24 Nov 2010

Tentang Kemarin yang Ditulis Hari ini

Ilustrasi: laritelanjang.net
Entah apa rasanya jika setiap kebaikan yang kita lakukan dianggap sebagai bukan kebaikan, dan entah apa rasanya jika niat baik kita selalu dibenturkan dengan pertanyaan: “Niat baik Anda untuk siapa?”

Sore ini aku pulang seperti biasa, tak ada tanda-tanda bahwa akan ada yang aneh. Hanya saja langit yang muram tak henti-hentinya menabuh gemuruh dan hanya saja awan hitam yang sudah mondar-mandir kesal menunggu aba-aba dari cakrawala.

Di perjalanan aku hanya bisa membayangkan bisa cepat sampai rumah, mandi, makan malam dengan menu yang tak terduga, nonton super family di antv, makan gorengan mas Iyan atau bakso mas Yanto, main catur di laptop, membaca cerpen eksistensialismenya Iwan Simatupang, cerpen budayanya Putu Fajar Arcana, atau membaca karya Jenar Maesa Ayu yang kata-kata vulgarnya maur kemana-mana, membaca puisi-puisi Sitor Situmorang dan sajak sihir Sutardji Calzoum Bachri, dan seabreg keinginan yang mengantri ingin dikerjakan.

Mbarghh… gleghhh…glebekhh…(atau apalah bunyinya) tiba-tiba saja menghancurkan kontruksi bangunan keinginanku tadi. Tepat di depan mataku sebuah mobil Avanza silver melindas seekor kucing mungil berwarna pirang, dadaku bergemuruh deras, muncul dengan sendirinya entah apa nama perasaan itu, marah, kesal, sedih, atau apalah namanya, yang jelas kejadian itu sangat mengagetkanku, tiba-tiba aku teringat si botak, si bogel, si manis, dan si belang, si Kucrut, kucing-kucing kesayanganku yang kesemuanya sudah almarhum.

Kagetku belum usai namun aku ingin sekali menolong kucing mungil yang sedang sakaratulmaut itu. Tanpa pikir panjang kuraih tubuhnya yang menggeliat kesakitan dengan tangan telanjang, namun baru kugapai leher bagian belakangnya tiba-tiba ia menyerang tanganku, menyerang dengan begitu geram, matanya menitipkan aura ketidaksenangan, taring-taring lahir di kedua sisi ujung bibirnya. Astagfirullah!! Bisikku pada diri sendiri, hampir saja kuku tajamnya mencabik tanganku.

Perlakuan itu tentu saja kuanggap sebagai tanda ketidakpercayaannya padaku, dan permakluman juga tentu saja ada dalam ruang kebijaksanaanku, “dia kan binatang” ucap logika dasarku pada perasaan. Jadi, niat untuk menolongnya sama sekali tidak urung, kucoba untuk menggapainya, tapi kali ini dengan sedikit hati-hati Dan, Aakhh.. kedua tangannya kini memenjarakan tanganku, kuku-kuku kakinya melingkar di punggung tanganku membuat semacam kuncian seperti dalam smack down, tiba-tiba giginya yang runcing menghunus telunjukku, dalam, dalam sekali,  sedalam cengkeraman kuku-kuku tangan seorang ibu di bahu suaminya saat sedang melahirkan anak mereka. Kini rintihan tak hanya terdengar dari kucing itu, tapi dariku juga, seakan-akan kami berdua sedang berduet dalam suatu konser (konser kesakitan?) reflek manusiawiku tentu saja menginginkan kejadian itu cepat berakhir, siapa sih yang mau diam saja ketika tangannya digigit begitu kecangnya? Tidak ada kan? Sesegera mungkin kurebut tanganku yang sejak tadi tertawan, entah apa yang ada dibenak dan kepala si kucing itu, aku tak tau, mungkin dia mengganggap aku orang jahat yang hendak mencekik lehernya? Atau dia mengganggap aku hendak merampas hartanya layaknya penodong atau penjambret, atau dia menganggap aku cuma bermain-main sambil menggelitiki perutnya. Ah.. aku rasa tidak.

Bunyi klakson sebuah kendaraan di belakangku membuat lamunan-lamunanku lari tunggang langgang meninggalkan isi kepala.

Aku jadi linglung, bunyi klakson semakin bersahutan kudengar, sedangkan si kucing tetap saja merintih memegangi perutnya. Dan nyatanya kini, aku telah terjebak dalam kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi, misalnya kalau aku tetap memamaksa menolong kucing itu, bisa saja ia akan menyerangku lebih membabi buta, atau pemberhentianku di tengah jalanan bisa membuat jalanan macet total, atau aku bisa saja tertabrak kendaraan di belakangku, dan yang lebih parahnya lagi aku bahkan bisa dituduh sebagai si penabrak kucing itu yang mencoba menolongnya agar perjalanannya tidak kena sial. Alaaah.. sial!!! semua membuatku bingung. Terus terang dengan berat hati kutinggalkan kucing malang itu sambil mengucap doa semoga ada makhluk yang baik hati yang mau menolong kucing itu walaupun tangan si penolong itu penuh dengan luka gigit dan cakar.

Kejadian itu kubiarkan dilahap angin. Perlahan kulaju sepeda motorku sesekali mengingat kejadian yang baru saja terjadi, suara gemuruh langit makin terdengar di genderang telingaku seakan-akan ia tak sabar untuk maur ke tanah.

Huh.. kuhela nafas panjang, semoga tuhan memberkatiku.  Di depan mata hanya terlihat titik hujan yang mulai terjun dari langit dan riuh orang-orang yang bergegas membuka bagasi motornya untuk mengambil jas hujan. Hujan akan segera turun, para muadzin memanggil orang-orang untuk singgah sejenak di rumah Tuhan, rumah yang sangat jarang dikunjungi, yang singgah hanyalah para hamba yang haus kasih sayang Tuhan, selebihnya adalah robot bodoh yang terus bergerak, terus berputar, berebut tempat di ruang yang sempit, sementara Ruang Yang Maharuang ditinggalkan dan dilupakan.

Pengembaran lamunanku lagi-lagi buyar, betapa kagetnya aku ketika sebuah mobil pick-up yang tidak terlalu cepat lajunya melindas kakiku. Adaaww.. aku merintih seadanya. “Untung pakai sepatu bot” ucapku dalam hati. Sambil merintih aku teringat lagi pada kejadian antara aku dan kucing pirang malang itu. Lalu terbesit beberapa konklusi iseng dalam pikiranku. Mungkin ini balasan dari Tuhan yang diperuntukkan pengecut seperti diriku yang salah mengambil langkah, atau mungkin ini pelajaran yang harus kutelan mentah-mentah tentang sebuah hukum kausalitas, atau juga mungkin hukum karma? entahlah, yang jelas, kakiku sangat sakit.

Oh Tuhan, lengkaplah sudah penderitaanku. Langit semakin pekat dan hujan mulai berdatangan, tiba-tiba jalan raya menjadi begitu padat, sepadat demonstrasi para buruh di hari buruh. Aku diam mematung, tubuhku basah kuyup, gigiku terkatup, menggigil kedinginan. Seluruh pengendara menatap nanar nomor-nomor merah yang dihitung mundur. Entahlah, semua orang seperti mesin mekanik. Aku jadi malu sendiri melihat Samuel Beckett berdiri di sisi lampu merah sambil memegang bendera hitam putih, ia berteriak “Ayo!.. bergegaslah! kalian ditunggu Godot”. Sementara dari kejauhan aku melihat Karl Max dan Ali Sariati memukuli satu persatu kepala pengendara yang patuh pada sebuah benda mati yang menyala. Dan aku hanya tinggal menunggu giliran dipukul mereka berdua.

Oh Tuhan, panggilkan Pramoedya Ananta Toer ke sini agar lekas usai kemacetan. Atau panggilkan saja Tan Malaka, Widji Tukul, atau Bung Karno. Biar reda hujan, biar usai kegelisahan.

Sampai di rumah kuceritakan kejadian itu pada istriku, ia hanya memicingkan matanya tadinya kuanggap perlakuan itu untukku tapi ternyata bukan padaku, tapi pada sebuah adegan sinetron cintafitri season4 layar kaca di depannya. Tampaknya ia tak begitu serius mendengar ceritaku, padahal aku begitu menggebu. Usai kuceritakan semuanya termasuk keganasan yang dilakukan sang kucing tadi istriku hanya berucap santai “Makanya, jangan sering bikin istri kesel, kualat kan jadinya!” jegerrrr!! Mendengar itu kepalaku seperti dipentung spatula Sponge Bob dan badanku diinjak-injak oleh Patrick. Hening sempat melunglai di ruang antara aku dan istriku. Oh iya, baru aku ingat, tadi pagi kami habis bertengkar. Aku jadi linglung sendiri.

Kuputuskan untuk mengasingkan diri sejenak ke teras rumah. Kunyalahkan sebatang rokok, kubuang bahuku ke tembok lalu meluncur ke bawah, kudapati diriku kini tengah duduk bersandar pada tembok. Kuhisap dalam rokok itu, dalam sekali, bahkan aku sendiri tak bisa menggapai kedalamannya. Kuraba jari-jari kakiku, hey.. ternyata sudah tidak terasa sakit. Terima kasih Tuhan, semoga kucing itu merasakan hal yang sama denganku saat ini. Semoga.[]

Seperti dimuat laritelanjang.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar