5 Apr 2011

On Being A Muslim


                        Judul buku: On Being A Muslim; Menjadi Musim Di Dunia Modern
Penulis: Farid Esack
Penerjemah: Drs. Dadi Darmadi, MA & Drs. Jajang Jahroni, MA
Editor: Sayed Mahdi & Singgih Agung
Penerbit: Erlangga
Tahun terbit: 2004
Tebal buku : xxxii + 239 Halaman


Pergulatan politik di Afrika Selatan dekade ‘80-an sangat menggema hingga ke penjuru dunia. Hal ini terjadi karena perlawanan yang dilakukan oleh beberapa orang terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim De Klerk.

Sistem apartheid yang dilaksanakan oleh De Klerk mendapatkan tantangan yang sangat besar, baik dari dalam maupun luar negeri. Dari apartheid ini, lahirlah sosok Nelson Mandela, sang pioneer perlawanan, juga ada nama Maulana Farid Esack. Esack adalah seorang intelektual muslim sahabat Mandela dalam memperjuangkan keadilan melawan rezim apartheid De Klerk di Afrika Selatan. Mereka sama-sama lahir sebagai penentang rezim apartheid.


Kalangan ulama tradisional dan konservatif yang berkolaborasi dan  menyokong Rezim apartheid dibikin mencak-mencak dengan kritikan yang dilakukan oleh Esack. Hal ini tidaklah mengherankan, karena ia tidak segan-segan mengkritik kelompok-kelompok Islam yang "mendiamkan" penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan rezim De Klerk. Bagi Esack, sikap politik mereka bukan hanya tidak sesuai dengan misi Islam untuk membebaskan yang tertindas, juga melawan misi kitab suci Al-Quran yang memerintahkan umatnya menegakkan keadilan.

Buku On Being A Muslim merupakan karya esack yang kedua diterbitkan setelah buku Qur’an, Liberation, and Pluralism yang mendapatkan tanggapan bahkan kecaman dari berbagai kalangan karena menghadirkan penafsiran hermeneutik yang berbeda dari apa yang telah diketahui selama ini.

Dalam beberapa hal, buku ini merupakan kisah seorang pemuda Afrika Selatan yang terlibat aktif dalam perjuangan untuk mencari keadilan dan mencoba mengaitkan antara pergulatan itu dengan keislamannya. Esack mencoba tetap setia dengan warisan luhur keagamaannya dan mencari hal yang terbaik dari agamanya untuk mencapai sebuah cita-cita bangsa Afrika Selatan yang sungguh-sungguh tidak rasial dan tidak seksis.

Persahabatannya dengan beberapa tokoh intelektual Kristen dan Katolik membuat pemikiran Esack sangat dekat dengan pluralisme dan hubungan antaragama. Dalam konteks kebangsaan, ia selalu menegaskan perlunya sebuah upaya bersama yang sifatnya melintas -antaragama, antaretnis, dan antarkelompok- untuk sama-sama melawan penindasan, kezaliman, kesewenang-wenangan, dan kejahatan kemanusiaan.

Dengan gaya tutur yang berbeda dengan kebanyakan penulis, ia mengkritik pemerintahan yang rasial dengan kejadian-kejadian yang ia alami. Misalnya ia mengungkapkan, “Saya berdesak-desakan menuju batu hitam (Hajar Aswad), berharap dengan sangat itu akan membantu memahami hitamnya kulit saya (hal ini jauh sebelum saya tahu adanya anggapan keserupaan antara dosa dengan warna kulit), gelar saya (berkulit hitam) yang menjadi beban, permainan kekuasaan, posisi politik keagamaan, kefasihan lidah dan kekacau-balauan.”

Menurut dia, Islam harus dibantu agar menjadi Islam yang penting secara sosial dan bermanfaat bagi individu. Di tengah maraknya kekerasan berbasis agama dan apatisme mayoritas muslim terhadap persoalan kontemporer, seperti AIDS, kesetaraan gender, konflik antaragama, dan lainnya, Esack yakin ada jalan tengah antara fundamentalisme yang tidak manusiawi dan tradisionalisme yang terfosilkan itu.

Tokoh yang pernah mengagumi Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Madjid (Alm.) ini terus menerus menyampaikan perlunya Islam yang progresif sebagai alternatif jalan tengah. Islam yang progresif yang dia maksud yaitu Islam yang terbuka, memahami pluralitas, segar, cerdas, dan resoponsif terhadap persoalan kemanusiaan, dan tidak menjadi monopoli kaum elite terdidik dan intelektual saja. Isalm progresif tidak hanya menuntut pemahaman yang kontekstual akan permasalahan umat manusia, namun juga terjun langsung menanganinya, sekecil apapun upayanya.

Buku ini adalah sebuah penjelasan komitmen yang menyeluruh mengenai perkembangan diri pribadi Esack, lewat sebuah keterlibatan bersama pihak lain, dalam perjuangan menciptakan dunia yang lebih manusiawi dan adil di Afrika Selatan. Kehidupan Esack di bawah bayang-bayang rasisme, kapitalisme, seksisme, dan totaliterianisme rezim apartheid sangat mempengaruhi cara pandangnya terhadap Islam dan keberislamannya.

beli buku klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar