2 Apr 2011

Al-Juawaini


Judul: Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam
Penulis: Dr. Tsuroya Kiswati
Penerbit: Erlangga, 2005
Editor  : Setya Bhawono & Sayed Mahdi
Halaman: x + 206


Apakah teologi Islam berhenti pada tiga kutub: Asy’ariyah, Mu’tazilah, dan Maturidiyah semata? Apakah gerbong pemikiran teologi dalam Islam lantas tertutup rapat? Setidaknya, buku Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional dalam Islam membantah hal itu. Ia berusaha meruntuhkan anggapan bahwa teologi Islam hanya mengutub pada tiga aliran di atas.

Buku yang semula merupakan disertasi penulisnya, Tsuroya Kiswati, tentu cukup meyakinkan kita mengenai keilmiahannya. Karenanya, keruntutan isi dan sistematisasi yang lazimnya diharapkan dari sebuah buku, dapat ditemukan dalam buku ini.


Al-Juwaini mungkin nama yang asing bagi mereka yang jarang bersentuhan dengan pemikiran teologi. Al-Juwaini dilahirkan di Busytanikan, Nisyapur, pada tahun 419H atau tahun 1028M. Membaca Alquran, bahasa Arab, hadis, fikih, ilmu usul dan ilmu khilaf (perbandingan mazhab fikih), dipelajarinya di rumah dengan berguru kepada ayahnya, ‘Abdullah bin Yusuf. Ia juga belajar fikih dan teologi aliran Asy’ariyah pada Al-Isfiraini. Belajar fikih mazhab Syafi’iyah dan ilmu hadis pada Al-Baihaqi, serta menghadiri majlis Al-Khabbazi untuk belajar Alquran.

Menurut Al-Juwaini, Islam merupakan agama yang rasional. Seseorang yang mempercayai adanya Tuhan hanya dengan taklid, tanpa mempergunakan akal, Islamnya kurang sempurna. Segala informasi harus dicerna dengan akal terlebih dahulu, sehingga menemukan dalil yang meyakinkan. Dalil tersebut harus dicari dengan mempergunakan penalaran akal.

Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang paling sempurna akalnya dan mempunyai perasaan. Maka, bagi Al-Juwaini, ditinjau dari segi syariat manusia wajib mengetahui Tuhannya. Cara memperoleh pengetahuan tentang Tuhan adalah dengan mengadakan penalaran akal. Dengan begitu, cara untuk mencapai sesuatu yang wajib menjadi wajib pula hukumnya. Artinya, karena mengetahui Tuhan merupakan kewajiban dan kebwajiban itu bisa terlaksana bila menggunakan penalaran akal, maka penalaran akal menjadi wajib pula hukumnya.

Akal dan wahyu menurut Al-Juwaini berkedudukan seimbang. Bila akal bertugas mengetahui Tuhan, maka wahyulah yang memberikan informasi, konfirmasi, dan pemberitahuan mengenai baik dan buruk secara terperinci. Tanpa wahyu, manusia tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap Tuhannya.

Teranglah kemudian teologi rasional seperti apa yang nampak dalam pemikiran kalam Al-Juwaini, yang dimaksud dalam buku ini. Meski, sebagaimana umumnya para pemikir kalam lain, pengaruh pemikiran-pemikiran kalam dari aliran-aliran yang sudah terlebih dulu ada dapat terlihat jelas dalam pemikiran Al-Juwaini. Penggunaan istilah kasb, soal perbuatan manusia, misalnya, dipinjam Al-Juwaini dari Asy’ariyah. Dan banyak istilah lain dalam buku ini yang merupakan racikan Al-Juwaini dari aliran-aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Maturidiyah yang telah lebih dulu ada dan berkembang.

Maka, menganggap Al-Juwaini sebagai peletak dasar teologi rasional dalam Islam sebagaimana yang ditulis dalam judul, mungkin bisa berakibat fatal: hiperbola dan mengada-ada. Akan lebih fleksibel dan mengena jika Al-Juwaini disebut sebagai peletak dasar teologi rasional alternatif yang, meski tidak sepenuhnya berbeda dengan aliran-aliran yang sudah ada, namun dapat berdiri sendiri sebagai teologi karena keutuhan dan komprehensifnya pemikiran Al-Juwaini.

Ini mungkin yang membuat penulis buku berani berargumen bahwa gagasan Al-Juwaini independen, sehingga ia bisa disebut sebagai pendiri mazhab Al-Juwainiyah. Sayangnya, klaim “rasional” dalam pemikiran kalam Al-Juwaini tidak mendapat porsi yang lebih besar untuk elaborasi lebih dalam sehingga pembaca akan dapat mengetahui dengan jelas dan pasti bagaimana corak teologi Al-Juwaini, dan apa yang membedakannya secara khas dengan aliran teologi yang sudah lebih dulu berkembang.

Buku ini disusun secara sistematis, dengan terlebih dulu mengenalkan biografi intelektual Al-Juwaini, baru kemudian memasuki pemikiran-pemikirannya yang, tampaknya Tsuroya Kiswati berusaha memuat semua poin penting yang biasa ditemui dalam kajian teologi: pembagian ilmu, filsafat wujud, filsafat alam, sifat-sifat Tuhan, hubungan antara Tuhan dan manusia, dan kemampuan (akal) manusia serta konsep iman dan hari akhir.

Namun, sebagaimana layaknya buku yang bermula dari sebuah disertasi, banyak istilah-istilah teknis yang tidak bisa dihilangkan sehingga buku ini tidak terlihat populer. Akan lebih menarik tentunya, jika buku yang ilmiah ini sedikit dibuat populer dengan, bila mungkin, mengurangi istilah-istilah teknis yang kurang signifikan disertai penuturan yang populer pula, sehingga buku ini akan bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Akhirnya, terlepas dari kekurangan kecil itu, buku ini layak dibaca oleh mahasiswa pengkaji Islam, terlebih yang mengkhususkan pada teologi Islam. Dan, ikhtiar Tsuroya Kiswati untuk memperkenalkan satu tokoh mazhab teologi alternatif layak untuk diapresiasi dan dikritisi.

beli buku klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar