11 Des 2010

Tentang MUI: Sebuah Observasi Literatur Media

PROFIL MUI
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu...
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.[1]

3. BEBERAPA FATWA MUI YANG DIANGGAP KONTROVERSI

A. Fatwa Arah Kiblat
Fatwa yang dikeluarkan MUI pada tanggal 22 Maret 2010 yakni fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat menyebutkan bahwa Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Kabah adalah menghadap ke bangunan Kabah sedangkan Kiblat bagi orang yang sholat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah. Dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka`bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Namun kemudian Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin merevisi arah tersebut karena posisi negara Indonesia yang tidak berada di wilayah timur Ka`bah. Ketua MUI, Amidhan Shaberah meminta agar revisi arah itu tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat untuk melakukan penyesuaian arah masjid yang selama ini dibangun dengan konsep bahwa kiblat di arah barat Indonesia dan melakukan perombakan besar-besaran.
Tapi sepertinya ralat fatwa arah kiblat itu rupanya belum terosisialisasi dengan baik, termasuk di Kota Ponorogo sehingga menimbulkan kebingungan umat. Pengurus MUI Kabupaten Ponorogo tidak akan memaksakan fatwa tersebut untuk segera dilaksanakan.
Sebagian besar bangunan masjid di Tanah Air memang menghadap ke barat meskipun sudah ada juga yang menghadap ke arah barat laut. Terkait fatwa baru MUI tersebut memang tidak perlu membongkar bangunan masjid cukup dengan menggeser posisi sajadah sekitar 25 derajat ke arah barat laut.
Sementara itu, penyempurnaan arah kiblat saf shalat di masjid bisa dengan cara melihat matahari dan bayangannya sekitar 28-29 Mei pukul 16.18 WIB dan sekitar 15-16 Juli pukul 16.27 WIB setiap tahunnya, kata astronom Thomas Djamaluddin.
Dikatakan, fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2010 pada bulan Maret 2010 hanya disempurnakan redaksionalnya dengan fatwa MUI Nomor 5/2010 pada bulan Juli 2010. Dalam fatwa Nomor 3/2010 disebutkan bahwa arah kibat umat Islam Indonesia ke arah barat.
Dahulu pengukuran arah kiblat dianggap sesuatu yang sulit sehingga umat cukup diberi fatwa sederhana bahwa letak geografis Indonesia yang berada di bagian timur Kakbah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat.
Namun, kata dia, pada era informasi saat ini umat semakin cerdas dan mempunyai akses informasi yang sangat luas sehingga bisa mengetahui sebuah kekeliruan.[2]

B. Fatwa Arah Kiblat

Kontoversi terus bermunculan setelah keluarnya fatwa haram MUI terhadap golongan putih atau golput yang memilih tidak terlibat dalam Pemilu 2009 serta empat kategori.
Fatwa haram terhadap golongan putih atau golput dinilai banyak kalangan masih absurd. Tidak ada ukuran yang jelas dalam menentukan pemimpin yang baik atau tidak. Ijtima’ ulama berupa fatwa haram terhadap golongan putih dan rokok telah melalui perjalanan yang cukup panjang. Sejak 24 Oktober 2008 lalu telah direncanakan dan pelaksanaannya pada 26 Januari 2009.
Kontroversi pun merebak dengan lahirnya fatwa itu. Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel, Prof Muh Ghalib, menilai ada pemahaman yang keliru di masyarakat terkait fatwa haram terhadap golput itu.
Keputusan Ijtima’ para ulama menyebutkan bahwa memilih pemimpin yang siddiq, amanah, tabligh, dan fathanah, hukumnya wajib ain. Tetapi memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat itu, atau tidak memilih pemimpin sama sekali, padahal ada pemimpin yang memenuhi syarat, hukumnya haram.
Namun, pengamat politik Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Dr Hamdan Juhannis, masih melihat adanya ruang interpretasi yang lebar dari fatwa-fatwa haram tersebut. Penentuan pemimpin yang memenuhi syarat seperti dimaksud MUI, katanya, sangat subjektif. Bisa saja, pendapat seseorang sudah memenuhi syarat, tetapi orang lain mengatakan belum. Jika dikatakan fatwa itu sekadar imbauan, Hamdan juga tidak setuju. Alasannya, ada ranah tersendiri jika sekadar imbauan, dan bukan haram.
Adanya fatwa haram, dikhawatirkan MUI bisa jadi gagal mengemban fungsi dan tugasnya sebagai pengayom masyarakat. Persoalannya, fatwa itu tidak masuk dalam ranah hukum positif yang diatur oleh negara.
Hamdan mencontohkan kasus di Australia, di mana memilih adalah kewajiban.
Ukuran calon pemimpin yang baik atau tidak baik, juga dinilainya sangat subyektif. Menurutnya, MUI seharusnya bekerja lebih strategis lagi. Seperti apa itu, antara lain dengan jalan meminta para legislator di DPR yang beragama Islam agar membuat regulasi yang lebih baik.
Fatwa golput haram harus dikaji untuk mengetahui bentuk keprihatinan MUI melihat partisipasi masyarakat pemilu yang sangat rendah. Semestinya, yang dilakukan MUI adalah memfatwakan haram jika memilih karena diberikan sesuatu.

C. Fatwa Haram Merokok
Hampir semua orang menyadari dampak negatif yang terkandung dalam sebatang rokok bagi kesehatan. Beberapa bahan berbahaya seperti asam asetik, naptalin, asetanisol, geraniol, toulene, dan lainnya (thetruth.com), tanpa disadari juga ikut terisap.
Keberadaan berbagai bahaya dalam rokok juga tidak diakui pengamat politik Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Dr Hamdan Juhannis. Namun, dia juga tidak mendukung materi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok.
Fatwa haram itu dinilainya bisa berdampak pada menurunnya sensitifitas hukum Umat Islam. Selain itu, pandangan terhadap sakralitas agama dikhawatirkannya akan menurun. Hamdan khawatir, orang akan beranggapan bahwa fatwa haram yang akan keluar, bukan fatwa haram yang sebenarnya. Mulai terbukti dari banyaknya fatwa yang dikeluarkan sebelumnya, tetapi tidak diikuti. Misalnya fatwa haram menonton tayangan infotainment  dan bunga bank.
Terlebih lagi, fatwa itu mengharamkan anak-anak untuk merokok. Itu berarti, anak-anak sudah terkena dampak hukum. Padahal menurutnya, anak-anak belum mukallaf (belum wajib melaksanakan hukum syariat).
Efek fatwa-fatwa haram yang dikeluarkan MUI sebenarnya telah melalui proses telaahan yang panjang. Sekretaris MUI Sulsel, Prof Dr Muh Ghalib mengatakan, seluruh lembaga muslim terlibat dalam fatwa itu.
Kelompok yang diharamkan mengisap rokok oleh MUI adalah anak-anak, remaja, dan wanita hamil, serta pengurus MUI sendiri. Ada kekhawatiran, jika rokok diharamkan, nasib petani tembakau, pabrik dan buruh rokok, pendapatan negara dari cukai menjadi tidak jelas.
Kekhawatiran itu diakuinya telah menjadi pertimbangan. Namun harus dipikirkan juga banyaknya masyarakat yang sakit akibat rokok. Belum lagi begitu banyak uang yang terhambur. Semua orang juga tahu betapa bahayanya rokok.
Mayoritas ulama menyepakati rokok itu haram dan sebagian lain menganggap tingkatannya hanya makruh. Tetapi kemudian disepakati anak-anak haram merokok. Pertimbangannya, diperlukan generasi pelanjut yang sehat dan tidak boros.
Wanita hamil diharamkan merokok agar dirinya serta janinnya sehat. Merokok di tempat umum dilarang, karena merusak kesehatan orang lain dan dirinya sendiri. Sedangkan pengurus MUI harus menjadi contoh dan bertanggung jawab agar fatwa diikuti oleh umat.
Aturan itu juga tanpa melalui proses fatwa. Memang diakuinya, MUI sebagai representasi pembimbing umat, wajar jika prihatin. Apalagi jika ada aspirasi bahwa merokok sangat berbahaya, sehingga diputuskan mengeluarkan fatwa.[3]

D. Fatwa Haram Infotainment
Kisah kehidupan selebritis seolah menjadi santapan masyarakat sehari-hari melalui tayangan infotainment. Tanpa disadari, penontonnya juga ikut menggunjingkan aib orang lain.
Selebritis dari dunia seni peran, musik, model, dan orang tersohor lainnya menjadi objek sorotan tayangan infotaimen. Materi siarannya beragam, mulai dari prestasi, peluncuran album atau film baru, percintaan, perselingkuhan, konflik, urusan dapur dan kamar tidur, hingga hal-hal yang berbau sangat pribadi.
Namun, dalam perjalanannya, topik liputannya telah menyentuh kehidupan pribadi bahkan mengungkap sisi lain maupun aib selebritis yang tersorot. Kontroversi pun hadir. Ada yang mendukung tapi tidak sedikit pula yang mengecam, sampai lahirlah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan tayangan infotaiment.
Al-Qur’an surah Al Hujurat ayat 12 telah melarang perbuatan ghibah atau mempergunjingkan orang lain. Allah SWT berfirman di dalam surah Al Hujurat Ayat 12, "Wahai orang-orang beriman, jauhkanlah dirimu dari banyak berprasangka sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah perbuatan dosa. Dan jangan pula saling memata-matai maupun menggunjing satu sama lain. Adakah salah seorang di antaramu gemar memakan daging mayat saudaramu sendiri? Pastilah kamu merasa jijik! Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang"
Ghibah dilarang, karena mengungkapkan aib seseorang. Lalu, bagaimana bila informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan yang terja di atau informasinya apa adanya? Arifuddin Ahmad menyebut itu perbuatan dusta atau kebohongan yang berdampak buruk.
Ulama menetapkan fatwa haram pada tayangan infotainment karena dosanya tidak hanya ditimpakan kepada orang yang menyebarkan. Dosanya juga ditimpakan kepada yang membuat tayangan, hingga kepada penontonnya. Akhirnya menjadi dosa berjamaah.[4]


2. KRITIK DAN DUKUNGAN ATAS MUI

  1. Kritik Pedas Jaringan Islam Liberal (JIL)
Menyoal Tentang Aliran-aliran Sesat

MUI tidak jarang menerbitkan fatwa yang kontroversial. Di antaranya adalah fatwa-fatwa yang menyatakan sesat terhadap beberapa aliran agama Islam. Tercatat, sejak 1980, MUI telah menyesatkan kurang lebih 10 aliran kepercayaan yang telah dianut oleh ratusan ribu warga Indonesia. Fatwa MUI tidak mengandung kekuatan hukum, hanya legal opinion. Oleh karena itu fatwa sah untuk tidak dipatuhi, termasuk fatwa kontroversial di atas. Namun karena sebagian masyarakat muslim dan pemerintah menganggap bahwa MUI adalah corong agama, maka bagi mereka fatwa MUI merupakan suara kebenaran yang harus disikapi, direspon dan direalisasikan.
Kekerasan dan teror menjadi buah dari fatwa penyesatan tersebut. Sebut saja satu aliran yang difatwakan sesat oleh MUI pada tahun 2005: Ahmadiyah yang dianggap oleh MUI sesat karena menurut MUI memiliki penafsiran yang melenceng mengenai ajaran Islam, yakni menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sampai sekarang kekerasan dan teror masih dialami ratusan ribu pengikut Ahmadiyah. Kekerasan fisik dan pengusiran para pengikut Ahmadiyah, perusakan masjid-masjid Ahmadiyah dan bangunan-bangunan fisik milik jemaah Ahmadiyah lainnya yang dilakukan oleh sekelompok massa, merupakan rentetan peristiwa yang sering kita saksikan pada layar televisi kita di rumah.
Yang lebih memprihatinkan, dampak dari fatwa tersebut ialah tercabutnya hak-hak dasar ratusan ribu warga Indonesia penganut Ahmadiyah, yakni hak untuk memeluk dan meyakini keyakinan yang mereka anggap benar dan melaksanakan ajaran keyakinannya secara leluasa. Pencerabutan hak-hak tersebut baik dilakukan oleh sekelompok ormas Islam melalui intimidasi dan teror, juga dilakukan pemerintah sendiri melalui SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah tahun 2008.
Meski isi SKB 3 Menteri tersebut membantasi keleluasaan penganut Ahmadiyah untuk menjalankan segala ajarannya, nasib Ahmadiyah tidak seburuk aliran-aliran sempalan Islam lain yang disesatkan oleh MUI. Sebagian besar ajaran-ajaran aliran-aliran tersebut musnah dari bumi Indonesia dan pengikut-pengikutnya terpaksa berbelok ke kepercayaan lain demi menghindari stigma sesat, intimidasi dan teror dari masyarakat muslim lain.
Selain itu, yang tak kalah kontroversialnya, pada tahun 2005, MUI menelorkan fatwa pelarangan kepada masyarakat muslim untuk menganut paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Bagi kalangan yang memperjuangkan isme-isme tersebut percaya bahwa ketiganya merupakan pilar demokrasi yang jika ditiadakan akan meruntuhkan bangunan Demokrasi di Indonesia. Namun MUI mempunyai pandangan lain mengenai tiga isme tersebut. Menurut MUI sekularisme dianggap membahayakan akidah dan syari’at Islam karena mengajarkan relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah (sya’riat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Adapun liberalisme mendorong pengikutnya untuk menafsirkan agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun. sedangkan pluralisme disesatkan karena dianggap mengajarkan sinkretisme agama atau penyamaan kebenaran semua agama.
Banyak kalangan mengkritik keras terhadap fatwa MUI yang melarang paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Menurut mereka, MUI tidak memahami secara tepat definisi tersebut. Jika kita lihat definisi Liberalisme menurut MUI dan membandingkannya dengan definisi liberalisme sesungguhnya, memang ada kesalah-mengertian akan definisi liberalisme menurut MUI. Liberalisme adalah doktrin politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai individu, yang menghendaki peminimalisiran campur tangan pemerintah dan mengedepankan asas rasionalitas, persamaan dan kebebasan.  Ketiga asas ini merupakan sendi demokrasi, yang merupakan sistem pemerintahan negeri ini dan tentunya sama sekali tidak melanggar nilai-nilai ajaran Islam. Adapun yang yang dimaksudkan untuk mendefinisakan liberalisme versi MUI di atas adalah definisi rasionalime yang mengedepankan akal dan kebebasan. Apakah salah kalau umat Islam mengedepankan akal?. Kalau kita mau menelusuri khasanah intelektual klasik, pemikir-pemikir Islam klasik juga banyak yang menganut rasionalisme. Sebut saja Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, kaum Mu’tazilah, dan banyak pemikir Islam lainnya.
Dalam pendefinisian pluralisme pun MUI mendapat kritik yang keras. Pluralisme diartikan oleh MUI sebagai paham menyamakan semua agama atau sinkretisme. Adapun bagi para penganut dan pemerjuang paham ini, pluralisme merupakan paham yang mesti dianut masyarakat di Indonesia yang merupakan bangsa yang majemuk atau plural. Pluralisme merupakan paham yang menekankan kepada masyarakat untuk saling menghormati ideologi, agama dan pandangan yang dianut kelompok di luar kelompoknya. Hal ini selaras dengan falsafah Pancasila, Bhineka Tunggal ika. Juga, sama sekali tidak melanggar nilai-nilai ajaran Islam.
Selain dua fatwa di atas, masih banyak lagi fatwa kontroversial dan tidak berguna yang dikeluarkan MUI. Sebut saja fatwa pengharaman media jejaring sosial facebook, fatwa tentang haramnya rokok, bunga bank, golput dan lain-lain. Maka tak mengherankan jika banyak kalangan yang menghendaki MUI dibubarkan, dengan alasan bahwa MUI yang merupakan ‘penasihat’ pemerintah dalam bidang keagamaan yang independen yang seharusnya legal opinion-nya sensitif dengan kebutuhan yang sedang dihadapi masyarakat muslim, tapi justru mengeruhkan keadaan dan fatwa-fatwanya sering bertentangan dengan Pancasila, UUD dan Demokrasi. Selain itu, banyak yang menganggap dana yang dikeluarkan pemerintah untuk lembaga MUI dinilai mubazir karena alasan di atas.
Tentu saja tidak sedikit masyarakat muslim yang merasa memerlukan keberadaan MUI sebagai kiblat beragamanya. Mereka akan merasa tidak fair jika MUI dibubarkan. Oleh sebab itu perlu kiranya MUI mengoreksi diri tentang efektif atau tidak fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan. Akan tidak sehat jika MUI melakukan koreksi itu sendiran. MUI perlu mendengar kritik sehat dan membangun untuk keberlanjutan lembaga MUI yang efektif, diperlukan, peka terhadap realitas dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 45 dan Demokrasi.[5]

A. Sikap FPI Terhadap Fatwa MUI
Dukungan Total Terhadap Fatwa MUI Tentang Aliran-aliran Sesat

Berbagai aliran sesat berlabelkan "Islam" bermunculan di Indonesia dengan dalih HAM dan Kebebasan. Hal itu telah mengganggu ketenangan beragama umat Islam, sekaligus menodai kesucian ajaran Islam.
Andaikata sejak dini pihak-pihak Legislatif, Eksekutif mau pun Yudikatif mau memahami keresahan umat Islam dan segera mengakomodir aspirasi mereka, serta mengambil tindakan tegas terhadap para perusak dan penoda ajaran Islam, sesuai dengan Perundang-undangan, seperti KUHP pasal 156a tentang penistaan suatu agama, maka tidak akan terjadi gerakan umat yang dituduh sebagai aksi radikal dan anarkis.
Apabila harta-benda dan jiwa-raga seseorang terancam, maka ia berhak melakukan bela-paksa (overmacht / noodweer). Apalagi jika yang terancam aqidah dan keyakinannya, yang jauh lebih berharga daripada harta-benda dan jiwa-raga.
Kekecewaan umat Islam yang bertumpuk-tumpuk telah mencapai klimaksnya, sehingga tanpa dikomando pihak mana pun mereka bergerak sesuai dengan nurani, untuk menjaga kemurnian dan kesucian agama Islam. Jadi, ketegasan umat Islam dalam membela aqidahnya bukanlah kekerasan. Tindakan umat Islam yang tegas dengan menutup, menyerang atau merubuhkan markas dan simbol kesesatan, harus dilihat sebagai reaksi pembelaan dari suatu aksi brutal yang menyerang aqidah mereka. Dengan kata lain harus diposisikan sebagai bela-paksa ( overmacht / noodweer ) bagi aqidah dan keyakinan umat Islam yang diserang secara brutal dan biadab oleh berbagai aliran sesat.
Selain itu harus dinilai sebagai protes sosial dari komunikasi yang tersumbat, serta letupan psykologis dari jiwa yang teraniaya.
Sikap tegas umat Islam bukan tidak berdasar. Sejumlah ayat Al-Qur'an menjadi Hujjah mereka, seperti: Q.S. 9.At-Taubah ayat 73 & 123, serta Q.S.66.At-Tahrim ayat 9, begitu pula Q.S.48.Al-Fath ayat 29, yang semuanya berintikan sikap tegas terhadap kekafiran, kesesatan dan kemunafikan.
Selain itu berbagai contoh sikap dan tindakan tegas Rasulullah SAW menjadi teladan, antara lain : Memotong tangan pencuri, mencambuk pemabuk, merajam penzina yang muhshon, memerangi kafir harbi, mengerasi kaum munafiqin, membasmi nabi palsu dan pengikutnya, membakar masjid dhiror, dan lain-lain.
Karenanya, ada atau tidak Fatwa Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) tentang kesesatan Ahmadiyyah, Liberalisme, Pluralisme, Sekularisme dan Perdukunan, serta aliran-aliran sesat lainnya, maka gerakan umat Islam melawan kesesatan tetap akan muncul kepermukaan, karena itu sudah merupakan panggilan nurani dan kewajiban agama.
Jadi, jangan mengkambing-hitamkan Fatwa MUI sebagai provokator bagi kemarahan umat Islam. Bahkan Fatwa MUI tersebut harus dilihat sebagai jawaban bagi keresahan umat Islam selama ini. Dengan demikian, Fatwa MUI jelas merupakan upaya Pemurnian Ajaran Agama Islam, bukan usaha mencipta Radikalisme Sosial.

Bukti-bukti kesesatan Ahmadiyah :
1.      Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan Rasul, serta sebagai Imam Mahdi dan Al-Masihul Mau'ud.  
2.      Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad mendapat wahyu dari Allah SWT, yang semua wahyu tersebut dikumpulkan dalam Kitab Tadzkirah. 
3.      Kitab Tadzkirah berisikan antara lain :
1.      Hal 1 : Tadzkirah adalah wahyu yang suci . 
2.      Hal 192 : Allah SWT memusnahkan Al-Qur'an dan menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Ibnu Maryam. ( Lihat juga hal 496 ) 
3.      Hal 195 : Mirza Ghulam Ahmad menyatu dengan Allah SWT ( Wihdatul Wujud ). ( Lihat juga hal 696 & 700 ) 
4.      Hal 493 : Mirza Ghulam Ahmad dijadikan Rasul. 
5.      Hal 636 : Kedudukan Mirza Ghulam Ahmad seperti 'Arsy dan anak Allah. ( Lihat juga hal 412 ) 
6.      Hal 651 : Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi seperti nabi Musa as, yang sebelumnya Allah SWT tidak mengenalnya.
7.      Hal 668 : Mirza Ghulam Ahmad mendapat wahyu seperti Al-Qur'an yang berfungsi sebagai Al-Furqan.
8.      Hal 749 : Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam yang diberkahi, dan Laknat Allah atas yang mengingkarinya.

Bukti-bukti kesesatan JIL :
1.      JIL menganut paham Pluralisme yakni meyakini bahwa semua agama adalah benar dan pasti masuk surga, karenanya kesesatan dan kekafiran Ahmadiyah pun dibela. 
2.      JIL menganut aliran Sekularisme ( pemisahan urusan agama dan negara ), karenanya mereka menolak keras penerapan dan pemberlakuan Syari'at Islam. 
3.      JIL menganut sikap Liberalisme yang melihat kema'rufan dan kemunkaran sebagai dua kekuatan yang harus seimbang, karenanya JIL menolak penutupan tempat ma'siat, bahkan mendukung pengelolaannya. Lebih dari itu JIL mendukung gerakan kaum Lesbian dan Gay hingga Perdukunan di Indonesia atas nama HAM dan Kebebasan. Sehingga JIL sangat anti terhadap Amar Ma'ruf Nahi Munkar. 
4.      JIL meyakini bahwa Al-Qur'an tidak diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab, tapi Rasulullah SAW yang menyusun redaksinya dengan bahasa Arab. Bahkan penulisan Mushhaf Al-Qur'an dengan loghat Quraisy di masa Khalifah Utsman RA adalah siasat dan rekayasa untuk memperbudak umat manusia kepada kepentingan Bangsa Arab, khususnya Suku Quraisy.
5.      JIL meyakini bahwa Rasulullah SAW bukan Insan Kamil ( Manusia Sempurna ), bahkan hanya manusia biasa yang banyak kekurangan, dan harus dikritisi. Sehingga As-Sunnah bagi JIL tidak lagi menjadi sumber hukum yang penting.
6.      JIL sangat anti Salaf, karenanya JIL tidak segan-segan menghina para Shahabat Rasulullah SAW dan Ulama-Ulama Salaf yang Sholeh. Karenanya, JIL menolak penafsiran Ulama Salaf terhadap Islam dengan alasan bahwa Tafsir dan Fiqih Salaf sudah kadaluarsa, sehingga JIL berencana membuat Tafsir dan Fiqih Modern Edisi Kritis.
7.      JIL mendewakan akal, karenanya mereka mengutamakan Dalil Aqli ( yang bersumber pada akal ) dari pada Dalil Naqli ( yang bersumber pada Al-Qur'an dan As-Sunnah ).
8.      JIL menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, dan kami menyebutnya Jaringan Iblis Liar atau Jaringan Iblis La'natullah 'alaih. [6]

3. RETHINKING KONTROVERSI FATWA MUI: Sebuah Jalan Keluar

Jika dicermati, ada beberapa fatwa MUI yang terbilang progresif, seperti fatwa tentang haramnya aborsi serta pernikahan dini. Namun, ada juga fatwa yang mengundang kontroversial, diantaranya adalah mengenai haramnya sikap golput dalam pemilu dan rokok. Tidak seperti fatwa tentang rokok, yang MUI masih-masih bersikap “ragu-ragu” dalam mengharamkannya, fatwa golput cendrung terlihat sikap yang tegas dari MUI. Bahkan karena sikap tegasnya, MUI mendapat kritik yang keras bahwa MUI hanya lembaga yang mengeluarkan fatwa pesanan saja.
Serupa Tapi Tak Sama Kelompok  yang menolak fatwa haram golput MUI ini pun tidaklah tunggal, paling tidak ada dua kelompok, yang keduanya sama-sama menolak fatwa haramnya golput. Namun, kesepakatan itu tidak selalu sama dengan logika atau argumen dari sikap dan pendapat mereka. Untuk sekadar klasifikasi saya akan menyebut keduanya dengan kelompok Islamis dan kelompok sekuler (dalam artian tidak mendasarkan argumennya pada agama, tetapi pada alasan-alasan demokrasi).
Alasan yang dilontarkan kalangan Islamis bisa dicari akarnya pada pendapat mereka bahwa demokrasi adalah bukan sesuatu yang ada rujukannya dalam Islam. Singkatnya Islam tidak mengenal demokrasi dan segala prinsip-prinsip serta mekanisme-mekanisme yang mendukungnya, termasuk Pemilu. Alasannya ini kemudian memberikan kesimpulan bahwa Pemilu bukanlah prinsip yang tidak ada dasarnya dalam Islam. Sehingga umat Islam tidaklah wajib mengikuti Pemilu karena itu adalah produk demokrasi yang dianggap sekuler. Bahkan sebaliknya, umat Islam yang mengikuti mekanisme demokrasi dianggap telah melanggar ajaran Islam sendiri. Alasan inilah yang kemudian membuat kelompok Islamis menolak fatwa haram golput MUI.
Sangat berbeda dengan argumen yang dilontarkan oleh kelompok penentang fatwa yang kedua. Mereka tidak mendasarkan pada argument-argumen “teologis,” tetapi lebih pada argumen demokratisasi dan konstitusi yang menjamin hak bagi semua warga negara untuk menentukan apakah ia akan menggunakan hak pilihnya atau tidak. Bagi kelompok ini, banyaknya golput adalah akibat dari memuncaknya kejenuhan rakyat terhadapjanji-janji partai politik atau calon-calon pemimpin yang diusung mereka. Jadi soalnya bukan didasarkan pada apakah pemilu ada ajarannya dalam Islam atau tidak. Tetapi lebih pada kebebasan warga negara yang dijamin dalam konstitusi, dan mengharamkan golput berarti telah menyalahi dan melanggar konstitusi.
Golput juga, bagi kalangan yang kedua ini, adalah bagian dari alat perlawanan bagi janji-janji politik yang tidak memberikan pencerahan bagi perbaikan bangsa dan kesejahteraan hidup rakyat. Jadi, bukan semata-mata pada soal golputnya, tetapi soal apakah partai dan tokoh dari partai tersebut bisa memberikan angin perubahan yang realistis bagi kesejahteraan rakyatnya.
Yang harus digarisbawahi di sini adalah bahwa kelompok yang pertama (Islamis) menolak dalam konteks penegakan syari’at Islam—karena bagi mereka Pemilu tidak sesuai dengan syari’at Islam—sedangkan kelompok yang kedua  menolak dalam konteks konstitusi negara. Demikian, keduanya serupa dalam pendapat tapi tak sama dalam argumen.

Tanggung jawab Konstitusional
Sesungguhnya ada jalan untuk keluar dari perdebatan tentang baik atau tidaknya fatwa haram golput. Dan sesungguhnya fatwa ini tidak perlu ada, sebab jika merujuk konstitusi negara, yakni amandemen UUD 45’ sudah tercantum dengan jelas. Hanya saja, seringkali konstitusi yang dilihat hanya dalam perspektif hak, sehingga melupakan perspektif tanggungjawabnya. Bahwa kita memang berhak untuk memilih atau tidak memilih wakil kita di DPR atau Presiden yang memimpin adalah benar dan sah secara konstitusional.
Namun, di sisi yang lain, warga negara juga bertanggungjawab atas tegaknya negara kesatuan Republik Indonesia. Jadi keberadaan sistem pemerintahan dalam negara adalah juga bagian dari tanggungjawab warga negara. Sehingga menentukan masa depan dan kelangsungan negara adalah juga tanggungjawab konstitusional. Pertanyaannya kemudian adalah jika kita berhak untuk tidak memilih dalam Pemilu, maka apa tanggungjawab kita demi berlangsungnya pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sikap golput bukan sikap yang bijak, meski tidak sepenuhnya salah, jika yang dilihat golput sebagai alat bukan sekadar tujuan. Sikap golput bisa dibenarkan dengan alasan sebagai bentuk perlawanan atas rezim status quo, sebab yang dipilih tak kunjung memberikan alternatif bagi perbaikan bangsa dan rakyat. Tapi, sikap golput ini bukan menunjukan sikap pesimistis atau apatis terhadap pemerintahan yang berlangsung. Sikap golput adalah bagian dari pertanggungjawaban warga negara dari kehancuran negara yang dipimpin oleh pemimpin yang tidak sesuai dengan amanat konsitusi.[7]

Adanya Mediator dari kalangan Islam
Muhammadiyah menyediakan diri menjadi mediator dialog untuk menjernihkan kontroversi seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) hasil Musyawarah Nasional ketujuh yang mengharamkan liberalisme, sekularisme dan pluralisme agama.
Munas MUI menghasilkan 11 fatwa dan sejumlah rekomendasi (taushiyah) sebagai sumbangsih MUI untuk kemajuan umat Islam, bangsa, dan negara. Fatwa MUI tentang pemikiran Islam liberalisme, sekularisme dan pluralisme adalah haram dengan definisi liberalisme adalah pemikiran Islam yang menggunakan pikiran manusia secara bebas, bukan pemikiran yang dilandaskan agama. Sedangkan sekularisme, paham yang menganggap agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sementara hubungan antara manusia dengan manusia tak bisa diatur agama. Sedangkan pluralisme diharamkan karena menganut paham semua agama adalah sama dan bahwa agama bersifat relatif dan tidak ada yang boleh mengklaim agamanya adalah agama yang paling benar, padahal seseorang beragama karena keyakinannya akan suatu kebenaran.
Dialog, tentu bertumpu pada tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus mengganggu harmoni sosial atas dasar kemajemukan masyarakat. Untuk itu, Komisi Fatwa MUI perlu menegaskan bahwa fatwa yang telah dikeluarkan tetap menjamin dan melindungi pluralisme sosial yang sudah berkembang sehingga merupakan modal sosial bangsa yang penting. Pada sisi lain, ungkapnya, pluralisme agama jangan mengarah kepada relativisme dan sinkretisme agama karena juga berdampak negatif bagi bangsa Indonesia karena juga dapat menganggu keharmonisan yang telah tumbuh.[8]
 

Sumber Tulisan:


  1. www.mui.or.id
  2. www.suaramedia.com
  3. http://aryafatta.wordpress.com
  4. http://muhammadcardai.blogdetik.com
  5. http://www.fajar.co.id
  6. http://www.antaranews.com
  7. http://islamlib.com
  8. www.fpi.or.id
  9. http://buntetpesantren.org
  10. http://www.detiknews.com
  11. http://www.suarapembaruan.com



[1] www.mui.or.id
[3] http://aryafatta.wordpress.com dan http://muhammadcardai.blogdetik.com
[4] http://www.fajar.co.id/ dan http://www.antaranews.com
[5] http://islamlib.com
[6] www.fpi.or.id
[7] http://buntetpesantren.org/
[8] http://www.detiknews.com
[9] http://www.suarapembaruan.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar