19 Apr 2011

Dia

Di sudut keremangan batin, aku coba bertanya pada pertanyaan yang terus mengiang di seperempat abad umur. Aku, berputar dalam labirin logika usang, kemarin, hari ini, atau bahkan waktu yang terkadang entah dari sudut mana kita dapat menjelaskannya.


Sudah lama aku menanti Dia, sudah dua bungkus rokok habis kuhisap hanya untuk menanti Dia. Tadinya aku hampir putus asa. Namun, tepat pukul tiga lewat tiga belas, harapan yang sempat menjadi buih itu kini tampak. Dia berjalan di permukaan kantung mataku yang lunglai, Dia menampar penantianku yang membusut dan hampir meledak. Dia kini Dia di hadapanku, di hadapan orang yang sangat menginginkan Dia.

Ku sambar botol minuman yang sejak tadi mematung di atas meja bar. Ku minum seperempat dari volume botol itu, perlahan demi perlahan ku hampiri Dia, lalu, dengan langkah yang semakin cepat kusiapkan tenaga semaksimal mungkin, kepalan tanganku membatu mencekik leher botol, kulihat sesekali botol yang sepertinya teraniaya itu, ia begitu menyedihkan candaku dalam hati, mungkin karena tanganku begitu kuat mencengkeramnya hingga ia tak miliki rasa iba pada botol itu. Aku sempat kasihan padanya, namun amarahku yang memuncak pada Dia tak mampu lagi terbendung, kurekatkan lagi cengkeramanku, kubiarkan botol itu tersiksa, batuk-batuk, bahkan mati, aku tak peduli, lagi pula, tidak ada hubungan yang spesial antara aku dan botol itu, jadi, tidak ada belas kasihan untuk sebuah botol, karena aku benar-benar berang.

Seperti mata kamera kini Dia mulai membesar di mataku, tanganku semakin kencang mendekap tenggorokan botol, bunyi detup jantungku mulai terdengar di telinga, kutatap matanya yang tiba-tiba melirik ke wajahku. Belum sempat botol itu kuayunkan tiba-tiba mataku terbelalak menikam kantuk yang berubah jadi pahit, pahit sekali, aku dapat merasakan rasa itu datang berduyun-duyun di pelipis mataku. Aku terbangun dari hayalan mencekam itu. Tanganku terkepal keras, dan sama sekali tidak ada botol di sana. Perlahan kurekahkah lima jariku yang sejak tadi terkatup, angin segar mengelilingi lilitan garis tanganku yang bercampur keringat. Tangan kiriku masih memegang setengah rokok yang sejak tadi mematung. Setengahnya telah terbakar. Nyatanya, Dia belum datang, belum hadir di sini seperti apa yang aku hayalkan tadi. Sial!

Dia. Sejak Dia hadir dalam kehidupanku, aku tak dapat lagi tidur nyenyak. Lidah selalu kelu jika mendengar namanya, kaki terasa berat, jiwa terasa sempit, dan sekian kesialan yang datang mengilirku seakan aku ini halte bus, atau kantin sekolah. Aku lelah dengan keadaan ini. Aku mau Dia enyah dari sini, dari hati ini.

Dia bagiku adalah kutukan yang mengobrak-abrik kenyamanan hidup, Dia memangkas seluruh kenikmatan yang selalu kucumbu bersama arak, mariyuana, ekstasi, dan bidadari-bidari cantik yang selalu menemaniku. Oleh sebab itu aku sangat benci Dia, aku ingin membunuhnya, membunuh dengan tanganku sendiri. Karena Dia, aku selalu dibilang gila, karena terkadang teriak-teriak tidak jelas, beberapa orang juga sempat berkomentar kalau aku sedang berhalusinasi. Aku sudah jelaskan bahwa Dia itu nyata. Kerap kali Dia datang, aku jadi tidak nyaman, bau arak jadi tidak enak, mariyuana hambar, ekstasi tidak menggairahkan, dan para bidadari malam begitu menakutkan. Alah!! Bedebah!!

Kemarin subuh aku sengaja datang datang ke sebuah tempat di mana semua orang bisa membeli senjata apa saja yang mereka inginkan. Tempat ini sangat rahasia, hanya orang-orang tertentu saja yang tahu, aku sendiri tahu dari teman dekatku yang juga tahu dari teman dekatnya. Saking rahasianya tempat ini, aku harus selalu menghafal kata sandi untuk masuk ke tempat tersebut. Misalnya jika sudah sampai di depan tempat itu, kita harus menyapa si penjaga tempatnya dengan berkata ”Aku datang dari surga mama dan neraka bapak”, maka orang tersebut akan menjawab ”ibu pertiwimu dari mana?” lalu aku harus menjawab ”dari kaki hingga ke ketiak” setelah itu aku baru boleh masuk, kadang kala kata kunci tersebut akan diganti sesuai dengan kesepakatan.

Mataku manja mengitari display senjata-senjata idaman semua kaum, mulai dari AK 47, Barreta 92 yang ilegal datang dari Italia, atau yang ingin kecepatan yang luar biasa kita dapat membeli Walther P99 buatan Jerman, atau Hs2000 yang sering dikenal dengan Springfield Armory dari Croasia, atau bagi yang ingin buatan Indonesia dapat membeli P3 yang kecil mungil.

Tadinya aku mau mengambil P3, selain mungil, aku rasa aku masih punya rasa nasionalisme yang tinggi, tapi aku pikir untuk apa? Nasionalisme itu hanya konsep yang mengawang-awang sampai saat ini. Untuk itu, akhirnya aku memilih Walther P99 buatan Jerman dengan peluru berkaliber 45 ACP, aku rasa cukup untuk membuat lubang kecil di kepala Dia, atau minimal membuat kakinya lumpuh lalu Dia terseok-seok di tepi comberan sesekali memohon padaku untuk tak membunuhnya lalu aku dapat puas mengatur irama kepuasanku di hadapannya, sesekali menyelipkan kata-kata hinaan yang sudah tentu hampir membuncah di rongga ulu hatiku selama ini.  

Malam ini, senjata idaman kaum adam itu kini ada di tanganku, terbungkus manis dengan sarung kulit buatan Italia, di sisi kanan dan kiri nya terdapat tempelan bintang-bintang mirip bintang yang terdapat di topi Che Guevara, mungkin sang pembuatnya seorang demonstran atau paling tidak berjiwa revolusioner, entahlah.. yang jelas semua orang pasti merasa gagah jika memiliki benda ini. Termasuk aku.

ku timang-timang senjata itu, sesekali membidik ke sembarang arah layaknya para oknum tentara yang sembarang memuntahkan peluru tajamnya ke arah kumpulan mahasiswa ketika terjadi krisis di negara ini dahulu kala. Entah mengapa aku tak pernah menemukan alasan yang tepat mengapa mereka begitu tega membunuh? Apa karena uang? Jabatan? Atau karena takut? Entahlah kita tak pernah tau dan takkan pernah tau apa sebenarnya yang terjadi. Itulah sejarah, tenggelam bersama lautan arak kekuasaan sang penguasa, terbujur di ujung gang-gang sempit dan sulit dijangkau karena badai akan menghantam siapa saja yang coba menerjang. Mungkin butuh puluhan tahun untuk menyikap semua tabir itu.

Ku tenggak arak dari botolnya langsung. Kuhirup udara kenikmatan. Tampak dari kejauhan apa yang kutunggu-tunggu datang. Ku pastikan aku sedang tidak bermimpi, kutampar wajahku sendiri. Tidak lama, tiba-tiba Dia sudah berada di hadapanku. Aku jadi kikuk. Tanganku yang kuanggap perkasa belakangan ini, tiba-tiba stroke ringan, detup jantung berdetak keras, sekeras betotan bass John Myung ketika konser live at the Marquee.

Aku ingin segera menyambar apa saja yg ada di dekatku, tapi bahuku terasa kaku, kulirik meja bar panjang yang melingkar, mana botol tadi? Ah sial!! Bartender itu sudah mengambil botolku. Bangsat!! Mungkin saat ini botol itu sedang tertawa terkekeh-kekeh!! Ah!! Sekarang aku tidak hanya ingin membunuh Dia, tapi bartender dan juga botol sialan itu. Rongga nafasku seperti begitu sesak, seluruh tubuhku bermandikan keringat. Aku teringat P99 yang kuselipkan di pinggang belakangku. Mana dia? Tanyaku dalam hati sambil meraba-raba ke belakang. Belum sempat ku gapai benda itu, tiba-tiba ada yang menghantam dadaku, muntah liur dan arak meluncur begitu saja tanpa aba-aba, mulut dan lidahku panas, tubuhku lemas, seperti usai dikuras. Kepalaku pusing, tubuhku tersungkur, seperti dilindas truk yang memuat ribuan ton besi, walaupun aku belum pernah merasakannya, tapi begitulah kira-kira rasa sakitnya,. Terseok-seok aku mencoba menghindar, kugapai kembali pistol itu, dan saat ini ia tergenggam erat di tangan kananku. Seperti mendapat kekuatan super aku terbangun, kumuntahkan peluru berkaliber 45 ACP itu seadanya, entah kemana, aku tak peduli, kuharap semua itu mampu mengenanai Dia. Aku tertawa lepas. Mampus kau!! Entah mengapa, tiba-tiba semuanya meredup, aku mengantuk sekali, mengantuk, tiba-tiba semuanya gelap.
***

Sudah setahun ini aku mendiami sel tahanan. Sejak kejadian di bar itu aku dikabarkan koma selama satu bulan. Orang-orang berkata kalau aku jatuh terkapar kerena mabuk berat, berhalusianasi, dan menembak orang-orang dengan membabi buta. Setelah sadar dari koma aku langsung dijebloskan ke penjara tentunya lantaran beberapa pasal yang kulanggar, salah satunya yang terberat adalah pembunuhan.

Namun, Entah mengapa sejak kejadian itu aku seperti terlahir kembali. Aku seperti bayi suci yang bahkan belum mampu mengenal apa-apa, semuanya harus kueja, walau terbata-bata. Cahaya terang seperti datang menjemput dan membawaku. Dan, keajaiban ini benar-benar membantuku. Aku pun baru tersadar, Dia membunuh kehidupanku demi membunuh kebodohan dan kesalahanku. Dia membunuhku untuk membunuh masa lalu dan menghadiahkan masa depan.

Sore yang keemasan, terdengar suara adzan ashar, sebentar lagi pak Oing pasti mengajakku ke mushola, kataku dalam hati. Mushola dekat sel blok H 13 adalah tempat yang paling indah di mana aku bisa bertemu Dia. Yah, Dia yang dulu mencariku, dan kini aku yang mencarinya.

15 April 2011


Seperti dimuat di laritelanjang.net
ilustrasi oleh laritelanjang.net 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar