9 Feb 2011

Sastra Populer

Secara umum seni ‘dibagi’ atas seni tinggi (high art) yang diakui sebagai seni yang dikonsumsi oleh masyarakat yang berpendidikan, folk art rata-rata dikonsumsi oleh masyarakat tidak terdidik di pedesaan (umumnya), popular art dikonsumsi oleh masyarakat setengah terdidik pada masyarakat urban perkotaan dan pop art yang dinikmati oleh sebagian masyarakat berpendidikan dan setengah terdidik. Folk art untuk sebagian masyarakat terkadang mengacu dan berpengaruh pada agama tertentu yang pada sisi lain diasosiakan dengan ‘terbelakang’ dan dengan cara tertentu membuat dan mempertegas sebuah batasan antara “saya” dan “kamu”. Dalam ‘tradisi kiri’, popular dilihat sebagai seni yang bisa mengkristalkan sebuah masyarakat tertentu, kerakyatan pada tradisi ini bermuatan politis. Diluar tradisi ini, pop art pergi secepat ia datang dan merupakan sebuah barang kesenian yang merupakan konsumsi massa. Dari segi bentuk, pop art adalah sebuah barang eklektis, sebuah barang hasil daur ulang, yang untuk menunjukkan kebaruannya, inovasi yang dilakukannya adalah dengan meniru, dalam artian; tambal sulam. Pop art disini bertujuan mengironikan atau memparodikan sesuatu, akan tetapi di sisi lain ia tidak bisa begitu saja dikatakan demikian karena pada akhirnya pop art adalah sebuah barang yang dikonsumsi maka ia bertujuan untuk bisa dijajakan, dijual pada konsumen tertentu.


Pierre Bourdieu, melihat kegagalan subyektivisme dan obyektivisme pada tataran yang ia sebut sebagai obyektivitas subyektif (objectivity of the subjective); ketidak mampuan subyektivisme untuk merengkuh ranah sosial yang membentuk kesadaran dan kegagalan obyektivisme untuk mengenali realitas sosial sebagai sebuah perpanjangan bentuk dari konsepsi dan representasi yang dibuat oleh individu-individu pada dunia sosial. Subyektivisme merepresentasikan sebuah bentuk pengetahuan tentang dunia sosial berdasarkan pengalaman dan persepsi individual serta termasuk didalamnya intelektualitas tertentu sebagai fenomenologi, teori aksi rasional (rational action theory) dan bentuk-bentuk tertentu dari sosiologi interpretif, antropologi dan analisis linguistik. Pada medan sastra, hal ini termasuk semua teori idealistik dan essensialis yang berdasarkan pada ideologi karismatik dari penulis sebagai ‘kreator’. Obyektivisme, pada sisi lain, berusaha untuk menjelaskan dunia sosial dengan menggabungkan pengalaman-pengalaman subyektif individual dan memfokuskan pada kondisi obyektif dimana struktur dipraktekkan secara independen dari kesadaran manusia. Representasi dalam mana proyek individu dan kelompok tertentu tidak dapat dielakkan melalui praktek dan propertinya merupakan bagian integral dari dari realitas sosial. Sebuah kelas didefinisikan melalui perasaan keadaannya (being-percieved) dan oleh keadaannya (being), oleh cara mengkonsumsinya-yang tidak perlu secara mencolok menjadi simbolik-dalam posisinya pada relasi produksi.

Estetika pop menurut Bourdieu terdiri atas tiga faktor; modal sosial, bentuk dan seniman. Kecenderungan estetis ini tergantung juga pada latar belakang pendidikan formal seni dari konsumen, seni seakan-akan ditakdirkan untuk dinikmati oleh kelompok minoritas yang memiliki kemampuan ‘terberi’; dalam artian ini massa tidak memiliki akses langsung yang mencukupi kepada dunia seni. Hal ini menyiratkan pembagian publik menjadi dua kategori; mereka yang ‘paham seni’ dan mereka yang ‘tidak paham’. Dengan cara inilah, menurut Bourdieu, orang-orang ‘biasa’ dibedakan dengan mereka yang punya selera ‘lebih beradab’ dan terbentuklah sebuah herarki kultural. Hierarki kultural ini menciptakan sebuah aesthetic distancing, yang perlu diingat disini adalah bahwa estetika kelas pekerja adalah estetika yang ditundukkan oleh estetika dominan jadi pendefinisiannya pun mengacu pada estetika dominan.

Konsep habitus digunakan oleh Bourdieu untuk menjembatani aspek subyektif dan obyektif tindakan manusia. Habitus adalah sebuah sistem produksi representasi rasa tertentu yang terinternalisasi yang memungkinkan munculnya pemikiran, persepsi dan tindakan-tindakan budaya. Bourdieu mensejajarkan habitus dengan grammar generatif Noam Chomsky yang bertujuan untuk mengkarakterkan apa yang diketahui oleh pengguna bahasa, yaitu kemungkinan-kemungkinan dimana pengguna bahasa tertentu mampu mempergunakan dan memahami produksi bahasa. Melalui grammar generatif akan bisa dijelaskan kemungkinan-kemungkinan munculnya suatu kalimat berdasarkan kalimat yang ada. Habitus adalah situasi sebelum seseorang mengambil sebuah posisi dalam suatu lingkungan sosial. Sebelum disini tidak bisa diartikan sebagai bahwa seorang berada dalam kondisi kosong, ia telah memiliki bayangan arah mana yang akan dia ambil, oleh karena itu habitus juga disebut sebagai ‘orientasi’. Konsep habitus juga menjadi kritik atas konsep kelas yang mekanistis, menurut Bourdieu; suatu kelas sosial bisa bertahan menjadi kelas karena mereka memiliki habitus yang serupa sehingga tindakan mereka dirasakan pantas dan beralasan.

Karena kecenderungan habitus sebagai disposisi yang durable; kemunculan sastra populer bisa ditelusuri dari munculnya ‘ejekan’ roman picisan. Roman picisan ditujukan kepada suatu karya yang tidak ‘bermutu’ sebagaimana layaknya kesastraan yang dikembangkan Balai Pustaka. Dari segi penggunaan bahasa, karya-karya ini sangat tidak memenuhi kriteria sastra tinggi a la Balai Pustaka, mereka banyak menggunakan bahasa sehari-hari, bahasa melayu pasar. Hal ini banyak ditemukan dalam karya-karya penulis keturunan Tionghoa seperti misalnya; Ong Khing Han (Nasibnja Tjian Kim No, 1934) dan Oey Kim Soey (Magdalena Chen, 1933). Karya-karya ini kebanyakan bergaya seperti laporan perjalanan dan atau laporan jurnalistik, pada satu cerita pengarang bahkan ikut terlibat dalam kisah pada karya tersebut dalam artian ia berperan sebagai narator yang kemudian ikut mempengaruhi pembacanya dengan ‘misi’ yang ia emban dalam karya tersebut. Sekitar 1950-an, ditandai dengan berdirinya Lekra, kesastraan populer Indonesia bergeser kearah yang lebih politis akan tetapi karya-karya jenis roman picisan masih tetap ada; Kweetekhoay (Bunga Roos dari Tjikembang, 1963). Tahun 90-an, novel-novel pop tersebar lebih massif dibandingkan dengan sastra tinggi, novel-novel karya penulis seperti Hilman (Lupus dan Olga), Tara Zagita (Dewi Ular) dan Bastian Tito (Wiro Sableng) lebih mudah didapat dibandingkan dengan karya-karya penulis seperti Rivai Apin, Utuy Tatang Sontani atau Jassin. Pada tahun 2000-an, Hilman yang pernah sukses dengan Lupus-nya kembali ‘turun gunung’ dan ‘bermain’ lagi di wilayah sastra populer. Dengan modal ‘nama besar’ pada wilayah ini ia berusaha merebut posisi dalam ‘lingkungan sosial sastra populer’.

Bourdieu memahami masyarakat sebagai sebuah system of positions, masyarakat terdiri dari posisi-posisi sosial dimana masing-masing dari kelompok sosial hendak mempertahankan, melindungi dan berjuang untuk posisinya dalam hubungannya dengan masyarakat lain. Dalam setiap formasi sosial, dibangun serangkaian medan yang terorganisir secara hierarkis. Ia terstruktur dengan hukum-hukumnya dan hubungan-hubungan kekuasaannya tersendiri dalam pengoperasiannya. Setiap medan relatif otonom namun secara struktural bersifat homolog dengan medan-medan lainnya. Akan tetapi dalam suatu medan tertentu tidak terbebas dari suatu bentuk hubungan-hubungan kekuasaan, dengan kata lain ia tidak netral dan atau steril dari hubungan kekuasaan dan kepentingan. Hal lain yang perlu ditambahkan disini adalah modal kultural dan ekonomi yang dimiliki agen-agen dalam suatu medan. Konsepsi medan (field) bisa dipahami sebagai space of possibilities, dimana formasi sosial dan budaya berjalan secara dinamis.

Ciri pertama medan adalah sebagai arena perebutan legitimasi dengan kata lain merupakan wilayah hubungan kekuasaan untuk memperebutkan sumber nilai. Nilai disini merupakan hasil pemakaian modal yang telah diinvestasikan, yaitu profit; status distinction. Dalam kasus ‘turun gunungnya’ Hilman diatas, bisa dilihat sebagai pemakaian profit yang telah ia dapatkan sebelumnya, yaitu nama besar yang ia hasilkan dari penulisan Lupus. Pemunculannya ini bisa dikatakan sebagai usaha untuk mendongkrak posisinya dalam lingkungan sosial tertentu; dunia sastra pop (misalnya). Disisi lain bisa dilihat juga pemunculan ini sebagai usaha perebutan kekuasaan dalam dunia sastra pop yang sebelumnya telah dikuasai oleh penulis-penulis ‘pemula’. Ciri kedua medan adalah sebagai struktur ruang-ruang sosial. Ruang-ruang sosial disini terbentuk dan tersubordinasi berdasarkan posisi-posisi dominan dan jumlah serta jenis kapital. Berdasarkan hal tersebut diatas ruang-ruang terbagi dalam bidang yang tidak seimbang, ketidak seimbangan ini tergantung pada jenis dan jumlah modal, dengan demikian pada ciri ini harus dikenali medan yang mentukan posisi-posisi agen, jenis modal, komposisi dan volumenya. Sebagai field, sastra pop ditentukan bukan oleh lembaga-lembaga sastra yang legitimate seperti DKJ (misalnya), karena sastra pop berada diluar wilayah arena organisasi semacam itu, arena pertempurannya adalah pasar. Sastra pop a la Hilman jelas termasuk field of large scale of production yang berbeda dengan sastra pop a la Afrizal Malna (misalnya) yang termasuk restricted field of production. Pop a la Hilman “terlalu mudah dipahami” sehingga terkadang menimbulkan pertanyaan apakah karya itu adalah sebuah karya sastra. Sedangkan pop a la Afrizal di support oleh restricted person, tapi sekitar 90-an gaya penulisan Afrizal sangat digemari dan menjadi sangat populer dikalangan penulis muda. Seakan-akan jika belum pernah menulis dengan gaya semacam itu, seseorang belum sah memasuki dan berada di lingkungan sastra, jadi ia tersebar dengan massif dilingkungan sastra. Pada kasus ini Afrizal didukung oleh modal kultural yang lebih kuat dibandingkan Hilman karena Afrizal mendapat legitimasi dari organisasi sastra seperti AKY (misalnya).

Field menyediakan bentuk-bentuk khusus dalam pertempuran merebut kekuasaan adalah ciri ketiga, ia memiliki aturan main tertentu yang mengatur perebutan legitimasi. Cara ber-konflik ini yang menentukan status distingtif seseorang dan atau kelompok-kelompok yang ‘berseteru’. Salah satu arena konflik adalah media. Hilman yang jelas-jelas terpinggirkan oleh organisasi sastra, tidak mendapat tempat pada media-media sastra semacam Horizon atau On/off (misalnya). Sedangkan Afrizal yang latar belakang seorang akademisi dan mendapat dukungan dari organisasi sastra yang legitimate tentu memiliki modal yang cukup untuk tetap bertahan di dunia sastra. Hilman berbanding terbalik, ia mendapat dukungan dari media-media pop seperti Kawanku dan atau Aneka, serta mendapat pemberitaan yang luas ketika Lupus ‘diterjemahkan’ ke dalam film. Tahun 2000-an ketika sastra pop kembali ‘menjajah’ pasar, Hilman dengan tenang bisa kembali lagi ke arena pertarungan tanpa gentar, karena sebelumnya ia telah memiliki modal yang cukup dan mendukung untuk itu, berbeda dengan Afrizal yang menghilang entah kemana dari dunia sastra pop. Inilah yang menentukan status distingtif antara pop a la Hilman dan pop a la Afrizal. Dari kasus tersebut diatas terlihat adanya konflik berdasarkan modal yang merupakan gejala dari sebagian kecil kompetisi dalam medan sastra pop.

Pertarungan antara agen-agen dalam medan sastra pop sebagian ditentukan atas modal yang dimilikinya, baik itu modal kultural maupun modal ekonomi. Tujuan pertarungan itu pun bisa dicari, apa itu pertarungan untuk memperebutkan, mempertahankan atau subversi. Sekeras apapun pertarungan itu, mereka memiliki kesepakatan bahwa mereka akan mempertahankan medannya. Sebagai tambahan, nilai estetis seni pop tidak dicari pada karya-karya yang diproduksinya akan tetapi ketika ia diterapkan atau dipasarkan dalam tujuannya untuk mempertegas distingsi estetik. Perebutan posisi ini dalam sastra pop diperumit lagi dengan adanya institusi dan atau organisasi sastra yang legitimate. Sementara belum ada kejelasan tentang siapa dan atau apa yang menentukan bahwa institusi dan atau organisasi itu adalah legitimate atau tidak. Di sisi lain, tentang karya sastra itu sendiri; siapa dan atau apa yang menentukan sebuah karya adalah karya sastra atau bukan.

Demikian dunia sastra pop membangun dirinya atas konflik-konflik untuk mempertahankan medan seseorang dan atau kelompoknya.
ketha/ laritelanjang.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar