http://gugahjanari.blogspot.com |
Cerpen ini dimuat juga di www.nuonline.or.id
Cerita ini hanyalah dramatisasi Peristiwa Geger Cilegon 1888
Cerita ini hanyalah dramatisasi Peristiwa Geger Cilegon 1888
Matanya nanar, seakan ada rembulan menggantung
di sana. Usianya sudah lengkap dengan asam garam kehidupan. Warna rambutnya hanya
ada dua, hitam dan putih, berpadu seperti Yin dan Yang, terbungkus serban putih
kesayangannya. Usianya memang senja, tapi jika ia berjalan langkahnya masih gagah
tegap meskipun ia tak pernah mengenyam pendidikan militer. Lelaki tua itu duduk
bersila sambil menatap sekeliling ruang kosong. Sebuah bangunan gelap yang
mungkin usianya jauh lebih renta dari usianya. Secercah cahaya lurus menerobos
ruangan itu, tampak asap putih mengepul dari corong mulutnya, sesekali ia hisap
kepenatan dalam batinnya. Tampak ada rasa kekhawatiran di matanya, kekhawatiran
tentang sebuah musim di mana hanya sedikit orang-orang yang mau mengerti
tentang arti kehidupan, tentang Tuhan, tentang keyakinan, perjuangan, hak
kemanusiaan di ruang-ruang saksi sejarah yang bisu yang semakin tersudut di
pinggir desa-desa yang dijajah lahir dan batinnya.
Sudah satu minggu lamanya Kyai
Wasid mendekam dalam jeruji besi sejak ia ditangkap oleh pemerintah Belanda. Kyai
Wasid dianggap bersalah karena telah berbuat onar menebang pohon Kepuh besar yang akhir-akhir ini
disembah oleh warga penduduk desa Lebak Kepala Banten.
Suatu malam Kyai Wasid beserta
murid-muridnya sengaja mendatangi Kepuh dan menebangnya. Kyai Wasid memang
sudah lama gerah melihat tingkah laku para rakyat yang mengganggap pohon besar
itu sebagai keramat. Sudah sering Kyai Wasid memberi peringatan bahwa apa yang
dilakukan oleh penduduk desa ini adalah perbuatan musyrik. Namun tidak
digubris. Para penduduk desa menganggap Kepuh
dapat menghilangkan bencana dan mengabulkan apa yang mereka pinta asal saja
memberikan sasajen kepada pohon.
“Percaya kepada selain Allah Subhanahu wata’ala adalah syirik!
Musyrik! Laknatullah!” teriak Kyai
Wasid.
Berkali-kali Kyai Wasid
memperingatkan penduduk, tapi imbauannya tidak diindahkan sama sekali. Kyai
Wasid yang tidak dapat membiarkan kebodohan di depan matanya. Dengan beberapa
orang muridnya ditebangnya pohon berhala itu pada malam hari.
Kyai Wasid memang sangat tegas
dalam urusan akidah. Hal ini juga ia ajarkan kepada murid-muridnya di pesantrennya
di kampung Beji Cilegon. Dulu waktu Kyai Wasid berguru kepada Syekh Nawawi Al‑Bantani,
Kyai Wasid sering bertanya tentang hakikat tauhid gusti Allah.
“Kanjeng Kyai, sedekat apakah Gusti
Allah dengan kita?” Tanya Kyai Wasid kepada Syekh Nawawi.
“Dekat atau tidaknya Gusti Allah
itu kita sendiri yang menentukan. Gusti Allah bisa dekat, bisa juga jauh.
Ibarat cahaya lilin.” Jawab Kyai Nawawi. Kyai Wasid tertegun.
“Lalu, Siapakah Gusti Allah?
Siapakah kita, Kyai?” Kyai Wasid kembali bertanya.
“Gusti Allah adalah cahaya, dan
kita semua adalah bayangannya.” Jawab Syekh Nawawi.
Bagi Kyai Wasid, itu adalah jawaban
yang sangat berarti dalam hidupnya. Kyai Wasid memang sangat takzim kepada
Syekh Nawawi. Sepanjang hidupnya Syekh Nawawi tak henti-hentinya mengajarkan tiga
pokok ajaran dalam Islam. Yaitu Ketauhidan, Fikih, dan juga Tasawuf. Ketiganya merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ajatan ketauhidan akan keesaan Allah subhanhu
wata’ala yang diajarkan Syekh NAwawi membawa Kyai Wasid dan juga teman
seperjuangannya seperti Haji Abdurahman, Haji Akib, Haji Haris, Haji Arsad
Thawil, Haji Arsad Qashir dan Haji Ismail melanjutkan syiarkan agama Allah ke
seluruh wilayah Banten. Bagi Kyai Wasid, perbuatan yang menyekutukan Allah
adalah dosa yang sangat besar. Itulah sebabnya Kyai Wasid sangat benci sekali
dengan orang yang lebih percaya pada benda mati seperti Kepuh
dibandingkan kepada Allah.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar..” Teriak
Kyai Wasid dan para muridnya. Kepuh tumbang. Warga desa lari
tunggang-langgang. Beberapa dari mereka melapor kepada tentara Belanda. Tidak
lama kemudian Kyai Wasid ditangkap pemerintah Belanda.
Kyai Wasid ditangkap dan
dijebloskan ke penjara lantaran ada laporan warga tentang perbuatannya menebang
pohon keramat Kepuh. Saat di dalam penjara sebelum Kyai Wasid diadili,
seorang asisten Residen bernama Goebels mendatangi tempat Kyai Wasid ditahan.
“Tuan, harus bertanggung jawab
penuh atas keonaran yang tuan perbuat.” Ucap sang asisten dari balik jeruji
besi.
“Menara langgar bale tuan
juga kami dirubuhkan! Itu peraturan yang sudah kami edarkan.” Kyai Wasid
terkaget. Kyai Wasid semakin geram.
“Tuan Wasid! Sesuai dengan aturan
hukum pemerintah, nanti tuan akan didakwa bersalah karena telah mengganggu
ketertiban warga desa!” lanjut Goebels.
“Atas dasar apa bapak sekalian
menuntut saya yang hendak menghancurkan kebodohan? Kemusyrikan?” Jawab Kyai
Wasid. Goebels cukup kaget mendengar perkataan Kyai Wasid.
“Apakah kiranya saya yang begitu
mencintai saudara sedarah saya berdiam diri saat mereka terjebak dalam
kebodohan menyembah sebatang pohon yang tak berdaya?” lanjut Kyai Wasid.
“Itu adalah hak manusia, tuan.” Ucap
Goebels.
“Menyelematkan saudara kami seiman
adalah hak juga! Apakah itu salah tuan?” kata Kyai Wasid.
“Tuan, kamu orang salah karna
melanggar ketenangan orang?” Goebels balik membalas.
“Siapa yang merasa tidak tenang
tuan? Hah? Tolong tuan panggil! Siapa?”
“Kalau menebang pohon demi
menyelamatkan saudara kami dari kemusyrikan itu dianggap salah, apakah
merubuhkan rumah ibadah kami bukan kesalahan?” Tanya Kyai Wasid.
“Menara kamu punya rumah ibadah itu
mengganggu ketenangan masyarakat! karena kerasnya suara, apalagi waktu azan
shalat subuh. Tuhan tidak tuli, tuan!” kata Goebels.
“Membiarkan saudara kami menyembah
pohon itu lebih mengganggu ketenangan kami tuan, ketenangan hati. Ketenangan
iman kami!” teriak Kyai Wasid.
“Tuan Wasid, apakah tuan sadar apa
yang tuan perbuat ini adalah keonaran? Pemberontakan kepada pemerintah? Goebels
bergerak mendekati Kyai Wasid. Kyai Wasid tersenyum kecut.
“Tuan, apakah yang tuan maksud
dengan pemerintahan?”
“Apakah yang tuan maksud
pemerintahan itu yang membiarkan kelaparan dan wabah penyakit menimpa kami? Apakah saat hujan tidak
turun selama dua tahun lamanya pemerintah ini peduli pada penduduk?” lanjut Kyai
Wasid. Dua sipir yang beringasan berangsur ke sisi Goebels. Tapi Goebels
memberi isyarat untuk meninggalkan mereka berdua. Dua sipir secepatnya keluar.
“Tuan, desa-desa kami kering kerontang. Tidak
ada tanaman yang tumbuh. Air sulit didapat. Apakah tuan tahu? Lalu Apa yang
bisa kami tanam? Sedangkan pemerintah tuan terus menarik upeti kepada kami?”
“Upeti yang kami kumpulkan, itu
semua untuk kesejahteraan rakyat! Tuan ini harusnya tahu? Balas Goebels.
“kesejahteraan yang mana? Apakah
hidup kelaparan dan penuh sengsara adalah kesejahteraan?” sambar Kyai Wasid.
“Tanah kami kering. Seperti iman kami.” Tiba-tiba
hening. Seperti ada bongkahan angkuh yang luluh di hati Goebels.
“lanjutkan, tuan Wasid.” Ucap
Goebels.
“Di pasar-pasar hampir setiap hari
kami menemukan bayi yang mati ditinggalkan ibunya. Apakah pemerintah tuan tahu?
Tuan, apakah tuan tahu puluhan ribu dari kami mati karena penyakit sampar
yang berkepanjangan?
“Desa kami seakan mati ditinggalkan
penghuninya. Banyak ibu tidak dapat menyusui anaknya dan banyak anak-anak kami
mati kelaparan, apakah pemerintah tuan tahu?
“Lalu apakah salah kalau kami
meratap, berdoa dan berzikir kepada Gusti kami saat kami tak boleh merapat
kepada pemerintahan ini?”
“Tuan, apakah tuan masih ingat kesediahan
kami karena sang Krakatau meletus? Ribuan jiwa saudara kami mati. Apakah yang
dilakukan pemerintahan tuan? Tidak ada bukan?”
“Pemerintah tuan bukan menolong
kami, tapi malah pajak kepada kami diperbesar? Kami harus kerja Pancen
dan kerja Rodi di luar kewajaran! Maka, tuan, itulah sebabnya banyak saudara
kami menjadi putus asa dan kembali percaya kepada dukun dan benda‑benda yang
dianggap keramat dari pada mohon pertolongan Allah, Gusti kami.”
“Cukup tuan!” potong Goebels.
“Sepertinya penjelasan tuan ini sudahlah
cukup. Terima kasih, tuan.” Lanjut Goebels.
“Sipir!” Teriak Goebels. Lalu ia
berlalu saat kedua sipir datang.
“Renungkanlah tuan! Pakai hati
tuan!” Teriak Kyai Wasid. Goebels berlalu. Seperti ada sebongkah rasa dari
balik matanya. Mungkin ia merasa ada sesuatu yang menohok hatinya. Namun
entahlah. Hati orang siapa yang tahu?”
Hari ini tanggal 18 November 1887,
Kyai Wasid dijadwalkan akan diadili. Gerak riuh penduduk desa berdatangan.
Mereka berdesakan demi melihat sang Kyai yang sedang diadili. Tampak pula
beberapa tentara Belanda berjaga. Teriakan “Allahu Akbar” menggema dari barisan
belakang sekelompok orang. Kyai Wasid dibawa masuk oleh dua orang tentara
bersenjata. Langkahnya tagap seakan apa pun diterjang. Riuh suara penduduk desa
semakin bergemuruh.
Atas kesalahannya, Kyai Wasid
akhirnya didenda 750 Gulden. Tuntutan jaksa yang sebelumnya ingin memvonis berat
Kyai Wasid menjadi ringan karena mendapat pesan dari asisten Residen. Ia merasa
apa yang dijelaskan Kyai Wasid tentang keadaan rakyat Banten cukup membuatnya
tersadarkan. Kyai Wasid dibebaskan, namun Belanda terus mengawasi
gerak-geriknya. Sejak peradilan Kyai Wasid, Belanda semakin mencekik para
penduduk desa. Belanda mengeluarkan surat edaran yang isinya supaya shalawat, tarhim, dan azan jangan dilakukan
dengan suara keras. Entah apa maksud surat larangan ini, yang jelas Belanda ingin
mempersempit ruang gerak umat Isam untuk melakukan aktivitas-aktivitas
perkumpulan.
Sejak peristiwa dilepaskannya Kyai
Wasid, keadaan justru semakin mencekam. Penduduk desa semakin terombang-ambing atas
kebijakan pemerintahan Belanda yang terus menaikkan pajak. Keadaan ini membuat Kyai
Wasid bersama-sama dengan para ulama pemangku agama di daerah Banten seperti
Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, dan Haji Marzuki, kembali menjalankan
misi syiar Islam dan perjuangan melawan penjajah di langgar-langgar,
pesantren-pesantrean. Kyai Wasid dan para ulama lainnya terus menanamkan
semangat jihad menentang penjajah.
Semangat perjuangan penduduk Banten
kembali berkobar, sejak 4 Februari sampai 13 Maret 1888, para ulama dan
penduduk desa mengadakan beberapa pertemuan yang intinya merencanakan strategi
untuk melawan pemerintahan Belanda. Setelah melakukan beberapa pertemuan maka para
ulama dan penduduk desa memutuskan untuk melakukan penyerangan. Hari sebelumnya
para penduduk desa mengadakan arak-arakan sambil meneriakan takbir dan
kasidahan arak-arakan dimulai dari rumah Haji Akhiya di Jombang Wetan dan berakhir
di rumah Haji Tubagus Kusen, penghulu Cilegon. Para kiyai dan murid‑murid
mereka memakai pakaian serba putih dengan ikat kepala dan kain putih pula
sambil membawa pedang dan tombak.
Rombongan para kyai dan warga
Banten pada malam hari bergerak dari Cibeber ke arah Saneja dipimpin langsung
oleh Kyai Wasid dan Haji Tubagus Ismail tempat ini kemudian dijadikan sebagai
pusat penyerangan oleh Kyai Wasid dan pengikutnya. Peristiwa itu kemudian
dikenal dengan “Geger Cilegon”. Peristiwa perjuangan tumpah darah rakyat Banten
dalam mengusir penjajahan Belanda. Peristiwa yang membuat penjajah Belanda
kocar-kacir ketakutan. Dan peristiwa yang membawa ruh Kyai Wasid yang gugur syahid
di medan perang menuju ribaan Allah Azza Wa Jalla.
Ciracas
31 Des 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar