www.nu.or.id |
Tulisan ini juga dimuat di www.nu.or.id
Gus, seumur hidup, saya pernah melihat tampang dan tubuhmu secara
langsung hanya di dua kali kesempatan. Yang pertama saat dirimu datang di acara
Haul Sesepuh Almarhumin di Buntet Pesantren Cirebon, kedua, saat dirimu menghadiri
acara pentas musik Cak Nun dan Kyai Kanjeng di UIN Jakarta.
***
Gus, selamat, kelahiran PKB yang kau bidani, yang resmi menjadi peserta pemilu
tahun 1999 itu sudah menjadi juru damai buat dua kubu kyai-kyai (dalam soal
politik) di Buntet Pesantren Cirebon, tempat saya nyantri dulu. Sebelum
PKB-mu itu ada, dua kubu ini (Kyai Golkar dan Kyai PPP) sering gontok-gontokan cocot
dan pemikiran. Sebenarnya waktu itu kami tidak peduli soal itu, kami tidak
mengerti, Gus. Tapi kami jadi jengkel juga, sebab yang menjadinya peluru buat
perang mereka, ya kami, para santri. Jadi, Gus, Kalau kyai A kesal sama kyai B,
maka biasanya santri kyai A yang dicecar sama Kyai B, kena omel, dan lain
sebagainya.
Tapi Gus, setelah PKB-mu itu terbentuk, dua kubu itu runtuh, para kyai menjadi
tersatukan dalam satu rumah. Kami tentu senang, terlebih kami tak lagi jadi
bulan-bulanan. Terima kasih Gus. Oh iya, Gus, namamu saat itu menjadi sangat
terkenal. Saya juga menjadi merasa kenal dengan dirimu.
Gus, mungkin kau tak pernah tahu jika PKB-mu datang seperti membawa ‘ajaran’
baru untuk saya. Mohon maaf, waktu itu dirimu pun saya anggap seperti ‘nabi’ baru.
Tidak mungkir, dirimu sangat saya idolakan.
Gus, mungkin kau tak pernah tahu kalau musim kampanye adalah musim yang paling saya nanti-nanti. Usai sekolah setengah hari, biasanya seluruh santri langsung disuruh ikut kampanye, itu artinya ngaji kitab Kuning diliburkan. Itu salah satu bagian yang paling saya suka, Gus, Libur! Tapi sejujurnya, libur ngaji itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan impian saya untuk bertemu dengan dirimu, Gus. Ini jujur Gus.
Gus, saat konvoi, di jalanan kami selalu meneriakkan, “Apa Jare
gusdur! Apa jare Gusdur!” Jujur, Gus, waktu itu bahkan saya tak pernah tahu
dirimu pernah bilang apa, tapi sungguh kalimat itu seperti mantra yang
menguatkan kami seharian konvoi keliling kota. Biasanya kami juga berpapasan
juga partai lain yang terkadang teriak-teriak menghina dirimu. Kalau mendengar
itu darah saya langsung naik, marah, sedih, dan terluka. Aneh, Gus, mengapa
saya harus marah, sedih, dan terluka? Saya ini tidak pernah kenal siapa dirimu,
yang saya tahu tentang dirimu hanya cerita kalau dirimu adalah wali yang kalau
ada yang menghinamu, orang itu pasti celaka. Itu saja yang saya tahu.
Gus, mungkin kau tak pernah tahu, pertemuan perdana saya denganmu benar-benar baru terjadi setelah cukup lama saya
mendengar banyak kisah tentangmu. Waktu itu dirimu mendatangi acara Haul Sesepuh di Buntet
Pesantren. Kebetulan jalan menuju acara itu melewati asrama saya, Gus. Kami
berebutan mengambil posisi di samping tembok asrama. Semuanya mau melihatmu yang
selama ini cuma menjadi dongeng. Semuanya mau melihatmu dengan mata telanjang.
Saya menyiapkan kamera poket, memotomu untuk kenang-kenangan. Tapi anehnya,
ketika dirimu lewat, kamera itu sama sekali tidak berfungsi. Padahal sebelumnya
kami sempat foto-foto, setelah dirimu lewat, kamera itu kembali berfungsi. Sampai
saat ini saya belum mendapat alasan peristiwa itu, Gus.
Gus, mungkin kau tak pernah tahu, pertemuan kedua saya dengan dirimu
terjadi di UIN Jakarta, tempat saya melanjutkan studi setelah nyantri. Di
situlah dengan gamblang saya dapat melihat dirimu secara utuh dan
berlama-lamaan. Kau duduk di atas kursi, di sampingmu ada Cak Nun. Kau banyak
cerita soal kebandelan-kebandelanmu saat kuliah di Mesir, kau cerita soal kegemaranmu
pada musik klasik. Kau cerita kau suka simfoni nomor sembilannya Beethoven dan
simfoni nomor empatnya Mozart.
Gus, saya menyesal, mungkin kebanyakan orang juga sama dengan saya, saya
hanya bisa mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu. Tapi, Gus, terima kasih sudah
lahir di bumi ini. Kau sosok yang karismatik. Humor-humormu cerdas, wawasan, dan
pemikiranmu yang sering mendobrak itu sudah membuka sekat-sekat apa pun itu,
agama, status sosial, warna kulit, laki-laki perempuan, semuanya.
Gus, membaca karya-karyamu membuat pikiran saya terbuka, cara berpikirmu begitu
jernih. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana jika karya-karyamu ini sudah
saya baca ketika sekolah, pasti dirimu kuanggap benar-benar nabi! Gus, membaca
pemikiranmu membuat saya merasa bangga pernah teriak-teriak “Apa Jare
Gus Dur!” di jalanan. Sebab, mantra “Apa Jare Gus Dur” yang keramat itu
kini mulai kupahami sedikit demi sedikit.
Tapi Gus, biar bagaimana pun, kau tetap hanyalah manusia biasa yang
diberikan kelebihan oleh Tuhan, tidak lebih dari itu. Kudoakan semoga kau
selalu diberikan keselamatan di dalam kubur dan hari akhir kelak. Doakan saya
juga semoga kultus saya kepadamu dulu bisa dimaklumi Tuhan.
Jakarta,
19 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar