11 Des 2010

Teater

Tak  cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga mengubahnya.
Marx mengemukakan ini, meskipun tak persis begitu, ketika ia berbicara tentang filsafat. Statemennya dapat juga diterapkan untuk ideologi dan agenda politik. Tapi di sini saya ingin mengemukakan hal yang sama untuk sesuatu yang lebih bersahaja: produksi kesenian. Terutama teater.
Teater tak cuma sebuah tafsir atas kenyataan. Bekerja dalam teater mengajarkan kepada saya bahwa pada mulanya memang bukan teks, satu kesimpulan yang juga berlaku untuk hal-hal lain dalam hidup. Ketika saya menulis libretto untuk Opera Tan Malaka, saya menyusun sebuah teks yang agak rinci. Saya sudah merancang bagaimana adegan diaktualisasikan dalam pentas, unsur apa saja yang harus hadir di sana, bagaimana para pemeran bergerak. Tapi dalam proses produksi, banyak hal berubah.
Pertama-tama perlu disebutkan, opera ini tak dimaksudkan untuk jadi sebuah narasi biografis. Saya tak ingin berkisah tentang riwayat orang yang pernah disebut sebagai “Bapak Republik Indonesia” ini bagian demi bagian. Saya asumsikan cerita perjuangannya bisa dibaca di tempat lain. Dengan sebuah libretto saya ingin mengatakan sesuatu yang lain.
Dalam pertemuan awal Tony Prabowo menyebut yang dilihatnya di Lincoln Center Festival tahun 2005: Shadowtime, sebuah opera tentang pemikiran dan pengalaman Walter Benjamin, yang diciptakan komponis Brian Ferneyhough dan libretis Charles Bernstein. Ini “opera pikiran”. Kami pun sepakat: yang akan saya tulis adalah sebuah “opera-esai”.
Tentu saja ini akan berbeda dari opera dalam pengertian yang lazim. Saya tak pernah menyukai opera macam itu, di mana tiap ucapan dinyanyikan para pemegang peran. Tony Prabowo sependapat dengan saya. Walhasil, kami berniat untuk membuat sebuah opera yang setengah-hati.
Saya menemukan satu model yang pas: teater epik dan jejak-jejak Brecht. Teater ini bergema keras di awal abad ke-20 di Jerman ketika semangat revolusi Marxis, yang mengilhami Tan Malaka, bertaut dengan energi pembebasan dalam seni. Orang lupa, sebelum di pertengahan tahun 1930-an Stalin mengurung sastra dan seni dalam kerangkeng yang ia sebut “realisme sosialis”, Revolusi Oktober 1917 di Rusia seakan-akan membuka bendungan kreativitas yang sebelumnya tertekan kekuasaan Tsar. Gerakan avant-garde dan lain-lain lahir. Lebih mengesankan lagi Konstruktivisionis dalam seni rupa dan arsitektur.
Brecht, pemikir dan pelaku teater sayap kiri yang terbesar dalam sejarah, melanjutkan elan itu. Ia menerobos “adat” yang membentuk teater Eropa. Zaman makin mengungkapkan ironi dan kontradiksi, ketika dunia borjuasi kian ditunjukkan keretakan dan disparitasnya. Dari kondisi itu sebuah jenis teater lain pun dibutuhkan teater yang tak lagi menampilkan dunia kenyataan yang koheren.
Brecht pun melahirkan teater yang hidup dari montase: bagian-bagian yang terpisah, yang sekaligus hadir. Tak ada lagi totalitas yang merangkum dan menguasai. Tiap tesis menemukan antitesisnya. Ada aktor yang berbicara. Ada poster. Film. Nyanyi. Gerak tari atau semacam tari. Tak ada pusat. Para penonton dilibatkan, sebab batas antara “luar” dan “dalam” praktis tak lagi tetap. Mereka diharapkan aktif memilih segi pandang mereka sendiri, dan siap memindahkannya. Mereka tak diharapkan hanyut terbuai oleh alur cerita. Tak ada alur cerita. Yang ada hanya hentakan-hentakan untuk berpikir.
Sebuah opera tentang Tan Malaka tentunya cocok dengan hentakan kontradiksi itu. Itulah yang kemudian terwujud. Di pentas, imaji penjara diperkuat (kita ingat Dari Penjara ke Penjara), tapi pada saat yang sama juga imaji revolusi: barisan pelbagai pasukan revolusioner di tengah sayup-sayup suara radio dengan lagu “Internasionale”. Juga aksentuasi kepada keinginan pembebasan: “Aku tulis namamu, kemerdekaan,” seperti kata sajak Paul Eluard, penyair komunis Prancis itu.
Panggung ala Konstruktivisionis Rusia dalam opera ini mengesankan sebuah pabrik tempat buruh ditindas, tapi juga kapal yang membawa orang meninggalkan dunia lama ke laut bebas, seperti Sinbad. Apa yang maskulin, serebral, abstrak, dan kekal dalam discourse politik (”menulis, dan menulis”) langsung disertai laku menyuratkan sesuatu di bumi yang tak kekal, oleh tangan seorang perempuan yang bergegas.
Paduan suara seakan-akan berada di atas kejadian-kejadian, tapi pada saat yang sama menyuarakan kata hati. Sementara sang “narator” mengambil jarak dari sejarah Tan Malaka, sang “tokoh” dalam sel justru terlibat dengan sejarah itu. Penyanyi aria pertama adalah kontras bagi penyanyi kedua. Kata-kata bertaut dan bertarung dengan musik, makna dengan suara. Gaya realis dalam penampilan kedua aktor ditingkahi dengan cetusan-cetusan imajistis: deretan buruh yang lelah, hamburan rakyat miskin yang tergusur di bawah hujan, pasukan Nazi yang perkasa dan represif. Waktu, dalam opera tentang sosok sejarah ini, dihadirkan justru dalam potongan-potongan yang tanpa kronologi. Suasana lokal rombongan orang melarat itu, suara Bung Karno membacakan proklamasi, kostum penyanyi aria dipasang bersama suasana yang melintasi lokalitas.
Saya ingat Brecht. Teater kami, katanya, adalah untuk merangsang hasrat mengetahui dan keasyikan mengubah realitas. Saya baru teringat kalimat itu kembali setelah proses mempersiapkan opera ini hampir selesai. Keasyikan itu terutama karena ada pertemuan dengan kemungkinan baru, juga pergulatan dengan kesalahan sendiri, karena pada mulanya bukanlah teks. Pada mulanya adalah perbuatan, seperti kata Tokoh dalam opera ini, dan itu berarti ketidakpastian.
Hidup mau tak mau berlangsung, dan dirayakan, dari situ.
Source: Goenawan Mohamad@www.goenawanmohamad.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar