinggal bersama ibunya di Virginia.

KEBOHONGAN

Tidak ada komentar:
Sumber: Koran Jakarta, 22 Januari 2011
Judul : Kebohongan
Penulis : Erwin Pardede
Peresensi:Ali Rif’an
Penerbit : Naga Saco
Tahun : I, 2010
Tebal : 554 Halaman

Novel ini berkisah tentang seorang lelaki tangguh, pernah hidup susah, kemudian merangkak menjadi pengusaha sukses, bahkan menjadi pejabat tersohor di Senayan. Namun, entah faktor apa, tiba-tiba ia berubah 99 derajat. Dalam gelimangan harta dan jabatan, ia justru menjadi orang yang tak percaya kepada Tuhan. Ia meninggalkan agama yang telah dihayatinya selama puluhan tahun, mencibir eksistensi kehidupan surgawi, bahkan sangat skeptis dengan keberadaan Tuhan. Saking skeptisnya, ia sering kali menggugat Tuhan.

Perempuan Lintas Disiplin

Tidak ada komentar:

Sumber: Koran Jakarta, 19 Januari 2011
Judul : Perempuan Lintas Disiplin: Bunga Rampai Bahan Ajar Berperspektif Gender
Peresensi: Paulus Mujiran
Editor : Hotmauli Sidabalok & Alberta Eka Pratiwi
Penerbit : Badan Penerbit Unika Soegijapranata, Semarang
Tahun : I, Desember 2010

Sejak zaman purbakala, diyakini pendidikan membuka mata hati dan pikiran demi perkembangan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Namun tidak demikian dalam persoalan gender. Pendidikan yang dipandang buta gender justru berakibat ilmu pengetahuan tidak kritis terhadap persoalan-persoalan perempuan atau bias gender. Pada umumnya rasionalisasi ilmu pengetahuan menempatkan aspek otak kiri sebagai wilayah laki-laki dan lekat dengan aspek rasionalisme, androcentrisme.

A9ama Saya Jurnalisme

Tidak ada komentar:
Sumber: Koran Jakarta, 17 Januari 2011
Judul : A9ama Saya adalah Jurnalisme
Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka
Penulis : Andreas Harsono
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta

Judul buku ini menantang: A9ama Saya adalah Jurnalisme. Jika pembaca jeli, penulisan agama pada judul patut dicermati. Penulis memilih redaksional yang unik. Huruf “g” pada kata agama diganti dengan angka “9”. Sebenarnya ada apa dengan jurnalisme, media, dan agama? Itulah pertanyaan yang menggelantang. Sebelum menuju sana, pembaca perlu tahu apa yang ditawarkan penulis dengan mengganti huruf “g” dengan angka “9”.

Sepotong Bibir

Tidak ada komentar:
Sumber: Kompas, 12 Januari 2011
Peresensi:Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul buku: Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
Penulis: Agus Noor
Penerbit: Bentang Yogyakarta

Indonesia adalah negeri kaya raya. Kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia menjadi modal paling utama rakyat untuk mengais rizki di dalamnya. Karena begitu melimpah kekayaannya, tak salah kalau negeri Barat terpesona untuk ikut serta mengais harta di bumi Nusantara. Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang berturut-turut mengusung kekayaan Indonesia untuk menambal kekurangan mereka. Francis Goude dalam Duuchculture Oversease (2005) menyebut kaum pelancong ini telah melakukan pergundikan di “tanah surga.” Iya, Goude melihat bangsa Barat begitu terpesona dengan Indonesia karena menjanjikan surga di tanah yang teramat kaya ini.

9 Feb 2011

Sastra Populer

Tidak ada komentar:
Secara umum seni ‘dibagi’ atas seni tinggi (high art) yang diakui sebagai seni yang dikonsumsi oleh masyarakat yang berpendidikan, folk art rata-rata dikonsumsi oleh masyarakat tidak terdidik di pedesaan (umumnya), popular art dikonsumsi oleh masyarakat setengah terdidik pada masyarakat urban perkotaan dan pop art yang dinikmati oleh sebagian masyarakat berpendidikan dan setengah terdidik. Folk art untuk sebagian masyarakat terkadang mengacu dan berpengaruh pada agama tertentu yang pada sisi lain diasosiakan dengan ‘terbelakang’ dan dengan cara tertentu membuat dan mempertegas sebuah batasan antara “saya” dan “kamu”. Dalam ‘tradisi kiri’, popular dilihat sebagai seni yang bisa mengkristalkan sebuah masyarakat tertentu, kerakyatan pada tradisi ini bermuatan politis. Diluar tradisi ini, pop art pergi secepat ia datang dan merupakan sebuah barang kesenian yang merupakan konsumsi massa. Dari segi bentuk, pop art adalah sebuah barang eklektis, sebuah barang hasil daur ulang, yang untuk menunjukkan kebaruannya, inovasi yang dilakukannya adalah dengan meniru, dalam artian; tambal sulam. Pop art disini bertujuan mengironikan atau memparodikan sesuatu, akan tetapi di sisi lain ia tidak bisa begitu saja dikatakan demikian karena pada akhirnya pop art adalah sebuah barang yang dikonsumsi maka ia bertujuan untuk bisa dijajakan, dijual pada konsumen tertentu.