20 Jun 2011

Marjinal Menggugat Negeri!

Tak ada yang salah jika mereka berkeluh kesah. Tak ada yang salah jika mereka menggugat. Terlebih melalui apa yang mereka sebut sebagai sebuah pilihan. Bukan sekadar teriakan, lebih dari itu, ini tentang sebuah tanggung jawab dan prinsip hidup.

Apa arti sebuah hidup? Jika menjalaninya hanya dengan kekosongan?

Kalimat itu yang pertama kali mampir di telinga saya saat menjumpai sekelompok pemuda tanggung usia dua puluhan di bawah jalan layang Lebak Bulus-Ciputat. Saya serasa ditampar pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, tentang kekosongan.

Di depan mata, tubuh-tubuh ceking, tampang garang, rambut kaku mirip paku, anting-anting besar di hidung dan kuping, celana bolong dan jaket lusuh, dekil, seakan tengah berkata kepada saya bahwa mereka adalah makhluk bebas yang --ingin--teralienasi dari hiruk pikuk “imitasi” kota. Dan mereka berdikari di atasnya.

Mereka memang kusam, tapi mereka di balik kekusamannya mereka menyimpan keyakinan yang sakral yang begitu khusyuk mereka muntahkan dalam lantunan bait-bait lagu pembebasan. Suara mereka parau namun lantang menghunuskan bait demi bait mereka ke gendang telinga. Di tengah deru mesin kendaraan mereka seakan sedang memuntahkan ribuan rasa kecewa, soal cinta ataupun penghibur kehidupan yang makin sulit. Inilah yang membuat saya seperti tidak punya makna hidup.

Punk memiliki rentetan sejarah yang cukup panjang. Sejarah mencatat bahwa punk awalnya adalah sebuah gerakan subkultur yang tumbuh dan berkembang di Inggris dan Amerika. Ekspresi ini muncul dari kehidupan masyarakat industrial dan perkotaan (urban). Kelompok ini berangggapan bahwa menjalani hidup di zaman ini sama saja menjalani hidup sebagai robot mekanis. Kebudayaan didominasi oleh simbol, simulasi visual, stereotipe, ilusi, reproduksi, imitasi, dan fantasi.

Manusia sekarang menurut mereka telah terlena dihidupi dan menghidupi rezim budaya citra yang palsu. Koran-koran dan majalah, reklame di pinggir jalan, televisi, handphone, internet, dan sebagainya telah mengepung setiap individu—yang seharusnya merdeka. Menginvasi segala sektor kehidupan dan akhirnya menenggelamkan seluruh tubuh mereka dan mengubahnya menjadi “masyarakat tontonan” (society of spectacle). Sebuah masyarakat yang menggantungkan eksistensinya pada tampilan, kosmetik efek atraktif–spektakuler. Inilah masyarakat di mana kemasan lebih bernilai ketimbang isi, impresi lebih penting ketimbang esensi, visualisasi lebih berguna daripada kontemplasi.

Lamat-lamat suara parau mereka membombardir kesadaran saya bahwa sikap yang mereka pilih tidaklah patut untuk dianggap sebagai sebuah kesalahan sejarah atau penyimpangan etika sosial. Tapi, sebuah keniscayaan bahwa terkadang pilihan seseorang memang sulit dipahami. Tapi itulah pilihan, dan siapa saja berhak memilih, menjadi apa saja, menjadi siapa saja. Di tengah nyanyi mereka, timbul rasa penasaran di benak saya. Saya mencoba menangkap beberapa bait yang mereka nyanyikan. Saya hafalkan.

Sesampainya di rumah, saya coba browsing bait-bait itu di internet. Tembang-tembang pembebasan yang dinyanyikan para pemuda ini ternyata bersumber dari grup musik punk bernama “Marjinal”. Grup musik yang sebelumnya sempat bernama “Anti ABRI” dan “Anti Military” ini dicirikan lirik-lirik kritik politik dan semangat perubahan sosial. Tak ayal beberapa lagu mereka banyak dinyanyikan oleh punkers dan para aktivis yang sedang berdemonstrasi.

"Marjinal" memang bukan grup band yang dikontrak oleh label besar. Grup yang bermarkas di Setu Babakan, Jakarta Selatan, ini adalah band indie yang mengerjakan seluruh proses rekaman dengan mandiri. Selalu mengusahakan untuk berjuang hidup bertolak dari apa adanya. Semangat Marjinal dituangkan dalam etalase yang merangkai mimpi dan kreativitas mereka pada sebuah kaos, kaset, pin, stiker, emblem, zine, sampai buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.

Lagu-lagu ciptaan Marjinal yang membakar semangat perjuangan dan perlawanan terhadap tirani kerap dinyanyikan untuk mengobarkan semangat masyarakat atau mahasiswa saat berunjuk rasa. Lagu ini mencoba memotret sebagian kecil realitas pahit yang terjadi di negeri tercinta Indonesia. Lagu yang kemudian dinyanyikan dan didapurrekamkan ini merupakan luapan kekecewaan yang atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Dalam lagu-lagu mereka, dapat diketahui bahwa kesengsaraan yang mereka rasakan adalah akibat dari para pemimpin yang korup dan tidak bertanggung jawab.

Kekecewaan itu mungkin saja dapat dianggap tidak wajar jika mereka hidup di negeri yang tandus dan miskin. Namun mereka hidup di negeri yang subur dan kaya, dengan sawah ladang terhampar luas dan samudra biru (seperti yang terdapat dalam lirik lagu). Sehingga, ironis sekali jika mereka tidak sedikit pun menikmati kekayaan alam Indonesia. Mereka harus berjuang keras di jalan-jalan.

Perjuangan menuju kebaikan dengan apa pun caranya, apa pun atributnya, apa pun medianya adalah perjuangan yang patut terus didukung. Marjinal, melaui dentuman drum, cabikan bass, lengkingan gitar dan teriakan keras vokalisnya mencoba mengacungkan kata perlawanan. Menggugat negeri atas kesewenang-wenangan para pemimpin yang abai terhadap kaum miskin, lemah, dan terus memperkaya diri mereka sendiri tanpa memperdulikan kesengsaraan di sekitarnya. Api semangat itu terus membara di jiwa dan raga mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar