4 Apr 2011

Tradisi Intelektual Islam

Judul:Tradisi-tradisi Intelektual Islam
Editor: Farhad Daftary
Penerjemah: Fuad Jabali & Udjang Tholib
Penerbit: Erlangga, 2002
Halaman: xvi + 352


Tradisi, dalam dunia yang terus digempur oleh arus deras globalisasi, terasa semakin terseok-seok mencaari posisi dan formasinya yang tepat berhadapan dengan modernitas. Negeri-negeri Dunia Ketiga di belahan Asia, Afrika, dan di Timur Tengah seperti menjejakkan kaki di dua dataran: ketradisionalan dan kemodernan.


Ya, pada satu sisi, kita harus hidup dalam alam pikir dan sikap budaya tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, tapi pada saat yang sama harus pula mengadaptasi semangat kemodernan yang menyusup ke dalam hampir seluruh sendi-sendi kehidupan: sosial, politik, budaya dan ekonomi, yang memang tak terelakkan. Maka, tak aneh jika penyakit-penyakit modernitas seperti ketertinggalan budaya, keterasingan, anomie dan seterusnya, mendera dan menggempur kita. Sebagai muslim, apa yang bisa kita perbuat kemudian?

Islam adalah sebuah peradaban yang kental dengan warisan tradisi. Yang paling utama dari semua bentuk tradisi yang hidup adalah tradisi intelektual. Tradisi ini yang oleh sebagian kalangan dianggap menyumbang lahirnya rasionalisme dan pencerahan di Eropa. Tapi justru ketika Eropa mencapai sinar terang sains, belahan dunia muslim justru stagnan dan dekaden. Apa pasal?

Tradisi-Tradisi Intelektual Islam mencoba mengurai secara cermat, bernas dan mendalam bagaimana tradisi intelektual dalam Islam tumbuh dan mempengaruhi dunia, tapi kemudian juga redup. Sebuah buku yang merupakan kumpulan pemikir-pemikir besar kontemporer yang menaruh minat besar pada Islam dalam berbagai aspek dan variannya.

Dalam buku ini, tradisi intelektual Islam dikaji dari berbagai sisi: sejarah, filsafat, kebudayaan, bahkan tasawuf. Profesor Annemarie Schimmel misalnya, seorang ahli mistisisme Islam dan pengkaji serius pemikiran Mohamad Iqbal, mencoba mengurai kedudukan akal di mata kaum sufi, dalam hal ini Rumi dan Iqbal, yang orientasi religiusitasnya lebih mengedepankan cinta atau eros. Dan ini mengacu langsung kepada hadis Nabi Muhamad SAW ketika beliau ditanya bagaimana bersikap dalam suatu perkara tertentu: “Mintalah fatwa pada hatimu.” Itulah jawaban Sang Nabi.

Muhsin Mahdi, seorang sarjana terkemuka dalam bidang filsafat dan kesusasteraan Islam, mencoba memahami tradisi rasionalisme dalam Islam melalui pemikiran filsuf-filsuf muslim awal, seperti al-Kindi, ar-Razi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan al-Farabi. Tak lupa, ia bandingkan dengan kemunculan rasionalisme di Eropa pada abad 17 dan 18. Menurutnya, tradisi Filsafat Islam yang dominan mencoba mengurangi kemungkinan konflik di antara akal atau pengetahuan rasional dan wahyu-wahyu yang telah diturunkan (hal. 79).

Mahdi pesimis mengenai kemungkinan membentuk masyarakat yang rasional murni. Sebaliknya, ia justru menegaskan: “Satu-satunya jalan di mana masyarakat bisa disatukan, satu-satunya cara di mana orang-orang bisa didorong untuk mencari kebaikan-kebaikan dan menghindari kemunkaran, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan kepentingan-kepentingan rasional mereka, adalah melalui hukum Tuhan, melalui doktrin pahala dan azab di alam baka” (hal. 78).

Mohammed Arkoun, seorang intelektual muslim kontemporer, yang artikelnya “Islam Masa Kini: di antara Tradisi dan Globalisasi” menjadi artikel penutup buku ini, berupaya meneliti secara kritis tiga tema pokok: Islam pada masa kini; tradisi yang hidup yang bermula dari kemunculan fakta Islam antara tahun 610-632 dan 661; serta globalisasi. Dalam membicarakan globalisasi, Arkoun menjadikan buku Benjamin R. Barber, Jihad vs. McWorld: How Globalism and Tribalism are Reshaping the World, sebagai salah satu unit analisis dalam mencari musabab terjadinya terorisme yang hari ini gencar diperangi Amerika dan sekutunya. Sebagai catatan, Arkoun berpendapat bahwa sistem pemikiran yang diuraikan dalam konteks Islam selama fase kemunculan dan periode klasik (661-1258) tertutup rapat dalam ruang kognitif kuno dan zaman pencerahan, atau pramodern. Ini, bisa berarti bahwa wacana jihad yang sekarang berkembang, tidak berakar pada sejarah Islam klasik.

Sebagai buku kumpulan ceramah seminar (‘Tradisi-tradisi Intelektual dalam Islam’ yang diselenggarakan oleh Institut Studi-studi Ismaili di Pusat Mellor, Sekolah Tinggi Churchil, Universitas Cambridge, pada tanggal 14-20 Agustus 1994) tentunya buku ini tidak tertutup bagi kelemahan, terutama ide-ide yang dikemukakan seringkali tidak elaboratif, tidak runut, dan melompat-lompat. Konsep-konsep kunci yang tidak sempat terjelaskan cukup membuat bingung pembaca awam. Juga, kerap sebuah pendapat atau statemen tidak ditopang oleh argumen yang terang hingga terkesan kabur.

Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, buku ini layak dimiliki untuk memperkaya wawasan kita mengenai tradisi intelektual dalam Islam yang mengakar panjang dalam sejarah dan cukup membuat kita terlena pada suatu masa tertentu.

beli buku klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar