23 Des 2010

Mem(Re)posisikan Perempuan

Perempuan, subyek kajian yang menarik dan membingungkan, telah banyak sarjana dan menghasilkan banyak sekali kucuran dana untuk LSM yang (katanya) peduli dengan permasalahan perempuan. Sudah banyak disajikan bahwasannya menjadi perempuan adalah suatu hal yang sulit ditengah masyarakat patriarkal. Second sex, demikian sesuatu yang berlabel perempuan ini terkadang dikategorikan bahkan seringkali label ini mendapat legitimasi teologis yang membuat perempuan hanyalah sesuatu yang memang sudah ditakdirkan untuk hidup dibawah sesuatu laki-laki. Sementara itu, feminisme dalam diskursus perempuan hanya dianggap (dengan sempit) sebagai suatu gerakan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana memahami realitas patologis akibat dominasi patriarki.
Bagaimanapun juga, feminisme tidak selalu paralel dengan suatu kompleks bernama perempuan, terlebih jika menimbang perempuan sebagai kategori yang terbentuk dari sesuatu yang kompleks. Perempuan adalah suatu identitas yang terus-menerus membentuk diri, tidak stabil dan selalu penanda tunggal. Dengan demikian feminisme tidak menjadi jalan eksklusif, tetapi menjadi suatu penanda yang (meminjam istilah Lacan) floating . Feminisme tidak bisa menjadi semacam hak eksklusif sekelompok perempuan, ia menjadi penanda yang terus menerus diisi oleh : mereka yang paling sensitif dengan isu kekuasaan dan dominasi. Dalam sudut pandang ini perempuan memiliki makna yang arbitrer, yang tidak bisa begitu saja ditundukkan dalam satu pemaknaan tunggal karena ia akan selalu membelokkan dirinya dari Logos. Bukan berarti ia , ia hanya menunda perjalanan menuju kemanunggalan makna. Karena penundaan inilah perempuan menjadi sesuatu yang terus-menerus berproses dan kompleks. Artikulasi perlawanan yang diberikan perempuan dengan sangat beragam, menurut saya, layak dipertimbangkan dalam konteks semacam ini.
Jika saja feminisme dikangkangi hanya oleh sesuatu perempuan, ia akan membentuk lagi suatu lokus kuasa atas yang lain. Memang (seperti yang sekilas telah tersebut diatas) perempuan telah menanggung banyak sekali beban sebagai second sex. Ia diawasi karena norma-norma bentukan kuasa tidak mengijinkannya sebagaimana sesuatu laki-laki. Ia dihakimi karena norma-norma bentukan ini telah membadan dalam setiap gerak langkah kita (?: kuasa?). Bukankah sesuatu perempuan adalah sebuah konstruksi sosial (dan politis)? Bukankah menjadi sesuatu perempuan adalah sebuah kultural, sosial, dan politis?
Engels dalam Origin of The Family, Private Property and The State memaparkan secara historis sesuatu perempuan ini . Engels menulis buku ini berdasarkan atas penelitian Lewis H. Morgan yang berjudul Ancient Society. Pendekatan materialis Morgan menyoroti bahwa institusi pokok (keluarga, kepemilikan pribadi dan negara) dalam masyarakat tidak pernah eksis dalam kehidupan prasejarah. Ia melihat bahwa kehidupan prasejarah dibangun berdasarkan kepemilikan kolektif, kebebasan, dan kesetaraan bagi semua orang (termasuk kesetaraan seksual). Oleh Morgan hal ini disebutnya .
Buku ini mungkin akan sedikit banyak membuka pemahaman kita bagaimana perempuan itu. Ia tidak hanya manusia kelas dua, ia (juga pernah) memiliki kekuatan politik yang menentukan hidup-matinya suatu komunitas. Engels membeberkan bahwa secara historis suku-suku (kuno) memposisikan perempuan sebagai sesuatu yang suci yang dipercaya mengantarkan suku tersebut pada kejayaan. Dalam masyarakat purba, perempuanlah yang mengurusi sebagian besar urusan klan. Karena keanggotaan sebuah klan diwariskan melalui jalur perempuan, dimana anak-anak tidaklah menjadi anggota klan ayahnya melainkan ibunya. Dengan demikian seorang anak laki-laki berada dalam klan yang sama dengan saudara perempuannya dan sang ayah berada dalam klan yang berbeda dengan klan anak-anaknya. Dalam buku ini Engels menuliskan bahwa semua ini berubah pertama-tama dengan diperkenalkannya suatu bentuk sistem perkawinan berpasangan. Yang kemudian berdasarkan pembagian kerja, laki-laki bertugas mencari makanan dan menguasai alat-alat kerja. Dengan penguasaan alat-alat kerja inilah laki-laki kemudian memiliki sumber pangan baru: ternak, dan instrumen kerja baru: budak. Ketika sumber pangan dikuasai, secara proporsional kekayaannya meningkat. Meskipun kekayaannya meningkat, anak-anak tidaklah mendapat warisan dari ayah, melainkan dari anggota garis keturunan ibu yang telah meninggal. Akan? tetapi dengan meningkatnya kekyaan, disatu sisi memberikan status yang lebih tinggi kepada laki-laki, disisi lain memberi dorongan untuk mengunakan posisinya untuk menggulingkan pewarisan tradisional lewat garis ibu.
Dalam masyarakat beradab, terdapat (setidaknya) dua kelas sosial yang ; kelas berpunya dan tidak. Kelas berpunya ini memonopoli melalui sistem kepemilikan pribadi yang kuasa pelaksanaannya dibantu oleh aparatus negara. Dalam pengantar buku ini, Evelyn Reed menyebutkan bahwa, (hal: xi) Pembagian kerja pada akhirnya berdampak pada pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas, dan suku-suku digantikan tempatnya oleh negara. (hal.213) Pada dasarnya pembentukan keluarga inilah yang merupakan cikal-bakal lahirnya negara. Yang pada sudut pandang tertentu keluarga bisa dilihat sebagai miniatur negara dan atau masyarakat.
Akan tetapi dengan melulu melihat segalanya secara material, hal-hal simbolik justru tidak tertangkap. Perlawanan-perlawanan simbolik, modal simbolik, dan seterusnya yang memungkinkan untuk menjadi alat perlawanan, terabaikan. Di majalah-majalah seringkali dibahas (atau mungkin beberapa dari sidang pembaca (laki-laki) pernah mengalaminya?) mengenai fake orgasm. Dalam pendapat saya, fake orgasm adalah sebuah alat perlawanan yang dimiliki perempuan. Tidak jelas bagaimana seorang perempuan mengalami orgasme atau tidak jika ia tidak memperlihatkannya. Pun ketika ia mengatakannya, tidak akan pernah jelas apakah itu sebuah kebenaran, karena ia sendiri yang merasakannya. (Dalam konteks hubungan dua orang) hal ini menjadi hubungan yang tidak seimbang meski tidak ternyatakan secara material. Bisa saja perempuan merasa telah laki-laki dengan cara tersebut diatas. Memang penaklukan ini tidak termaterialkan (dalam beberapa kasus). Apakah dengan demikian perselingkuhan bisa dikatakan sebagai kelanjutan ini? Saya kira bisa saja demikian, namun ia tidak menyelesaikan apapun (dalam kasus ini). Demikian juga sebaliknya jika melihat hanya pada tataran simbolik, akan terjebak dengan cara yang naif. Semua hal dilihat sebagai sebuah perlawanan, dan mengabaikan kenyataan-kenyataan material. Yang akhirnya mengarah pada romance of resistance dalam pengertian yang sedikit berbeda dengan Lila Abu-Lughod. Yang saya maksudkan disini bukanlah sebuah perayaan posisi sebagai oposisi yang tidak sempat mendekonstruksi bahwa perlawanan bisa mereproduksi kekuasaan. Tapi, bahwa setiap hal yang terlihat sedikit berbeda dengan anggapan dianggap sebagai sebuah perlawanan. Seperti misalnya perempuan yang merokok di tempat umum, dianggap sebagai perlawanan pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Demikianlah kompleks yang bernama perempuan tidak bisa dijelaskan dengan mudah yang kemudian malah salah langkah dan menggampangkan persoalan-persoalan di dalamnya.
(Sumber: laritelanjang.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar