Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

18 Jun 2015

Kampret,-

Tidak ada komentar:
Kampret! Adik Gue ini memang cantik banget! Semacam campuran Senk Lotta sama Meryem Uzerli, gitu deh. Gila! Manis banget! Badannya tinggi semampai, bahunya mungil, alisnya tebal, bibirnya merah, rambutnya lurus tergerai, matanya indah, pokoknya sempurna! Adik Gue memang cantik, tapi yang Gue bingung sampai sekarang, Gue enggak pernah ngerti entah kenapa muka sama perawakan Gue berbeda banget sama si Adik. Badan Gue enggak terlalu tinggi, gembrot, bahu Gue lebar, dan satu lagi yang paling Gue benci dari Gue dan kehidupan alam semesta ini: banyak jerawat di muka Gue. Sebel! Kampret!

Satu waktu Gue sama si Adik bocengan naik motor, Gue yang nyetir, sampai di tikungan jalan, Gue lihat gerombolan anak SMA lagi nongkrong, Gue jalan pelan-pelan sambil lihat anak-anak ingusan itu mangap karena lihat keelokan si Adik. “Ya Alloh Bu… anaknya cakep banget daaah” Teriak salah satu dari mereka. Denger itu sumpah Gue kaget banget! “Hah? Ibu??? Gue dipanggil Ibu? Kampret!! Begundal Tengik! Menghina banget luh!! mentang-mentang badan Gue gembrot! Emangnya muka Gue kelihatan kayak ibu-ibu ya??? Hah! Woi! Gue kakaknya tauu!!! Kampret!” Enggak usai-usai Gue maki-maki itu bocah-bocah dalam hati. Si Adik hanya tersenyum manis sambil mengelus-elus pundak Gue, busyet dah! Kalem banget ya ini anak? Gue lihat dari kaca spion. Gila! Bidadari banget! marah Gue tiba-tiba aja reda.

Gue ini perempuan berhijab, sedangkan si Adik enggak. Tapi Kampretnya! Kalau soal soleh-solehan, si Adik justru jagonya. Entah kenapa si Adik ini gampang bangun malam terus shalat Tahajud. Kalau Gue? Bangun Subuh aja malesnya bukan main. Gara-gara itu, Gue jadi berpikir begini: Apa lantaran sering shalat Tahajud si Adik jadi cantik ya? Ah! bisa jadi tuh! Kampret! Kenapa baru kepikiran gini ya? Buru-buru Gue pasang alarm nyala jam dua pagi. Triiiinngg!! Busyet! Punggung remuk rasanya, kuping pengak, bangun, kucek-kucek mata, Agak ngeblur lihat jarum jam di angka dua. “Ah! Mana mungkin shalat Tahajud bikin cantik? Ada-ada aja nih Gue!” Gumam Gue dalam hati. Demi alasan molor, Gue rela meruntuhkan tesis Gue sendiri.

17 Jun 2015

Rindu Tanah Jeruk Palestina

Tidak ada komentar:

Judul Buku: Rindu Tanah Jeruk: Palestina!
Penulis: Thoha Anwar
Tebal Hal: xviii+128 halaman
Tahun Terbit: 2014
Cover: Satrio Abe

Tiba-tiba Bram menoleh ke arah kanan, pandangannya menatap jauh. Matanya terpaku pada sosok orang yang menyusuri pantai dengan langkah-langkahnya yang ringan. Seolah matanya tidak berkedip mengikuti sosok orang yang berjalan itu. Semakin dekat semakin pasti, seorang gadis yang berjalan sendiri. Tetapi benarkah itu Hala? Benarkah, benarkah gadis itu Hala? Bukankah kemarin dulu, gadis Palestina yang telah begitu akrab dengannya itu telah mengucapkan kata ‘selamat berpisah’ dan mungkin tidak akan bertemu lagi dengannya di Kairo, Alexandria, atau pun di seluruh Mesir?

Demikianlah sekelumit pergolakan batin Bram ketika menuntut ilmu di negeri Mesir, tempat ia menuntut ilmu bersambut getaran-getaran cinta. Getaran cinta yang disambut baik dengan kenalannya, Hala, seorang gadis Palestina yang sedang berjuang untuk melepaskan negerinya dari belenggu penjajah. Garis hidup mereka bersisian di negeri seribu menara ini, namun Tuhan tidak menakdirkan untuk bersisian selamanya. Bram harus kembali ke Indonesia, Hala harus meneruskan perjuangannya di Palestina.

22 Jan 2013

Kyai Wasid Menggugat!

Tidak ada komentar:
http://gugahjanari.blogspot.com
Cerpen ini dimuat juga di www.nuonline.or.id

Cerita ini hanyalah dramatisasi Peristiwa Geger Cilegon 1888

Matanya nanar, seakan ada rembulan menggantung di sana. Usianya sudah lengkap dengan asam garam kehidupan. Warna rambutnya hanya ada dua, hitam dan putih, berpadu seperti Yin dan Yang, terbungkus serban putih kesayangannya. Usianya memang senja, tapi jika ia berjalan langkahnya masih gagah tegap meskipun ia tak pernah mengenyam pendidikan militer. Lelaki tua itu duduk bersila sambil menatap sekeliling ruang kosong. Sebuah bangunan gelap yang mungkin usianya jauh lebih renta dari usianya. Secercah cahaya lurus menerobos ruangan itu, tampak asap putih mengepul dari corong mulutnya, sesekali ia hisap kepenatan dalam batinnya. Tampak ada rasa kekhawatiran di matanya, kekhawatiran tentang sebuah musim di mana hanya sedikit orang-orang yang mau mengerti tentang arti kehidupan, tentang Tuhan, tentang keyakinan, perjuangan, hak kemanusiaan di ruang-ruang saksi sejarah yang bisu yang semakin tersudut di pinggir desa-desa yang dijajah lahir dan batinnya.
Sudah satu minggu lamanya Kyai Wasid mendekam dalam jeruji besi sejak ia ditangkap oleh pemerintah Belanda. Kyai Wasid dianggap bersalah karena telah berbuat onar menebang pohon Kepuh besar yang akhir-akhir ini disembah oleh warga penduduk desa Lebak Kepala Banten.

Kabar Kematian

Tidak ada komentar:


firmanweh.blogspot.com
Teruntuk Para Orang Tua Kami

“Bang, Bapak jatuh, Bapak masuk Rumah Sakit, cepetan pulang!” Masih terngiang jelas di telinga saat adik perempuanku—Hafidzah—menyampaikan kabar itu sembari menangis terisak-isak. Suaranya terbata-bata. Parau. Napasnya memburu. Aku hanya menjawab seadanya. Jujur saja, hanya ada sedikit rasa khawatir saat aku mendengar kabar itu, bagiku persoalan di kantor jauh lebih mengkhawatirkan, jadi, kuputuskan besok saja menjenguk Bapak. Ya Allah. Betapa angkuhnya aku.
***
Aku dapati tubuh Bapak terbaring lemas, wajahnya seperti dilipat ribuan rasa sakit, tubuhnya tipis, urat tangan dan kakinya menyembul bak sulur. Ada Mama di sampingnya, matanya lebam, tampak kesedihan telah lama membanjiri wajahnya yang kuyu. Aku seperti makhluk bodoh yang tak tahu harus berbuat apa-apa. Mama tak henti-hentinya meratap, kantung matanya memerah, seakan bulan sabit mengantung di sana.
Aku sungguh tak tahu mesti berkata apa kepada Mama, terlebih kepada Bapak. Aku membisu. Kuhampiri keduanya, kucium tangan dan pipi Mama, lalu duduk dan memandangi tubuh Bapak yang kurus kering, warna kulitnya kusam, matanya lebam, kedua bibirnya terkatup, dahinya membentuk parit-parit kecil, guratan tebal penanda jejak hidup dan ribuan peristiwa tampak jelas di sana. Bapak benar-benar terlihat tak berdaya. Aku bertanya perihal mengapa Bapak bisa sampai terbaring di sini, satu per satu dari adik dan kakakku mulai bercerita, sesekali Mama juga menambahkan. Bapak terserang stroke. Di sela perbincangan tiba-tiba Bapak siuman, buru-buru kutopang bahunya, Bapak kini duduk bersandar pada bantal. Matanya menatap mataku, ada rasa rindu menggenang di matanya, aku pun merasakan hal yang sama. Ya Allah, betapa rindunya aku pada Bapak.

19 Okt 2011

TOTO DAN SEBILAH KUJANG

Tidak ada komentar:
ilustrasi oleh: laritelanjang.net
Toto melangkah dengan cepat melewati lorong-lorong kecil. Kakinya yang telanjang menghantam dinding-dinding comberan. Matanya yang kendur ia pejamkan sesekali lalu kembali ia buka lebar-lebar demi menahan kantuk yang luar biasa. Tangan kirinya terkepal keras, tampak urat-urat tangannya terlihat begitu jelas. Mulutnya tak henti komat-kamit, entah racauan apa yang ia ucapkan, tidak terlalu jelas, namun ada aroma amarah yang tesulut di sana. Tangan kanannya mengepal erat sebilah Kujang, erat sekali, sampai-sampai tangan dan Kujangnya menjadi sebuah kesatuan mengeras dan membatu. Keringat yang sejak tadi mengucur di parit-parit dahinya ia abaikan. Bahunya mengeras. Tampak dendam telah melilit jiwa dan raganya, darahnya mendidih, napasnya memburu, haus, seakan-akan menghanguskan apa saja yang menghalanginya. 

Toto terus melangkah. langkah-langkah yang lebar ia hujam ke setiap detik-detik yang bergulir, menggelinding dihantam ketidaksabaran. Luka, ialah luka, apalagi yang lebih menyakitkan daripada sebuah luka. Luka yang terus memburu Toto dalam amarah, amarah yang terus menari di atas luka-luka yang ditorehkan orang yang sedang ia cari di sini, di kerumunan banyak orang, sebuah terminal kumuh di kota Majalengka.

[]
Dua bulan yang lalu Toto masih tinggal di pesantren, tempat yang sama sekali berbeda dengan tempat asalnya, Terminal Bus. Masuk pesantren adalah pilihan Toto sejak ia keluar dari Lembaga Permasyarakatan dua bulan silam. Ia ingin benar-benar bertobat setelah kelam menjalani hari-harinya yang keras di tengah terminal. Semua kejahatan pernah ia lakoni, merampok, menjambret, menodong, bahkan membunuh sepertinya sudah menjadi hal yang biasa baginya, dan keluar-masuk penjara sudah sering kali ia alami. Toto memang benar-benar ingin insyaf. Baginya, tiada yang mampu mengemudikan hidupnya selain seseorang, yaitu ibu.
 

Toto yang kini menjalani hari-hari layaknya para santri yang lain dapat berubah sebegitu drastisnya tentu dikarenakan permintaan sang ibu yang tidak ingin melihat anaknya terus terpuruk dalam kekelaman. Siapakah yang menginginkan anaknya berkubang dalam kekelaman? Tentu tidak ada.

Selama di pesantren Toto memang tidak lantas langsung melahap dan mempelajari dan melahap ilmu-ilmu agama dari kitab klasik, karena baginya itu terlalu sulit, terlebih latar belakang dan orietasinya yang berbeda dengan santri-santri lain. Tidak lebih dari itu, Toto hanya menginginkan tempat yang tenang di mana ia dapat merenung dan bertobat dengan khusuk. Setiap malam Toto terjaga demi melaksanakan shalat Tahajud dan shalat Taubat. Tak jarang usai shalat Toto menitikkan air mata. Tampaknya kehidupan lamanya begitu kelam sehingga doa yang dipanjatkannya pun begitu dalam.

Dalam hal pergaulan Toto dikenal normal-normal saja, sama seperti santri-santri yang lainnya, walaupun tampang dan perawakannya menyeramkan tapi sesungguhnya ia memiliki perangai yang lucu dan humoris. Toto memang dikenal dengan perawakannya yang tinggi  besar, paras wajahnya yang beringas, dan tubuhnya yang dipenuhi tato. Siapa pun yang melihatnya dapat segera menghakimi orang macam apa dia.

Dari minggu ke minggu Toto menjalani hari-harinya yang baru, ia mulai berdaptasi dengan pola hidup lingkungan sekelilingnya. Kesegaran baru dalam menjalani hidup ia renguk penuh dengan penuh kebahagian, di sana di tempat anak-anak bangsa menimba ilmu. Toto benar-benar mengalami perubahan yang drastis, mungkin inilah yang disebut dengan konsekuensi dari sebuah perubahan.

Suatu hari ia menerima surat dari Uzlah Utini. Seorang gadis desa tempat Toto dilahirkan. Seorang yang selama ini menjadi peraduan hati dan jiwa Toto. Uzlah adalah orang kedua yang mampu mengendalikan Toto. Toto sumingrah. Dengan sedikit kikuk Toto membuka surat yang dikirimkan Uuz, nama panggilan kesayangan Toto pada Uzlah Utini kekasihnya. Senyum lebar tersungging di ujung lekuk bibir Toto kala mulai membaca surat. Namun lama kelamaan wajah Toto berubah drastis, dahinya merapat, alisnya naik, tangannya terkepal kuat dan napasnya memburu. Toto terlihat tidak mampu menahan amarahnya. Namun dengan penuh ketenangan ia mencoba untuk mengatur emosi yang semakin lama semakin memuncak, matanya nanar, begitu dalam dan jauh.

Toto bergegas mempersiapkan sesuatu seadanya, para santri tidak ada yang mencurigai tindak tanduknya, ia begitu pintar menyembunyikan sesuatu dalam dirinya sehingga para penghuni asrama tidak tahu sama sekali apa yang ia rasakan saat itu. Dengan langkah-langkah besar Toto meluncur tajam ke jalan setapak di belakang pondok, dengan tergesa-gesa ia masuk ke ladang tebu untuk sampai ke jalan raya.

Toto hanya membutuhkan dua jam perjalanan dari pesantren menuju terminal Majalengka, namun baginya waktu tersebut begitu lama karena ia sudah tak sabar menunggu. Kini pemandangan sebuah terminal kumuh tepat di depan bola mata Toto. Ia mendatangi kerumunan orang-orang, matanya garang, tubuhnya kencang terpancang urat-urat yang keluar mengakar, orang-orang berhamburan. Matanya seperti radar memburu apa yang ia cari.
 

“Hai sini kau, anjing!” teriaknya kepada seorang laki-laki kurus penjual kacang goreng yang sejak tadi ketakutan.
 

“Di mana si jangkung?” teriak Toto.
“Saya nggak tahu!” jawab laki-laki tadi. Toto menyeringai. Orang-orang berhamburan. Disepaknya orang tadi laksana bola, Toto tidak tinggal diam ia terus memburu apa yang ia cari, sebuah hadiah yang ia idam-idamkan dari kabar yang menyesakkan. Menyesakkan jiwanya, raganya, dan seluruh hidupnya. Namun sampai detik itu, apa yang ia cari belum kunjung tampak di matanya. Toto masih tetap memburu, laiknya truk tronton yang sedang menghancurkan rumah-rumah bedeng kaki lima. Ia menggerus dan meluluhlantahkan semua yang ada di hadapannya.
 

Di balik kerumunan orang yang berhamburan mata Toto seakan menangkap isyarat. ya, sesuatu yang ia idam-idamkan, dan kini ia telah mendapatkannya. Tanpa aba-aba Toto melesat pada sosok yang dituju, matanya tak lepas mengekor, Toto benar-benar memburunya seperti hendak kiamat, tak ada waktu lagi, semua harus terselesaikan. Ia terus mengejar laki-laki berjaket lusu itu, seluruh wajahnya dipenuhi ketakutan, urat-urat di jidatnya keluar seperti menantang teriknya matahari. Sekuat mungkin ia lari. Lari dari kejaran Toto yang sudah berubah jadi budak amarah yang menyala-nyala. Padahal laki-laki itu sudah lari sekencang-kencangnya, namun Tuhan berkehendak lain, mangsa itu telah berada dalam cengkeraman sang pemburu, sedikit perlawanan yang diburu hanya melukai tangan dan perut Toto, tidak masalah, semuanya tidak begitu berasa baginya. Kujang yang sejak tadi menghuni tangan Toto begitu cepat kini telah bersarang tepat di dada kiri laki-laki apes itu, bertubi-tubi Toto melepaskan amarahnya yang menyatu dengan rasa tega pada seonggok tubuh di hadapannya. Semua orang hanya terpaku, tak ada yang mampu berbuat apa-apa.
 

Semua seakan bisu. Tubuh malang itu kini terkapar bersimbah darah, ia sudah tidak berdaya, namun bagi Toto tubuh malang itu seakan masih menyembulkan rasa kebencian dan muak yang sangat dalam untuk dirinya. Dihirupnya udara ketenangan, ia maki sejenak mayat itu lalu meludahinya. Tubuh yang malang. Begitu malang sampai tak ada yang mengenali siapa seorang yang dibunuh itu. Toto bergegas pergi seperti hilang ditelan awan.

Sejak kejadian itu Toto menghilang entah ke mana, namun saat ini jelas ia kini telah menjadi buronan polisi atas pembunuhan seorang laki-laki di terminal. Tidak ada satu pun yang mengetahui ke mana Toto menghilang. Beberapa hari setelah kejadian semua orang mengenal Toto dimintai keterangan termasuk Kyai Mansyur pengasuh pondok pesantren tempat Toto menimba ilmu. Namun nihil, tidak ada yang mengetahui keberadaan Toto. Tiga bulan sudah Toto menghilang. Berita yang tadinya sempat santer di kalangan masyarakat umum khususnya di lingkungan pesantren seakan hilang ditelan bumi, sampai pada satu malam Toto datang ke pondok dengan tergesa-gesa.
 

Tubuhnya berkeringat, napasnya tak beraturan, dari balik dedaunan pohon pepaya di belakang pondok Toto mencoba memanggil seseorang dengan berbisik lirih. Ahmad yang ternyata mendengar suara dari balik kegelapan ini mencoba menghampiri, ia memicingkan mata. Alangkah kagetnya yang dilihat ternyata Toto, orang yang selama ini menjadi topik pembicaraan yang tak sudah-sudah. Ahmad menghampiri Toto, ia sama sekali tidak melihat wajah ketakutan di mata Toto. Ia begitu tenang, namun ia tampak tidak memiliki banyak waktu. Ia menceritakan semua perihal peristiwa yang ia alami. Ia bahkan menceritakan detil setiap peristiwa yang ia alami. Kata-kata membuncah begitu saja bagaikan peluru yang tak henti-henti. Ahmad hanya mengangguk-angguk. Ia benar-benar terdiam dan sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Toto tampaknya sudah selesai dan begitu tenang menyampaikan semuanya kepada Ahmad. Ia yang tak punya waktu banyak menepuk punggung Ahmad.
 

“saya pamit kawan, saya titip Kujang ini, tolong rawat baik-baik, ini adalah pemberian ayah saya, saya tidak mau dipegang oleh orang yang tidak saya kenal. Terima kasih kawan semoga kita dapat bersua lagi” Toto hilang ditelan gelap, Ahmad cuma bisa terdiam sambil menggulung Kujang pemberian Toto dengan kain. Dalam benaknya ia tidak bisa berkata Toto telah melakukan yang benar atau yang salah.
 

Toto telah pergi, namun entah ke mana, tak ada lagi yang ia kasihi, karena yang ia kasihi telah pergi menghadap Tuhan walau dengan aib dan nista yang dibawa, Uzlah bunuh diri namun itu bukan kehendaknya, kekasihnya dihamili oleh seseorang yang sangat dekat dengan dirinya, seseorang yang selama ini banyak mendapatkan pelajaran tentang bertahan hidup dengan kekerasan, kejahatan, dan kekejaman di terminal, seseorang yang selalu memanggil kakak kepada Toto. Seseorang yang mati terkapar bersimbah darah ditikam Kujang oleh Toto, kakak kandungnya sendiri, yang tak mampu menanggung malu dan aib adiknya sendiri terutama di depan kekasihnya Uzlah Utina yang terlebih dahulu menghadap Yang Kuasa.

Untuk sahabatku Toto
Semoga kita dapat bersua kembali kawan!

Seperti dimuat di laritelanjang.net

19 Apr 2011

Dia

Tidak ada komentar:
Di sudut keremangan batin, aku coba bertanya pada pertanyaan yang terus mengiang di seperempat abad umur. Aku, berputar dalam labirin logika usang, kemarin, hari ini, atau bahkan waktu yang terkadang entah dari sudut mana kita dapat menjelaskannya.


Sudah lama aku menanti Dia, sudah dua bungkus rokok habis kuhisap hanya untuk menanti Dia. Tadinya aku hampir putus asa. Namun, tepat pukul tiga lewat tiga belas, harapan yang sempat menjadi buih itu kini tampak. Dia berjalan di permukaan kantung mataku yang lunglai, Dia menampar penantianku yang membusut dan hampir meledak. Dia kini Dia di hadapanku, di hadapan orang yang sangat menginginkan Dia.

18 Mar 2011

Mimpi

Tidak ada komentar:


Apa jadinya jika cinta yang dianggap kekal, tapi justru ia meninggalkanmu. Apa jadinya jika pemberian yang dianggap kekal, padahal ia hanya sesaat, ia datang dengan sendirinya, berpaling dengan sendirinya, kapan pun ia mau.

“Namanya juga cinta, Bu…” Aku hanya bisa menjawab demikian ketika ibu menanyakan perihal waktuku yang terkuras habis untuk bermesraan dengan Firas. Ibu sempat menasihatiku sebelum menutup teleponnya, aku hanya terdiam mendengar nasihat yang sering kali diutarakannya itu kepadaku. Perhatian ibu kepadaku memang menanjak drastis semenjak ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Memang wajar adanya kalau ibu bersikap demikian, karena aku anak semata wayangnya, siapa lagi yang ia miliki selain diriku. Aku jadi sedih kalau teringat ibu, aku ingin selalu berada di sampingnya, tapi pekerjaanku tidak memungkinkan keinginan itu bisa terwujud. Ditambah lagi aku sering menghabiskan waktu luangku untuk Firas, kekasih hati yang sangat aku sayangi, pasti sangat sedikit sekali waktuku untuk ibu. Firas, gadis manis asal Bandung yang telah mengobrak-abrik palung hatiku. Pernah sesekali aku ajak dia untuk kuperkenalkan kepada ibu, namun tampaknya ibu tidak begitu suka dengannya, entah lantaran cemburu karena aku lebih memilih menghabiskan waktu dengannya atau ia merasa iri karena ia lebih cantik dari ibu, atau ada alasan lain yang belum sempat aku cari. Alah, semua itu tidak jadi masalah buatku, bagiku cintaku kepada Firas membuatku tidak mampu memikirkan hal lain selain dirinya, senyumannya, tatapan matanya yang hangat, melihat caranya berbicara, caranya menyentuhku, memanjakanku, seakan semuanya surga telah tersirat dalam kehidupanku.

9 Des 2010

Tentang Angka 2200 dan 22200

Tidak ada komentar:
ilustrasi oleh: laritelanjang.net
Jika memang Tuhan senang bermain-main dengan tanda, maka tiada yang lebih membahagiakan-Nya selain melihat hambanya mencoba mengeja, menguak, memecahkan, dan setelah itu merenungi tanda-tanda yang dibuat-Nya.

Seperti biasa, langit malam terlanjur muram, aku sendiri tak sanggup menghalau keinginannya, awan-awan menggumpal tak bergerak sama sekali, seakan-akan mereka sedang asyik berguyub mendiskusikan sesuatu, atau mungkin sedang berkumpul menunggu sesuatu (menunggu Godot misalnya?) atau mungkin juga sedang berkerumun menyaksikan seonggok mayat korban tabrak-lari, atau apa lah, yang jelas mereka kini adalah segerombolan awan pekat nan muram.

24 Nov 2010

Tentang Kemarin yang Ditulis Hari ini

Tidak ada komentar:
Ilustrasi: laritelanjang.net
Entah apa rasanya jika setiap kebaikan yang kita lakukan dianggap sebagai bukan kebaikan, dan entah apa rasanya jika niat baik kita selalu dibenturkan dengan pertanyaan: “Niat baik Anda untuk siapa?”

Sore ini aku pulang seperti biasa, tak ada tanda-tanda bahwa akan ada yang aneh. Hanya saja langit yang muram tak henti-hentinya menabuh gemuruh dan hanya saja awan hitam yang sudah mondar-mandir kesal menunggu aba-aba dari cakrawala.

Di perjalanan aku hanya bisa membayangkan bisa cepat sampai rumah, mandi, makan malam dengan menu yang tak terduga, nonton super family di antv, makan gorengan mas Iyan atau bakso mas Yanto, main catur di laptop, membaca cerpen eksistensialismenya Iwan Simatupang, cerpen budayanya Putu Fajar Arcana, atau membaca karya Jenar Maesa Ayu yang kata-kata vulgarnya maur kemana-mana, membaca puisi-puisi Sitor Situmorang dan sajak sihir Sutardji Calzoum Bachri, dan seabreg keinginan yang mengantri ingin dikerjakan.