22 Jan 2013

Kabar Kematian



firmanweh.blogspot.com
Teruntuk Para Orang Tua Kami

“Bang, Bapak jatuh, Bapak masuk Rumah Sakit, cepetan pulang!” Masih terngiang jelas di telinga saat adik perempuanku—Hafidzah—menyampaikan kabar itu sembari menangis terisak-isak. Suaranya terbata-bata. Parau. Napasnya memburu. Aku hanya menjawab seadanya. Jujur saja, hanya ada sedikit rasa khawatir saat aku mendengar kabar itu, bagiku persoalan di kantor jauh lebih mengkhawatirkan, jadi, kuputuskan besok saja menjenguk Bapak. Ya Allah. Betapa angkuhnya aku.
***
Aku dapati tubuh Bapak terbaring lemas, wajahnya seperti dilipat ribuan rasa sakit, tubuhnya tipis, urat tangan dan kakinya menyembul bak sulur. Ada Mama di sampingnya, matanya lebam, tampak kesedihan telah lama membanjiri wajahnya yang kuyu. Aku seperti makhluk bodoh yang tak tahu harus berbuat apa-apa. Mama tak henti-hentinya meratap, kantung matanya memerah, seakan bulan sabit mengantung di sana.
Aku sungguh tak tahu mesti berkata apa kepada Mama, terlebih kepada Bapak. Aku membisu. Kuhampiri keduanya, kucium tangan dan pipi Mama, lalu duduk dan memandangi tubuh Bapak yang kurus kering, warna kulitnya kusam, matanya lebam, kedua bibirnya terkatup, dahinya membentuk parit-parit kecil, guratan tebal penanda jejak hidup dan ribuan peristiwa tampak jelas di sana. Bapak benar-benar terlihat tak berdaya. Aku bertanya perihal mengapa Bapak bisa sampai terbaring di sini, satu per satu dari adik dan kakakku mulai bercerita, sesekali Mama juga menambahkan. Bapak terserang stroke. Di sela perbincangan tiba-tiba Bapak siuman, buru-buru kutopang bahunya, Bapak kini duduk bersandar pada bantal. Matanya menatap mataku, ada rasa rindu menggenang di matanya, aku pun merasakan hal yang sama. Ya Allah, betapa rindunya aku pada Bapak.
“Ini Hijrah, Pak, baru datang.” Kata Mama sambil mengusap sisa air mata di pipinya. Bapak hanya menatap lurus ke mataku. Tidak ada kata atau tindakan apa pun. Bapak hanya terus menatap. Aku jadi bingung dibuatnya. Detak jantungku mendidih. Kini aku sedih dibuatnya. Bapak masih saja terdiam sampai akhirnya ia menitikkan air mata, dengan isyarat tubuh Bapak meminta kami untuk kembali merebahkan tubuhnya. Hatiku benar-benar hancur. Ya Allah Ya Rabbul Izzati. Tak adakah sepatah kata untukku? Apakah Bapak marah kepadaku? Apakah Bapak kecewa kepadaku? Ya Allah Tuhan Pemberi Kebahagian. Berikanlah kasih sayang-Mu kepada Bapak. Air mataku meleleh. Kuciumi tangan Bapak. Tangisku semakin deras saat tangan bapak mengusap-usap kepalaku. Mama kembali meratap. Tangisnya membuncah. Senja datang, lamat-lamat terdengar suara azan. Ampuni dosaku Ya Allah.

***
Kabar bahwa Bapak sudah bisa dibawa pulang benar-benar membuatku lega. Bapak sekarang dirawat di rumah. Karena jarak yang jauh, aku hanya bisa menanyakan perkembangan Bapak kepada kakak atau adikku, maklum saja, aku satu-satunya anak Bapak yang semenjak menikah langsung memutuskan untuk tidak tinggal di rumah orang tua. Aku memilih tinggal jauh dari orang tua. Walaupun kami masih mengontrak, namun bagiku itu lebih baik, karena di sana kami bisa hidup mandiri.

***
“Bang, Bapak nggak sadar lagi, sekarang di UGD Rumah Sakit Ananda Bekasi. Abang cepetan ke sini!” Kali ini kabar dari dari Hafidzah benar-benar membombardir dada. Aku terperanjat. Aku izin pulang kantor lebih cepat.
“Bapak harus dirujuk ke rumah sakit lainnya, Jrah!” kata kakak laki-lakiku—namanya Hadiyatullah. Aku mengangguk-angguk sembari memandangi tubuh Bapak yang terbujur lemas di ruang UGD. Bang Hadi adalah kakak tertua kami. Sejak Bapak masuk Rumah Sakit, untuk urusan uang dan waktu Bang Hadilah yang paling banyak berkorban dibandingkan anak-anak Bapak yang lain. Perhiasan istrinya habis, uang tabungannya terkuras, Bang Hadi juga harus rela menjual satu motornya. Kami benar-benar harus memutar otak mencari uang, terlebih kami bukan keluarga yang berada. Keadaan Bapak semakin kritis, sama halnya dengan keuangan kami. Seluruh upaya telah kami upayakan. Uang tabungan Bapak untuk ongkos naik haji kini sudah ludes, seluruh tabungan dan perhiasan Mama juga tak tersisa. Istriku pun ikhlas “gundul” alias rela menjual seluruh perhiasannya. Aku terharu. Terima kasih ya Allah. Tak salah kiranya aku persunting bidadari-Mu ini.
Mobil ambulans membawa Bapak. Kami lega, Bapak kini berada di ruang perawatan Rumah Sakit yang dirujuk. Bapak, semoga lekas sembuh sehingga kita dapat berkumpul kembali. Istirahatlah Bapak, karena kami harus terus mencari tambahan uang lagi untuk biaya perawatan. Keadaan semakin mendesak.
“Kalau nama Bapak saya diubah jadi nama istri saya, bisa nggak, Bu?”  Tanyaku pada seorang petugas di bagian kasir.
“Oh maaf Pak, nggak bisa, kami tidak bisa mengganti nama pasien dengan nama orang lain karena terkait dengan data-data medis si pasien.”
“Tolong bu, mungkin saja bisa, tolongin kita, Bu.. soalnya kita sudah nggak punya duit lagi, Bu.” Bang Hadi turut mendesak. Wajahnya memelas.
“Maaf, Pak, tetap saja tidak bisa, karena ini sudah ketentuan dan prosedur manajemen Rumah Sakit kami.” Sang kasir meninggikan suaranya.
Tolongin kita dong, Bu! Minta kebijakannya, Bu!” Emosiku mulai tersulut. Suara kami mendominasi ruang tunggu kasir, beberapa orang menoleh ke arah kami. Aku terus memohon, namun apa pun alasan yang aku berikan sang kasir tetap saja memberikan jawaban yang sama. Aku benar-benar terbawa emosi. Cekcok kami semakin menjadi bahan perhatian, Bang Hadi mencoba meredakan dan menyuruh saya untuk berhenti memohon. Aku menyerah. Kini aku benar-benar bingung. Astagfirullah. Kutarik napas panjang. Ya Allah. Maafkan hamba karna sampai hendak berbuat demikian. Hamba sadar itu adalah tindakan yang tidak benar. Ya Allah. Tuhan Maha Pemberi Rezeki Yang Melimpah, ampunilah khilaf hamba ya Allah. Tidak berapa lama beberapa kerabat dan tetangga kami satu persatu berdatangan dan membantu biaya Rumah Sakit untuk Bapak. Alhamdulillah.

***
Selama satu minggu Bapak dirawat secara intensif, kami bersyukur keadaannya kini membaik, selain perawatan medis, Bapak juga mendapatkan terapi stroke. Bapak sudah diperbolehkan pulang, tapi Bapak harus duduk di atas kursi roda dan harus terus menjalani terapi. Setelah kepulangannya kali ini aku memutuskan untuk menetap di rumah Bapak selama beberapa hari. Suatu hari Bapak meminta aku untuk memapahnya dari tempat tidur ke atas kursi roda, dengan sisa-sisa tenaganya ia mencoba duduk tegap.
 “Bapak mau shalat Zhuhur” begitu katanya. Suaranya parau. Hati saya bergetar dan saya tak mampu membendung air mata. Ya Allah Ya Rabb. Begitu cintanya Bapak kepada-Mu. Kasihani dan Sayangilah ia. Aku teringat Bapak sering mengatakan apa pun dan bagaimana pun kondisi kita, tanggung jawab mengingat (berzikir) dan shalat harus tetap kita laksanakan. Subhanallah.

***
“Semuanya sudah kumpul, Bang.. Abang cepetan pulang ke rumah..” Suara Hafidzah lewat telepon lagi-lagi membuat jantungku hampir copot. Tangisnya meledak. Kukatakan padanya sekarang juga akan ke rumah. Ia menutup teleponnya. Aku dan istriku berkemas seadanya. Pikiranku berkecamuk. Kulaju sepeda motor, tepat pukul 22:00 kami meluncur menembus dingin malam. Tubuhku bersimbah keringat, tanganku gemetar, detak jantung hilir mudik, naik-turun seperti antara “hidup” dan “mati”. Ya Allah. Aku bisa kalahkan kekhawatiran ini! Aku yakin Bapak akan baik-baik saja! Semoga Ajal tidak mampu menghambat doaku pada-Mu Ya Rabb.
Semua keluarga sudah berkumpul, suara tangis dan lantunan ayat-ayat surah Yasin tumpah ruah di rumah kami. Fasubhânalladzî biyadihî malakûtu kulli syai’in wailai turjaûn. “Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu dikembalikan. Atmosfer-Mu meliuk-liuk di rumah kami. Allâhu akbar. Ya Rabb. Kiranya Engkau akan memanggil Bapak, panggillah ia dengan sebaik-baik dan selembut-lembutnya panggilan.
“Sudah. Bapak dibawa saja ke RSCM!” Suara Mamang (Paman) memecah suasana di dalam rumah. Kami semua sepakat mengiayakan perintah Mamang. Mobil kami persiapkan. Kami meluncur. Mamang—Jujani namanya—adalah adik satu-satunya Bapak yang masih tersisa. Sejak kematian engkong (kakek) dan Ncing (Bibi), hanya Uwak (Nenek), Bapak, dan Mamang yang tersisa. Selama Bapak dirawat, Mamanglah yang selalu modar-mandir mengurus tetek-bengek pembiayaan Bapak. Mamang sangat menyayangi Bapak. Selama hidupnya, Bapak selalu menjadi panutan Mamang. Mamang selalu ada untuk Bapak. Selama Bapak dirawat dan absen menjadi imam di mushala kampung kami, maka Mamanglah yang menggantikan.

***
Sudah tiga hari Bapak berada di ruang sementara RSCM. Tak bosan-bosannya Kami berdoa supaya Bapak lekas sembuh. Kami tidak diperkenankan menemani Bapak. Jadi kami harus rela menunggu dan menginap di ruang tunggu. Ruang tunggu kini menjadi rumah kedua kami, maklumlah, kami memang tidak mau jauh-jauh dari Bapak.
Pada malam ke sepuluh saat semua keluarga berkumpul, seorang dokter datang. Satu per satu dari kami diizinkan untuk melihat keadaan Bapak. Kami senang. Terus terang aku tak sabar menunggu giliran. Setelah semuanya mendapat giliran, waktuku kini datang. Perlahan aku masuk ke dalam ruangan, kebetulan aku berpapasan dengan seorang, ia menangis tersedu-sedu, detak jantungku berdetup kencang. Kutarik napas dalam, kulihat tubuh Bapak yang terbujur kaku. Kupeluk dan kuciumi wajahnya, matanya terkatup, kubisikan puluhan lafadz Allah ke telinganya. Aku menangis. Kurengkuh tangannya yang dingin, kubelai rambutnya yang mulai memutih, kutatap dalam wajahnya, tangisku semakin meledak, tiba-tiba ia tersenyum dan perlahan meneteskan air mata. Oh Tuhan Sang Pelipur Lara, lelehan air mata Bapak tumpah ruah ke ruang sanubariku, mengalir ke setiap ruang-ruang dalam tubuhku, jantungku tertikam. Hatiku benar-benar hancur berkeping-keping. Ya Allah. Saat ini hamba benar-benar merasa dekat sekali dengan-Mu. Ya Allah. Sayangi manusia saleh di hadapanku ini. Sayangi ia Ya Allah.
“Maaf mas.. Bapak Mas sudah tiada tadi pukul 22:30.” Seorang suster datang padaku.
“Apa Sus? Bapak sudah meninggal maksudnya?” Aku tak percaya.
“Iya, Mas, tadi pukul 22:30.” Sang suster kembali menegaskan. Seperti hendak dieksekusi mati tiba-tiba seluruh badanku lemas, detup jantung tak beraturan, mataku berkunang-kunang, tidak! Aku tidak bisa terima ini! Teriakku dalam hati, rasanya jantung ini terbakar, ingin sekali aku berlari sekencang-kencangnya, menerjang apa pun yang ada di hadapanku. Aku tak berdaya Tuhan! Hatiku hancur. Kupeluk erat tubuh Bapak, kuciumi wajahnya yang dingin, dada ini benar-benar sesak. Beberapa suster berdatangan untuk melepaskan alat-alat medis dari tubuh Bapak. Kenanganku pun terlepas. Teringat masa kecil. Teringat senyumnya. Tertawanya. Caranya ia bicara. Teringat saat aku merengek dan ia menenangkanku. Teringat pesan-pesannya. Teringat saat dirinya mengajariku cara naik sepeda. Mengantarku ke sekolah. Hatiku benar-benar hancur. Ya Allah. Ampuni hamba-Mu ini. Hamba terlalu sibuk dengan urusan hamba. Hamba bahkan belum sempat membahagiakan Bapak. Allahummagfirlî dzunûbi wa liwâlidayya warhamhumâ kamâ rabbayâni shagîrî. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan juga dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu aku kecil. Selamat jalan Bapak. Aku benar-benar kehilangan dirimu.

***
Tepat empat puluh hari sejak kepergian Bapak, sesuai dengan kebiasaan di kampung, kami mengadakan pengajian tahlil untuk mendoakan arwah almarhum Bapak. Seluruh keluarga berkumpul tanpa terkecuali. Emang bertindak sebagai shahibul hajat. Usai tahlilan kami mendengarkan tausiyah dari kiayi sepuh di kampung kami, namanya Kyai Haji Abdul Rafik.
            “Kullu nafsin dzâiqatul maût” Pak Kyai menyitir sebuah ayat Al-Qur’an.
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” Ucap Pak Kyai.
“Jadi, siapa pun orangnya, apa pun pekerjaan dan jabatannya, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak, detik ini juga nyawanya bisa saja akan dicabut!” lanjutnya. Hadirin terenyuh.
“Makanya nih, Bapak-bapak, ibu-ibu, kematian itu bisa datang kapan saja dan di mana saja. Bisa jadi besok Pak RT, besoknya lagi Pak RW! Maka dari itu kita semua harus siap. Iman dan ketakwaan juga harus selalu kita perkuat.” Hadirin tertawa lirih. Pak RW—Haji Matroni namanya—hanya bisa tersenyum kecut sambil mengelus-elus dadanya sendiri. Emang yang tak lain adalah ketua RT juga hanya tersenyum kecil saat dirinya dan Pak RW dijadikan contoh oleh Pak Kyai. Pengajian usai. Derap kaki para tamu satu per satu meninggalkan kami. Malam terasa dingin. Hanya terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca oleh Mamang. Bulan rebah di atas awan, daun-daun kamboja saling bergesekan, gerimis perlahan jatuh merenjis rumah kami yang sepi. Sangat sepi. Dingin.

***
“Bang, Mamang jatuh, sekarang di rumah sakit.” Allahu Akbar aku benar-benar kaget. Saat itu aku terserang demam tinggi, jadi aku memutuskan baru besok sore pergi ke rumah Mamang, walaupun mungkin masih dengan kondisi badan yang belum fit.

***
“Bang, Mamang meninggal, Abang cepetan pulang!” Kabar pagi itu langsung menyusup ke jantung . Aku seperti disambar petir, kakiku gemetaran. Innâlillâhi wainnâ ialihi râjiûn. Aku bahkan baru mau menjenguknya sore ini. Kini Mamang juga meninggalkan kami. Ya Allah. Betapa angkuhnya aku. Ya Allah Tuhan Yang Mahakuasa segala-galanya, rasanya belum kering air mata ini, kini Kau panggil lagi orang tua kami. Ya Allah Ya Tuhan kami. Sungguh rahasia-Mu tak mampu kami baca. Ajari aku menerima Takdir-Mu. Kami yang datang dari-Mu, akan pula kembali kepada-Mu. Ya Allah Ya Rabb. Yakinkan hati kami semua ini akan menjadi pengingat untuk kami. Kematian pasti akan datang kapan saja dan kepada siapa saja tanpa kita tahu kapan ia akan datang. Kehilangan seseorang yang kita cintai memang begitu menyiksa, namun itulah takdir Allah Sang Pemilik Jiwa. Tanpa kehilangan kita tak akan pernah mengerti arti memiliki.

***
Bapak dan Mamang memang sudah meninggalkan kami, namun mereka berdua selalu terpatri di hati kami. Kerinduan kami hanya mampu kami obati dengan memandang foto atau memutar setiap kenangan yang terjadi. Kami sadar semua ini sungguh menyesakkan. Yah, begitulah kerinduan. Begitu indah, namun menyesakkan.
Di atas pusara dua orang yang amat kucintai, kutitipkan doa kepada Allah Rabbul Izzati Sang Penguasa Bumi dan Langit. Allâhummagfirlahu warhamhu wa’âfihî wa’fuanhu. Ya Allah ampunilah ia, kasihanilah ia, sejahterakanlah ia, dan maafkan dosanya. Amin.
Aku bangkit. Kupandangi sejenak kuburan mereka berdua. Bapak, Mamang, semoga Allah senantiasa menerangi tempat peristirahatan kalian. Perlahan aku meninggalkan tempat pemakaman bersama dengan rombongan yang baru saja menguburkan jenazah almarhum Pak RW Haji Matroni yang meninggal tepat empat puluh hari setelah kematian Mamang.

Ciracas, 3 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar