KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal
sebagai Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 7 September 1940. Gus Dur
adalah putra pertama dari enam bersaudara dari keluarga yang sangat terhormat
dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari,
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri
Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada
perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis
dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Selain Gus Dur, adiknya Gus Dur juga
merupakan sosok tokoh nasional.
Berdasarkan silsilah keluarga, Gus
Dur mengaku memiliki darah Tionghoa yakni dari keturunan Tan Kim Han yang
menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri
Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa merupakan anak dari Putri Campa,
putri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
Gus Dur sempat kuliah di Universitas
Al Azhar di Kairo-Mesir (tidak selesai) selama 2 tahun dan melanjutkan studinya
di Universitas Baghdad-Irak. Selesai masa studinya, Gus Dur pun pulang ke
Indonesia dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971. Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik
sebagai kaum ‘cendekiawan’ muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat.
Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling pesantren dan
madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dilakukan demi menjaga agar nilai-nilai
tradisional pesantren tidak tergerus, pada saat yang sama mengembangkan pesantren.
Hal ini disebabkan pada saat itu, pesantren berusaha mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan cara mengadopsi kurikulum pemerintah.
Karier KH Abdurrahman Wahid terus
merangkak dan menjadi penulis nuntuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya
diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan
kuliah dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,
tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses
pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber
pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual
kacang dan mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya.
Pada Januari 1998, Gus Dur diserang
stroke dan berhasil diselamatkan oleh tim dokter. Namun, sebagai akibatnya
kondisi kesehatan dan penglihatan Presiden RI ke-4 ini memburuk. Selain
karena stroke, diduga masalah kesehatannya juga disebabkan faktor keturunan
yang disebabkan hubungan darah yang erat diantara orangtuanya.
Dalam keterbatasan fisik dan
kesehatnnya, Gus Dur terus mengabdikan diri untuk masyarakat dan bangsa
meski harus duduk di kursi roda. Meninggalnya Gus Dur pada 30 Desember 2009 ini
membuat kita kehilangan sosok guru bangsa. Seorang tokoh bangsa yang berani
berbicara apa adanya atas nama keadilan dan kebenaran dalam kemajemukan hidup
di nusantara.
Selama hidupnya, Gus Dur mengabdikan
dirinya demi bangsa. Itu terwujud dalam pikiran dan tindakannya hampir dalam sisi
dimensi eksistensinya. Gus Dur lahir dan besar di tengah suasana keislaman
tradisional yang mewataki NU, tetapi di kepalanya berkobar pemikiran modern.
Bahkan dia dituduh terlalu liberal dalam pikiran tentang keagamaan. Pada masa
Orde Baru, ketika militer sangat ditakuti, Gus Dur pasang badan melawan dwi
fungsi ABRI. Sikap itu diperlihatkan ketika menjadi Presiden dia tanpa ragu
mengembalikan tentara ke barak dan memisahkan polisi dari tentara.
Setelah tidak lagi menjabat
presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi
partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia
berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat
presiden. Meski ia pernah menjadi Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), sebuah
organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta
orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang
ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan
suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
“Tidak penting apa pun agama atau
sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang
tidak pernah tanya apa agamamu”
Dalam komitmennya yang penuh
terhadap Indonesia yang plural,
Gus Dur muncul sebagai tokoh yang sarat kontroversi. Ia dikenal sebagai
sosok pembela yang benar. Ia berani berbicara dan berkata yang sesuai dengan
pemikirannya yang ia anggap benar, meskipun akan berseberangan dengan banyak
orang. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada
kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat
menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini
sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada
komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh
sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.
Karir
Organisasi NU
Pada
awal 1980-an, Gus Dur terjun mengurus Nahdlatul Ulama (NU) setelah tiga
kali ditawarin oleh kakeknya. Dalam beberapa tahun, Gus Dur berhasil
mereformasi tubuh NU sehingga membuat namanya semakin populer di kalangan NU.
Pada Musyawarah Nasional 1984, Gus Dur didaulat sebagai Ketua Umum NU. Selama
masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan
pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren
sehingga dapat menandingi sekolah sekular.
Selama memimpin organisasi massa NU,
Gus Dur dikenal kritis
terhadap pemerintahan Soeharto. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana
mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang
pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Wahid merencanakan acara itu
dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi
acara tersebut, memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU
ketika mereka tiba di Jakarta. Akan tetapi, acara itu dihadiri oleh 200.000
orang. Setelah acara, Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan
bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan
toleran.
Menjelang Munas 1994, Gus Dur
menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto
ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum Munas, pendukung
Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali
Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat
oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU
untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk
masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan
Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati yang
menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap
menekan rezim Soeharto.
Menjadi
Presiden RI ke-4
Pada Juni 1999, partai PKB ikut
serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memenangkan 12% suara dengan PDI-P
memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan
memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak
memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli,
Amien Rais membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah
mulai menominasikan Gus Dur sebagai kandidat ketiga pada pemilihan presiden dan
komitmen PKB terhadap PDI-P mulai berubah.
Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak
pidato pertanggungjawaban Habibie dan ia mundur dari pemilihan presiden.
Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999,
MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrahman Wahid
kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan
Megawati hanya 313 suara.
Tidak senang karena calon mereka
gagal memenangkan pemilihan, pendukung Megawati mengamuk dan Gus Dur menyadari
bahwa Megawati harus terpilih sebagai wakil presiden. Setelah meyakinkan
jendral Wiranto untuk tidak ikut serta dalam pemilihan wakil presiden dan
membuat PKB mendukung Megawati, Gus Dur pun berhasil meyakinkan Megawati untuk
ikut serta. Pada 21 Oktober 1999, Megawati ikut serta dalam pemilihan wakil
presiden dan mengalahkan Hamzah Haz dari PPP.
Pengabdian
Sebagai Presiden RI ke-4
Pasca
kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi
kedaulatan negara. Konflik meletus dibeberapa daerah dan ancaman separatis
semakin nyata. Menghadapi hal itu, Gus Dur melakukan pendekatan yang lunak
terhadap daerah-daerah yang berkecamuk. Terhadap Aceh, Gus Dur memberikan opsi
referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Pendekatan
yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan Gus Dur dengan mengurangi jumlah
personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Netralisasi
Irian Jaya, dilakukan Gus Dur pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota
Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan
pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua.
Sebagai seorang Demokrat saya tidak
bisa menghalangi keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi
sebagai seorang republik, saya diwajibkan untuk menjaga keutuhan Negara
kesatuan Republik Indonesia.
(Presiden Abdurrahman Wahid dalam wawancara dengan Radio Netherland)
Gus Dur telah menjadi pemimpin yang
meletak fondasi perdamaian Aceh. Pada pemerintahan Gus Durlah, pembicaraan
damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi terbuka. Padahal,
sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang
perdamaian seperti ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan
kemerdekaan. Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh,
Gus Dur tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik:
mengajak tokoh GAM duduk satu meja untuk membahas penyelesaian Aceh secara
damai. Bahkan, secara rahasia, Gus Dur mengirim Bondan Gunawan, Pjs Menteri
Sekretaris Negara, menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di
masa Gus Dur pula, untuk pertama kalinya tercipta Jeda Kemanusiaan.
Selain usaha perdamaaian dalam wadah
NKRI, Gus Dur disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari
ruang politik. Dibidang pluralisme, Gus Dur menjadi Bapak “Tionghoa”
Indonesia. Dialah tokoh nasional yang berani membela orang Tionghoa untuk
mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Pada tanggal 10 Maret 2004,
beberapa tokoh Tionghoa Semarang memberikan penghargaan KH Abdurrahman Wahid
sebagai “Bapak Tionghoa”. Hal ini tidak lepas dari jasa Gus Dur mengumumkan
bahwa Tahun Baru
Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional yang kemudian diperjuangkan
menjadi Hari Libur Nasional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan
huruf Tionghoa. Dan atas jasa Gus Dur pula akhirnya pemerintah mengesahkan
Kongfucu sebagai agama resmi ke-6 di Indonesia.
Selain berani membela hak minoritas
etnis Tionghoa, Gus Dur juga merupakan pemimpin tertinggi Indonesia pertama
yang menyatakan permintaan maaf kepada para keluarga PKI yang mati dan disiksa
(antara 500.000 hingga 800.000 jiwa) dalam gerakan pembersihan PKI oleh
pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini, Gus Dur memang seorang tokoh pahlawan
anti diskriminasi. Dia menjadi inspirator pemuka agama-agama untuk melihat
kemajemukan suku, agama dan ras di Indonesia sebagian bagian dari kekayaan
bangsa yang harus dipelihara dan disatukan sebagai kekuatan pembangunan bangsa
yang besar.
Dalam kapasitas dan ‘ambisi’-nya,
Presiden Abdurrahman Wahid sering melontarkan pendapat kontroversial. Ketika
menjadi Presiden RI ke-4, ia tak gentar mengungkapkan sesuatu yang diyakininya
benar kendati banyak orang sulit memahami dan bahkan menentangnya. Kendati
suaranya sering mengundang kontroversi, tapi suara itu tak jarang malah menjadi
kemudi arus perjalanan sosial, politik dan budaya ke depan. Dia memang seorang
yang tak gentar menyatakan sesuatu yang diyakininya benar. Bahkan dia juga tak
gentar menyatakan sesuatu yang berbeda dengan pendapat banyak orang. Jika
diselisik, kebenaran itu memang seringkali tampak radikal dan mengundang
kontroversi.
Kendati pendapatnya tidak selalu
benar — untuk menyebut seringkali tidak benar menurut pandangan pihak lain —
adalah suatu hal yang sulit dibantah bahwa banyak pendapatnya yang mengarahkan
arus perjalanan bangsa pada rel yang benar sesuai dengan tujuan bangsa dalam
Pembukaan UUD 1945. Bagi sebagian orang, pemikiran-pemikiran Gus Dur sudah
terlalu jauh melampui zaman. Ketika ia berbicara pluralisme diawal diawal
reformasi, orang-orang baru mulai menyadari pentingnya semangat pluralisme
dalam membangun bangsa yang beragam di saat ini.
Apabila kita meniliki pada
pemikirannya, maka akan kita dapatkan bahwa sebagian besar pendapatnya jauh
dari interes politik pribadi atau kelompoknya. Ia berani berdiri di depan untuk
kepentingan orang lain atau golongan lain yang diyakninya benar. Malah sering
seperti berlawanan dengan suara kelompoknya sendiri. Juga bahkan ketika ia
menjabat presiden, sepetinya jabatan itu tak mampu mengeremnya untuk menyatakan
sesuatu. Sepertinya, ia melupakan jabatan politis yang empuk itu demi sesuatu
yang diyakininya benar. Sehingga saat ia menjabat presiden, banyak orang
menganggapnya aneh karena sering kali melontarkan pernyataan yang mengundang
kontroversi.
Belum satu bulan menjabat presiden,
Gus Dur sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar
anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus
sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para
anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak.
Selama menjadi Presiden RI itu, Gus
Dur mendapat kritik karena seringnya melakukan kunjungan ke luar negeri
sehingga dijuliki “Presiden Pewisata“. Pada tahun 2000, muncul dua
skandal yang menimpa Presiden Gus Dur yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate.
Pada bulan Mei 2000, BULOG melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan
kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur
ke Bulog untuk mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus
Dur menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga
dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan
sumbangan dari Sultan Brunei untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal
mempertanggungjawabkan dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Dua skandal “Buloggate” dan
“Brunaigate” menjadi senjata bagi para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan
jabatan kepresidenannya. Pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di
Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai
bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekrit
yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan
Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Itulah akhir perjalanan Gus Dur
menjadi Presiden selama 20 bulan. Selama 20 bulan memimpin, setidaknya Gus Dur
telah membantu memimpin bangsa untuk berjalan menuju proses reformasi yang
lebih baik. Pemikiran dan kebijakannya yang tetap mempertahankan NKRI dalam
wadah kemajukan berdemokrasi sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan
jasa yang tidak terlupakan.
Doktor Kehormatan dan Penghargaan
Lain
Di kancah internasional, Gus Dur
banyak memperoleh gelar Doktor
Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dibidang humanitarian, pluralisme,
perdamaian dan demokrasi dari berbagai lembaga pendidikan diantaranya :
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
Penghargaan-penghargaan lain :
- Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
- Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
- Bapak Tionghoa Indonesia (2004)
- Pejuang Kebebasan Pers
(sumber: http://nusantaranews.wordpress.com)