21 Mar 2011

Pada Suatu Hari, Karya: Arifin C Noer

Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri

SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:
1. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek dan Nenek duduk berhadapan.
Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..
TIGA
Kakek : Sekarang jkau nyanyi.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Seperti dulu.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Nyanyi seperti dulu.
Nenek : Malu
Kakek : Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek : Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek : Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek : Saya tidak mau menyanyi.
Kakek : Kapanpun?
Nenek : Kapanpun.
Kakek : Juga untuk saya.
Nenek : Juga untuk kau.
Kakek : Sama sekali?
Nenek : Sama sekali.
Kakek : Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau menyanyi.
Nenek : Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak ada gunanya. Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek : Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah saya. Tetapi kalau ejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek : Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek : Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek : Tentu, tentu.
Kakek : Kau mau menyanyi.
Nenek : Tentu, sayang, tentu.
Kakek : Kapan?
Nenek : Suatu ketika.
Kakek : Sebelum saya mati?
Nenek : Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek : Sekarang.
Nenek : Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa hari yang lalu?
Kakek : (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek : Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya sakit.
Kakek : Kau melebih-lebihkan.
Nenek : Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau tahu.
Kakek : Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui. Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek : Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek : Maaf, tidak lagi.
Nenek : Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek : Apa?
Nenek : Kau harus menyanyi.
Kakek menggelengkan kepalanya.
Nenek : Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek : Dan sorga saya…?
Nenek : Mungkin, tertutup.
Kakek : Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya batuk.
Nenek : Tidak. Satu lagu.
Kakek : Nanti batuk.
Nenek : Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek : Satu lagu?
Nenek : Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
Kemudian kakek menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir nenek bertepuk tangan dengan semangat.
Nenek : Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek : Mna album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek : Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek : Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek : Habis pandangan kau nakal.
Kakek : Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek : Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek : Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

EMPAT
Pesuruh : Ada tamu, nyonya besar.
Nenek : Siapa?
Pesuruh : Nyonya Wenas, nyonya.
Nenek : (Melirik pada Kakek) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke depan.
Pesuruh exit.
Nenek : Kau surati dia?
Kakek : Tidak.
Nenek : Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek : Saya tidak tahu.
Nenek : Kau bohong (Exit) Cemam saya mulai kambuh.

LIMA
Kakek : Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
Kemudian kakek mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek : Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih baik saya menyingkir ke ruang baca. (Exit)


ENAM
Nenek : Kai sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran kenapa nyonya tidak datang kemudian.
Janda : Kami sakit.
Nenek : Kami? Maksud nyonya….
Janda : Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga ikut sakit. Saya agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak parah sakitnya.
Nenek : Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini. Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)

TUJUH
Sambil mengamati ruangan tengah itu nyonya Wenas membenahi dirinya.
Janda : Terlaknat saya, kenapa saya jadi gemetar?
DELAPAN
Pesuruh muncul membawa minuman, ketika pesuruh itu akan pergi,
Janda : Nanti dulu.
Pesuruh : Ya, nyonya.
Janda : Siapa yang memilih minuman ini?
Pesuruh : Saya sendiri, nyonya, kenapa?
Janda : Ini memang kesukaan saya.
Pesuruh : Menyenangkan sekali. silahkan minum, nyonya.
Janda : (Minum) Segar bukan main. Bagaimana kau tahu saya suka minuman ini?
Pesuruh : Tuan besar sering menceritakan perihal nyonya kepada saya. Dan ketika saya tahu nyonya datang, segera saya buatkan minuman itu. Selamat minum nyonya.
Janda : Nanti dulu.
Pesuruh : Ya, nyonya?
Janda : Tuan besar masih suka…
Pesuruh : Menyirami kaktus?
Janda : Ya?
Pesuruh : Tidak, nonya, tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap pagi dan sore. Memang tengah malam seringkali diam-diam ia menyirami kaktus yang ditaruh di dalam kakus. Maaf nyonya, saya harus ke dalam.

SEMBILAN
Nenek : Selamat datan, nyonya.
Janda : Selamat atas….
Kakek : Terima kasih. Maaf , nyonya Tampubolon?
Nenek : Kau pelupa benar.
Kakek : Siapa bilang, Nyonya pasti nyonya Mangandaralam.
Nenek : Sayang, ini nyonya Wenas.
Kakek : Ya, saya maksud nyonya Wnas. Apa kabar suami nyonya?
Nenek : Maaf, Nyonya. Sayang, tuan Wenas telah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Kakek : Maafkan kau benar sayang. Daya ingat saya jelek sekali. maafkan nyonya.
Janda : Tidak apa.
Nenek : (Berseru) Joni.!
Pesuruh : Ya, nyonya.
Nenek : Bawa minuman ini ke dalam.
Pesuruh membawa minuman tadi ke dalam.
Kakek : Baik-baik nyonya?
Janda : Berkat doa tuan dan nyonya. Tuan sendiri?
Kakek : Berkat doa nyonya.
Nenek : Nyonya suka minum jeruk?
Janda : Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling uka.
Kakek : Saya sendiritidak begitu, tapi……..
Nenek : Kita berdua minum jeruk saja. Kita flue (Berseru) Joni!
Pesuruh : Ya, nyonya.
Nenek : Bikin es susu dan dua gelas jeruk panas.
Pesuruh : Dua es susu dan satu gelas jeruk panas, maksud nyonya?
Nenek : Dua es jeruk satu susu panas.
Kakek : Bagaimana anak-anak nyonya?
Nenek : Sayang, Nyonya dan tuan Wenas tidak diberkahi putera. Kenapa kau bertanya begitu?
Kakek : Maaf, saya lupa. Maksud saya apa tujuan nyonya datang kemari?
Nenek : Maafkan suami saya, Nyonya. Kadangkala dia amat kaar, tapi sebenarnya dia lelaki yang amat lembut.
Janda : Betul, nyonya. Onda adalah lelaki yang amat lembut, malah sangat amat lembut. Onda selalu cermat dalam memilih kata-kata dan juga saya kira ia tidak pernah memakai tanda seru selama hidupnya.
Kakek : Kita minum apa? Nyonya suka….
Nenek : Onda, kita baru saja memesan minuman (menyeret) Tingkahmu berlebihan sehingga memuakkan.
Kakek : kausendiri yang menyuruh agar saya berlaku pura-pura tidak kenal kepada nyonya itu.
Nenek : Ya, tapi kau berlebihan. Kau kurang wajar.
Kakek : Susah. Kalau saya wajar kau marah. Kalau saya berlebihan kau juga marah. Kalau saya jumput di perpustakaan kau juga marah. Saya tidak tahu bagaimana supaya kau tidak marah dan saya tidak mau marah agar kau tidak marah.
Nenek : Pendeknya berlakulah sedikit agak sopan.
Kakek : Saya coba.
Nenek : Kendorkan urat wajahmu.
Sementara itu pesuruh telah menyajikan minuman di atas meja dan baru saja akan melangkah pergi.
Kakek : Udara sangat baik akhir-akhir ini, di rumah nyonya sering turun hujan?
Janda : Ya, terutama belakangan ini.
Nenek : Memang musim hujan.
JAnda : Dan terutama kalau sore.
Kakek : Seperti di rumah kita, tidak begitu, sayang?
Nenek : Tentu saja. Kalau di rumah nyonya Wenas jatuh hujan di rumah kitapun turun hujan, sebab nyonya dan kita satu kota, bahkan satu wilayah kecamatan.
Kakek : memang satu kota, satu kecamatan. Tidak begitu nyonya eh, siapa? O ya nyonya Wenas? Tidak begitu?
Janda : Ya, kita satu kota.
Kakek : Mari kita minum, satu kota mari.
Nenek : Silahkan, nyonya.
Kakek : (Stelah minum) Alangkah hangat es jeruk ini.
Nenek : Ya, silahkan, nyonya. Nyonya tidak suka?
Janda : (Menjerit) Alangkah sejuknya. Terima kasih.
Kakek : Sejak kapan nyonya suka es susu yang panas?
Janda : Sejak, sejak kemarin. Ya, kemarin.
Kakek : Kami sendiri menyukai wedang jeruk yang sejuk baru saja. Tidak begitu sayang?
Nenek : Ya.
Janda : Terus terang saya sangat kagum pada nyonya. Saya tidak pernah melihat nyonya bertambah tua.
Nenek : Nyonya berlebihan.
Janda : Saya sungguh-sungguh, nyonya.
Nenek : Kalau begitu saypun berterus terang. Nyonya semakin tua semakin cantik.
Kakek : Memang (Nenek melotot). Maksud saya, maksud saya ketuaan itu hanya timbul apabila kita merasa tua. Adapun tua itu sendiri hanya hasil dari suatu penjabaran, hanya sayangnya penjabaran tersebut dilakukan oleh waktu, sehingga menyebabkan kurang enak kita terima konsekwensinya.
Nenek : Saya kira tidak begitu. Tua adalah konsekwensi dari kesadaran kita.
Kakek : Ya, kalau saja kita punya matematika, kita tidak akan pernah tua. Juga kalau saja kita tidak punya jam kita tidak akan pernah tua.
Janda : Tapi kita punya matahari.
Nenek : Itu susahnya.
Kakek : Takdir. Sekarang mari kita minum seakan kita tidak punya matahari.
Janda : Alangkah sejuknyausu pana ini.
Kakek : Alangkah panasnya es jeruk ini. Tidak begitu, sayang?
Nenek : Ya.
Janda : Tapi kalau kita tidak punya matahari kitapun tak akan pernah punya bulan.
Nenek : Juga kita tidak akan punya iang hari dan rematik kau akan lebih parah lagi.
Janda : Kita tidak akan punya siang dan punya malam.
Kakek : Kalau begitu?
Nenek : Lebih baik punya matahari daripada sama sekali tak punya apa-apa.
Kakek : Ya, dan itu berarti tuapun merupakan rahmat.
Janda : Tidak, bukan rahmat tapi “apa boleh buat”
Kakek : Apa boleh buat mari kita minum lagi.
Mereka minum dan omong seperti tadi.
Janda : Tua dan tidak tua tetap saja ama, kaktus, misalnya.
Nenek : Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun.
Kakek : Saya jadi ingat Old Shatterhand dengan Winnetou, bagaimana keduanya merangkak di atas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau musuh, atau bagaimana mereka mendengarkan bentak-bentakan kaki kuda musuh dari jarak ber-mil-mil. Kaktus-kaktus liar banyak bertumbuhan di Amerika.
Janda : Indahnya.
Nenek : Apa tidak indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan selalu diliputi senja?
Kakek : Saya kira lebih indah, juga lebih bermanfaat. Kita bahkan bisa berteduh di bawah cahaya kuning merahnya.
Janda : Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang seerhana.
Nenek : Kaktus memang selalu kesepian.
Janda : Memang ia kurang dihiraukan orang.
Nenek : Lantaran berbahaya.
Kakek : Bagaimana kalau kita beralih kepada bunga bank saja. Ini lebih langsung menyangkut kepentingan ekonomi kita.
Janda : Sayang sekali kita telah sepakat menerima kehadiran matahari, sehingga saya kini telah ditegurnya. Sudah cukup lama.
Janda : ………Saya di jamu di sini. Saya minta diri sekali lagi saya mengucapkan selamat ata perkawinan emas tuan dan nyonya.
Sayang sekali dia sedang sakit: saya harus segera pulang.
Nenek : Terima kasih banyak ata kunjungan nyonya.
Kakek : Terima kasih banyak. Salam pada suami nyonya.
Janda : Terima kasih (Sambil pergi) Bisonku.

SEPULUH
Perang bisu meletus antara kakek dan nenek.

SEBELAS
Kakek : Kenapa kau diam begitu?
Nenek diam saja.
Kakek : Kenapa kau begitu diam?
Nenek : Kau juga begitu.
Kakek : Kenapa?
Nenek : Kau juga kenapa?
Kakek : Sayang, adalah tidak baik kita bubuhi pesta emas dengan kata-kata seru.
Nenek : Kau sendiri yang membubuhinya. Kau rusak bunga-bunga pesta kita dengan kaktus-kaktu pacar kau.
Kakek : Sejak muda kau begitu yakin seakan saya pernah punya hubungan percintaan dengan perempuan tadi. Saya heran kenapa kau begitu berhasil menciptakan tokoh yang fantatis itu menjadi tokoh yang seolah nyata dalam diri kau sehingga tokoh itu mampu mempermainkan kau sendiri selama hidup kau.
Nenek : Bukan fantastis. Tapi memang dia tokoh fantasi kau bahkan sampai saat kau tua (Menangis) Sengaja kau suruh Joni menyiapkan segera minuman kesukaannya begitu dia datang.
Kakek : Siapa? Saya? Menyuruh Joni? Minuman apa?
Nenek : Kau menyuruh Joni membuat es susu begitu nyonya janda itu datang.
Kakek : Tidak. Saya tidak menyuruh Joni.
Nenek : Kau lakukan itu ketika saya sedang menemui dia tadi ketika kau menyingkir dari dari sini tadi dan kemudian kau sembunyi ke kamar baca.
Kakek : Tidak, sayang, dari sini tadi saya langsung ke kamar baca dan kemudian saya asyik membaca mengenai para psikologi. Ketika kau datang tepat saya sampai pada baris-baris mengenai telepati. Saya ingat betul.
Nenek : Kau bohong.
Kakek : Kalau tidak percaya kau boleh memanggil Joni (Berseru) J o n i !

DUA BELAS
Pesuruh : Ya, tuan besar.
Kakek : Siapa yang menyuruh…..
Nenek : Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh : Ya, nyonya besar.
Kakek : Siapa yang menyuru…..
Nenek : Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh : Ya, nyonya besar.
Nenek : Sejak tadi pagi sudah berapa kali kau berbohong?
Pesuruh : Belum sekalipun nyonya.
Nenek : Akui saja toh tidak akan mengurangi penghasilanmu.
Pesuruh : Terus terang sudah dua kali, nyonya.
Nenek : Nah, begitu lebih jantan. Apa saja?
Pesuruh : Pertama kepada istri saya.
Nenek : Itu tidak perlu, yang kedua?
Pesuruh : Yang kedua kepada istri saya.
Nenek : Jadi kau selalu berdusta kepada istrimu sendiri?
Pesuruh : Tidak selalu, nyonya. Kadang kala, tetapi tidak pernah lebih tiga kali sehari.
Nenek : Kenapa kau lakukan itu?
Pesuruh : Karena saya percaya istri sayapun melakukan hal yang sama.
Nenek : Mengenai hal apa saja kau berbohong?
Pesuruh : hampir segala hal dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Nenek : Yang paling ringan misalnya?
Pesuruh : Pura-pura sakit.
Nenek : Yang paling berat?
Pesuruh : Soal sembahyang.
Nenek : Tentang perempuan?
Pesuruh : Itu taraf tengah-tengah, nyonya.
Nenek : Bagaimana?
Pesuruh : Saya kira pertanyaan ini sudah bersifat sangat amat pribadi, nyonya dan kurang sopan.
Nenek : Kau memang jago silat. Baik. Sekarang kau akui saja siapa yang menyuruh kau menyiapkan tiga gelas e susu begitu tamu tadi datang?
Pesuruh : Saya sendiri nyonya.
Nenek : Kenapa justru es susu?
Pesuruh : Saya tidak tahu. Saya asal saja. Nyonya, seperti halnya untuk tamu sebelumnya saya buatkan es sirop dan nyonya diam saja.
S u n y i .
Pesuruh : Ada yang perlu saya kerjakan lagi, nyonya besar?
Nenek : Pergi !
Joni exit.

TIGA BELAS
S u n y i .
Nenek : Berkomplot.
Kakek : Tidak baik mengada-ada.
Nenek : Bahkan kau diam-diam memelihara kaktus dalam kakus.
Kakek : Tidak melulu kaktus tapi beberapa jenis bunga lainnya, juga……
Nenek tiba-tiba menangis sangat kerasnya.
Kakek : Diamlah, sayang. Kalau kau diam saya akan menyanyi lagi. Diamlah. Saya akan menyanyi dua buah lagu sekaligus. Sayang diamlah. Lagi jangan terlalu keras kau menangis nanti kau batuk kalau batuk tenggorokan bisa luka dan suara bisa serak.
Selain itu apa kata anak-anak nanti kalau mereka datang. Sayang. Atau kau mau saya membaca kitab suci? Dongeng? Saya akan membaca bagaimana nabi Nuh melayani singa betina yang bunting, sementara seekor kera sakit enfluensa.
Nenek : Biarpun kau dukung saya dari sini ke kamar saya tidak akan diam.
Kakek : Baiklah, saya tidak akan berbuat apa-apa tapi kau mau diam.
Nenek : Kalau kau tidak berbuat apa-apa saya akan menangis lebih keras lagi.
Kakek : Tuhanku,kepala saya Cuma satu dan puyeng. Kalau saja saya punya tiga kepala barangkali saya tahu apa yang harus saya perbuat agar kau diam. Tapi kepala saya Cuma stud an tangis kau memenuhi kepala saya dengan sejuta lalat hijau. Tuhan-ku.
Nenek : Saya akan terus menangis. Biar geledek menyambar saya tetap menangis.
Kakek : Katakan bidadariku apa yang……..
Nenek : Saya bukan bidadari.
Kakek : Katakan malaikat ku.
Nenek : Saya bukan malaikat!
Kakek : Katakan dewiku………..
Nenek : Saya bukan dewi.
Kakek : Terserah siapa kau tapi katakana………..
Nenek : Saya istrimu!
Kakek : Ya, katakana istriku apa yang……..
Nenek : Saya bukan istrimu!
Kakek : Tuhan-ku.
Nenek : Kau kejam. Kau bagaikan patung perunggu dengan hati terbuat dari timah. Kau tidak punya perasaan. Kau nodai percintaan kita dengan perempuan berhati kaktus. Hatimu ular cobra. Kejam! Kejam! Tuhan, masukkan dia ke dalam neraka sampai kukunya hangus.
Kakek : (Menangis) Doamu jahat.
Nenek : Biar
Kakek : Kau ingin saya masuk neraka?
Nenek : Bukan. Kerak neraka. Neraka paling neraka.
Kakek : Kau kejam dank au sendiri?
Nenek : Ke sorga.
Kakek : Kau egoistis.
Nenek : Biar.
Kakek : Kenapa kita tidak sama-sama satu tempat?
Nenek : Tidak sudi.
Kakek : Kau rupanya ingin kita pisah.
Nenek : Ya, saya ingin kita pisah tapi kau tidak mengerti.
Nenek : ………..Saya ingin kita cerai.
Kakek : Cerai?
Nenek : Ya, cerai. Hari ini juga kita ke pengadilan. Kita cerai.
Kakek : Sayang, kau harus panjang berfikir untuk sampai ke sana.
Nenek : Kalau saya panjang fakir saya takut kita nanti tidak jadi cerai.
Kakek : Tapi kau harus berfikir…..
Nenek : Dalam soal perceraian tidak perlu fikiran tapi perasaan seperti halnya soal percintaan. Pokoknya kita harus cerai.
Hari ini juga kita harus selesaikan surat-suratnya.
Kakek : Sekarang sudah terlalu siang dan saya kira kantor-kantor………
Nenek : Kalau kantor-kantor tutup besokpun jadi, tapi mulai malam ini saya tidak sudi tidur satu kamar bersama kau.
Kau boleh tidur di kamar baca di ata kitab-kitabmu bersama rayap-rayapnya.
Suara Nita : B u s t a m i
Suara Joni : Ya, nyonya!
Kakek : Kau dengar? Nita sudah datang.
Joni lewat.
Kakek : Sayang diamlah.
Nenek : Saya tidak mau diam.
Kakek : Nita datang.
Nenek : Tidak perduli.
Joni lewat membawa banyak bungkusan belanja, begitu muncul Nita begitu nenek lari ke dalam.

EMPAT BELAS
Kakek : (Mengejar) Sayang.
Nita : Ada apa lagi, pak?
Kakek : Kaktus dalam kakus (Exit)
Nita : Bustam.
Joni : Ya, Nyonya.
Nita : Ibu dan bapak bertengkar?
Joni : Tudak tahu, nyonya, tapi saya dengar mereka tangis tangisan.

LIMA BELAS
Ketika Nita dan kemudian Joni exit, muncul Sopir Arba membawa beberapa kopar dan tas meletakkan di sana, tidak lama kemudian muncul Novia dengan anak-anaknya, Meli dan Feri.
Arba : Di sini, nyonya?
Novia : Ya, letakkan saja di sini dulu.
Arba : Yang lainnya, nya?
Novia : Biarkan saja di mobil, kau tunggulah disana.
Meli : Papa nanti ke sini, Mam?
Novia : Ya, sayang (berseru) Pak Arba!
Arba : Ya, nyonya?
Novia : Tidak, nanti saja.
Arba : Baik, nyonya (exit)
Feri : Mana bude Ita, Mam?
Novia : Sebentar, sayang.
Feri : Feri ingin lihat ikan, Mam?
Novia : Sebentar, sayang, sebentar.
Meli : Meli juga, Mam.
Novia : Ya, sayang Meli dan Feri boleh lihat ikan dengan janji tidak main-main air. Nanti ikannya sakit. Kalau ikannya sakit nanti kakek dan nenek menangis.
Feri : Nenek juga suka menangis, Mam?

ENAM BELAS
Muncul Nita dan terkejut.
Nita : (Setelah memainkan Meli dan Feri) Ada apa lagi Novia?
Novia : Nanti saya ceritakan semuanya. Mana Memet?
Nita : Bustam!
Joni : Ya, nyonya.
Novia : Memet!
Nita : Ya, nyonya.
Novia : Bawa masuk Meli dan Feri (pada anak-anaknya) Siapa yang mau lihat ikan?
Meli dan Feri mengacungkan tangannya: Saya Mam.
Novia : Ikutlah sama Mang Memet.
Joni : Ayo lita nonton ikan.
Joni dan Meli dan Feri masuk ke dalam.

TUJUH BELAS
Nita : Lagu lama?
Novia : Tapi kali ini saya kira yang terakhir.
Nita : Dulu kau juga bilang begitu.
Novia : Tapi, Nita, kau sendiri bisa menimbang bagaimana sakitnya perasaan saya melihat tingkah Vita terhadap pasiennya yang pura-pura sakit itu.
Nita : Siapa lagi?
Novia : Icih, anak sunda itu, pacarnya waktu sekolah.
Nita : Tapi kalau memang dia sakit apa salahnya berobat kepada suamimu?
Novia : Saya yakin dia hanya pura-pura sakit.

DELAPAN BELAS
Kakek : Begitu Nita. Kau harus dengar dari permulaan sekali soal ibumu……
Novia : Pak…..
Kakek : Ada apa kau? Baru kemarin kau pulang dari sini? Dengan siapa?
Novia : Anak-anak.
Kakek : Mana mereka?
Novia : Di belakang. Lihat ikan seperti biasanya.
Kakek : (Setelah berfikir) Kebetulan kau datang. Begini. Tidak salah kalau kau juga sebagai anak tahu. Ini persoalan juga sangat runcing dan bisa mengakibatkan kesedihan berlarut-larut.
Novia : Soal apa pak?
Nita : Ibu Purih. Ibu marah.
Novia : Kenapa?
Kakek : Itulah dengarkan saya (berfikir). Begini. Soalnya sepele dan tidak bermutu. Ibumu tidak suka tanaman kaktus. Saya suka tanaman itu. Bahkan saya punya tanaman kaktus dalam kakus. Ibumu marah-marah.
Novia : Bapak tidak maumengalah?
Kakek : Selama hidup saya selalu mengalah dan terus-terusan kalah malah.
Novia : Buang saja kaktus itu.
Nita : Soalnya bukan kaktus. Soalnya itu cemburu pada nyonya Enas.
Kakek : Ya, begitulah kalau tanpa tedeng aling-aling. Ibumu cemburu dan minta cerai.
Novia : Minta cerai?
Kakek : Minta cerai. Bahkan ibumu minta supaya hari ini juga diselesaikan surat-suratnya.
Novia : Ibu?
Nita : Ya, seperti kau sekarang.
Kakek : Apa? Seperti kau, Novia? Ada apa? Kau juga sedang minta cerai? Dari siapa?
Nita : Dari siapa. Dari suaminya tentu, Vita.
Kakek : Kau dan ibumu memang satu jiwa. Alasan apa yang mendorong kau meminta kesedihan serupa itu? Kebodohan macam apa yang mengotori otakmu? Cerai! Seakan dengan mendapatkan kata itu kau dapat mengecap hidup inilebih nikmat? Novia, kau jangan seperti gadis ingusan. Kamu kira rumah tangga itu rumah-rumahan dari kotak geretan yang dengan mudah dapat kau bongkar-bongkar dank au susun-susun? Novia, kau sudah waktunya menginsafi bahwa rumah tangga adalah rumah suci yang lain, seperti masjid, gereja dan kelenteng. Dan rumah suci adalah tempat dimana firman-firman Tuhan yang agung dan suci dimulyakan, rumah suci adalah tempat dimana cinta kasih ditumbuh-kembangkan menjadi gairah hidup, untuk meraih maka hidup yang samara dalam semesta ini.
Tuhanku……………….
Novia, alasan picisan apa yang menjadikan kau begitu gairah mendapatkan surat talak? Jangan main-main. Ini bukan lagi semata persolan kau, juga bukan persoalan suamimu semata, tetapi persoalan anak-anakmu yang masih kecil (Menangis) Meli, Feri…. Ini sudah menjadi persolan Negara, persoalan dunia, saya tidak boelh membiarkan rumahmu terbakar hanya disebabkan api mainan yang diminyaki cemburu buta. Saya harus beritahu segera ibumu. (Exit)

SEMBILAN BELAS
Nita : Novia, apakah kau tidak pernah memperhatikan baik-baik betapa jernih mata anak-anakmu yang lucu itu. Meli dan Feri.
Novia : Tapi kau juga bisa menimbang betapa sakitnya hati saya. Coba saja, icih. Si sundal itu hampir setiap hari ia berobat ke rumah.
Nita : Tiap hari?
Novia : Tidak. Maksud saya hampir seminggu sekali.
Nita : Seminggu sekali?
Novia : Katakanlah sebulan sekali tapi sekalipun begitu tingkahnya yang kekanak-kanakan cukup membakar seluruh amarah saya.
Nita : Bagaimana kau tahu? Apa kau ikut memeriksa penyakitnya?
Novia : Saya terpaksa jadi polisi kalau tahu perempuan itu mau berobat. Sengaja saya masuk dalam kamar praktek. Pura-pura mencari sesuatu.
Nita : Kau juga dengan apa yang dipercakapkan Icih dengan suamimu?
Novia : Dengar.
Nita : Apa?
Novia : Seperti dokter dan pasien.
Nita : Lalu apa yang kau cemburukan?
Novia : (Setelah diam) Kalau periksa dalam.
Nita : Kenapa kau tidak ikut ke dalam dan menyaksikan Vita memeriksa tubuh perempuan itu.
Novia : Gila.
Nita : Lalu kau di luar saja.
Novia : Tentu saja.
Nita : Itulah kesalahanmu.
Novia : Lalu apa saya perlu juga membuka kancing roknya? Gila!
Nita : Daripada kau di luar dan membayang-bayangkan yang tidak-tidak?
Novia : Saya tidak membayang-bayangkan tapi memastikan.
Nita : Tapi nanti dulu. Coba jelaskan. Jujur. Icih sudah bersuami?
Novia : Ini bukan masalah bersuami atau belum tapi masalah watak. Sekalipun perempuan jalang itu sudah mati saya yakin rohnya masih banal.
Nita : Betul-betul kau diliputi kemarahan saja. Cobalah berfikir dengan tenang. Sebegitu banyak sudah kata yang kau ucapkan tapi tidak sepatahpun kata yang dapat menjelaskan kenapa kau minta cerai dari suamimu. Kalau kau mau jujr sebenarnya kau hanya digerakkan oleh prasngka-praangkamu sendiri saja. Coba. Kalau kau bisa cemburu oleh Icih kenapa oleh puluhan perempuan-perempuan lain atau bahkan gadis-gadis yang juga berobat kepada suamimu?
Novia : Apa kau kira semua perempuan banal seperti sundal itu? Kalau ternyata memang demikian sayapun pasti cemburu sebesar-besarnya terhadap semua perempuan. Tapi saya kira kaupun yakin tidak semua perempuan punya leher selenggang-lenggok leher Icih yang suka membelit leher suami orang lain.

DUA PULUH
Muncul Nenek dan Kakek.
Nenek : (Menubruk Novia sambil menangis) Novia, sayang, kau jangan suka membaca roman-roman picisan. Kau bisa bayangkan sendiri apa jadinya isi kepalamu dengan roman-roman seperti itu. Dengan membaca cerita-cerita cengeng seperti itu kau sama dengan mengisi usus besarmu dengan minuman keras. Sekali-kali tentu kau boleh, tapi kalau setiap hari kau minum arak sama dengan memperpendek usiamu sendiri.
Nenek : ………….Novia, ibu yakin kau telah terpengaruh roman-roman sampah itu sehingga hidup bagimu tak ubahnya seperti mainan peraan belaka. Bacalah Romeo Juliet. Bacalah tentang kesetiaan cinta, dan singkirkan bacaan yang mengajarkan kebencian dan perceraian. Kau kira perceraian itu jalan cuci?
Kakek : Kau kira kau akan menjadi betina yang jantan kalau kau berhasil bercerai dengan suamimu?
Nenek : Jangan kau sangka perasaanmu dan kecemburuanmu akan menuntun hidupmu kea rah kebahagiaan.
Nita : Juga jangan lupakan Meli dan Feri.
Kakek : Hanya karena soal cemburu, soal-soal roman picisan rumah tangga kau bongkar? Kenapa tidak kandang ayam saja yang kau bongkar yang sudah jelas sudah tapuh itu?
Nenek : Novia, sayang, tidak satupun kebaikan yang terselip dalam niatmu untuk bercerai dari suamimu. Lagi tidakkah kau dapat membayangkan kembali kebaikan-kebaikan suamimu seperti katamu dulu, ketika kau mendesak ibu agar menerima lamaran? (novia akan bicara) tidak perlu kau bicara apa-apa.
Kakek : Ya, tidak perlu sebab, kata-kata seru saja yang kau punya sekarang.
Nenek : Kau dalam keadaan marah. Dalam keadaan marah lebih baik orang diam, dan lebih baiklagi kalau kau mau mendengarkan sayan orang lain.
Kakek : Ya, saya kira begitu. Ibumu sebenarnya juga sedang marah tetapi tak sepatahpun kata kata yang diucapkan.
Nenek : Ban ini, kopor-kopor iniapa perlu artinya? Main-main kau sudah keterlaluan.
Novia : Saya tidak main-main, bu, saya sungguh-sungguh.
Nenek : Lebih jelek lagi (menangis lagi) Tuhanku, apa jadinya nanti kalau kau jadi berpisah dengan Vita yang dulu kau agung-agungkan? Apa jadinya hidupmu?
Nita : apa jadinya anak-anakmu? Meli dan Feri akan kehausan cinta sebab mereka tidak akan lengkap menerima keutuhan cinta.
Nenek : Fikirkan baik-baik, sayangku. Singkirkan kegelapan yang dibenihkan setan cemburu.
Kakek : Apa kira surat talak itu cek?
Nenek : Tuhanku, limpahilah anak saya dengan cahaya kasih Mu. Novia, tidakkah kau bisa menimba pelajaran dari pengalaman-pengalaman ibu dan ayahmu?
Kakek : Ayah dan ibumu berumah tangga selama setengah abad, tanpa sedikitpun membiarkan setan talak bertelur dalam kamar tidurnya, bahkan tidak dalam dapurnya.
Nenek : Kami bagaikan Adam dan Hawa.
Kakek : Apa kau pernah mendengar Hawa minta talak kepada Adam? Berkacalah kepada ibu dan Ayhmu. Kamilah pasangan abadi dunia dan akhirat.
Nenek : Kami bagaikan Sam Pek dan Eng Tay.
Kakek : Pronocitro dan Roro Mendut.
Nenek : Di sahara kami adalah Leila dan Qais.
Kakek : Kau sendiri tahu betapa setianya Layonsari sampai-sampai ia bunuh diri demi cintanya kepada Jayaprana.
Nenek : Bacalah semua itu, sayang. SEmua itu pusaka nenek moyang kita yang manjur.
Kakek : Demi menegakkan tiang-tiang rumah tangga kita, berfikir dengan tenang.
Nita : Dan demi kebahagiaan anak kita. Adikku, kau begitu bahagia dengan Meli dan Feri dan papanya Vita kenapa kau sebodoh itu mau memuaskan kebahagiaan itu? Tidakkah kau tahu bahwa diam-diam saya sebagai kakakmu selalu merasa iri karena saya dan suami saya tidak pernah diberkahi anak?
Nenek : Belum. Nita.
Kakek : Kau tidak boleh berkata begitu.
Novia : Tapi bu.
Nenek : Tidak, jangan bicara.
Kakek : Sekarang kau tidak akan bicara kecualimarah-marah.
Nenek : Marah-marah hanya menghasilkan kerut muka.
Kakek : Ibumu juga tidak suka marah.
Nenek : Sekali-kali tentu saja boleh sekedar olah raga urat muka, tapi kalau terlalu sering bisa membuatpenyakit.
Nita : Dan anak-anakmu, Novia, anak-anakmu? Akan kau biarkan mereka kehausan cinta hanya demi kepuaan amarahmu? Egoistis?
Novia : Saya tidak akan bicara apa-apa, saya hanya akan menjelakan panjang lebar. Duduk perkaranya.
Nenek : Bicaralah.
Kakek : Apa persoalannya.
Nita : Sudahlah, kita semua sudah mengerti.
Nenek : Biarlah dia jelakan semua, Nita.
Kakek : Bagaimana kita bisa mengerti tanpa lebih dulu mendengar penjelasannya?
Novia : Vita mau kawin lagi.
Nita : Apa kau bilang?
Kakek : Dia bilang apa?
Nenek : Apa kau yakin itu kalimatmu? Saya yakin kalimat itu kau pungut dari salah satu buku picisanmu (berseru) Joni! (tak ada sahutan)
Nita : Bustam !
Novia : Memet !
Kakek : Joni!
Joni : Ya, tuan besar.
Nita : Air dingin, Bustam!
Novia : Cepat, Met!
Joni : Sebentar, nyonya.
Nita : permainanmu terlalu kasar, Novia, kalau kau teruskan ibu bisa pingsan.
Novia : Maksud saya, maksud saya, Vita serong.
Nenek : Dari halaman berapa kau pungut kalimat itu? (berseru) Joni!
Novia : Met !
Kakek : Joni !
Nita : Bus !
Joni tergesa membawa empat gelas air dingin, mereka berempat sama-sama minum.
Nita : Ganti kalimatmu, Novia.
Kakek : Ya, kalau kau tidak ingin perut kamu kembung oleh air dingin.
Nenek : Cari halaman lain yang lebih lembut kata-katanya.
Novia : Ibu, saya cemburu.
Nenek : Nah, itu baik. Cemburu itu suci. Hanya dengan modal itu kaumampu bercinta.
Novia : Tapi vita keterlaluan.
Kakek : Barangkali cemburu kau yang keterlaluan.
Nita : Novia, cemburu pada salah seorang pasien Vita.
Nenek : Novia, rupanya kau beluim menyadari bahwa usapan tangan seorang dokter lembut dan suci seperti lembut usapan orang-orang suci atau bahkan nabi. Dokter-dokter bekerja atas tugas suci. Merekalah yang paling nyata mengamalkan firman-firman Tuhan. Kalau kau mau mengerti para dokterlah yang paling banyak tahu tentang penderitaan manusia sepanjang sejarahnya. Merekalah yang berjuang dengan nyata agar kita bisa mengecap hidup ini bertambah baik.
Kakek : Merekalah menghibur kita, menyembuhkan kita dari segala macam luka yang ditatahkan sang kala.
Nenek : Saya jadi terharu.
Kakek : Kasihan Vita.
Nenek : Anak sebaik itu dicurigai.
Kakek : Seperti nabi-nabi yang diludahi oleh umatnya sendiri.
Nenek : Kau kejam, Novia Abujahal kau.
Kakek : Judas kau.
Dengan pucat dan tergesa Joni muncul.
Nita : Ada apa, Bus?
Nenek : Ada apa, Joni?
Novia : Ada apa, Met?
Joni : Meli, nya.
Keempatnya : Meli?
Joni : Feri.
Keempatnya : Feri?
Joni : Meli dan Feri ?
Keempatnya : Meli dan Feri?
Joni : Ya, nya.
Keempatnya : Kenapa?
Joni : Hilang.
Keempatnya : Apa?
Joni : Hilang.
Keempatnya : Diculik ?
Joni : Hilang.
Novia : Kau gila.
Nita : Kau taruh dimana mereka?
Kakek : Beberapa kali saya bilang, hati-hati.
Nenek : Dunia penuh culik.
Nita : Kenapa kau bengong begitu?
Keempatnya : Cari.
Nita : tidak telpon dulu.
Kakek : Polisi.
Kemudian mereka berimprovisasi, mereka betul-betul cema, takut dan lain-lain.
Nita : Meli ! Feri ! Di mana.
Kakek : Cucuku.
Nenek : Cucuku.
Novia : Met !
Joni : Ya, nya.
Novia : Panggil Arba.
Arba : saya di sini, nya.
Novia : Kenapa kau diam saja?
Arba : Saya di sini, nya.
Novia : Meli dan Feri hilang.
Arba : Mereka diculik, nya.
Novia : diculik?
Arba : Papanya sendiri yang menculik, kira-kira seperempat jam yang lalu tuan dokter tadi menemui saya dan diam-diam mengajak Meli dan Feri pulang.
Novia : Gila kamu.
Kakek dan Nenek dan Nita muncul.
Nenek : Di mana mereka?
Kakek : Sudah ada telpon dari Polisi?
Nita : Tukang rokok seberang jalan Cuma bilang bahwa seorang laki-laki telah membawa lari Meli dan Feri dalam sebuah mobil.
Nenek dan Kakek : Apa?
Nenek : (minum) Telpon polisi lagi.
Telpon berdering.
Kakek : Pasti dari Polisi.
Nenek : Cucuku yang malang…. Oh saya sedang membayangkan mereka menangis karena penculik itu mengeluarkan pisau cukur.
Nita : (menyerahkan pesawat telpon) untuk mamanya Meli.
Kakek : Dari Polisi?
Nita : Dari Meli.
Kakek : Berapapun bayar saja permintaannya.
Nenek : Saya yakin pisau cukur itu menyentuh lehernya yang halus.
Nita : Meli dan Feri sudah di rumahnya ekarang. Mereka diculik oleh papanya sendiri.
Nenek : Dongeng apa ini?
Kakek : Keterlaluan! Keterlaluan! Saya tidak bisa memaafkan permainan kasar seperti ini ini.
Nenek : Kenapa berang begitu? Seharusnya kita bersyukur bahwa ini semua Cuma main-main.
Kakek : Justru lantaran main-main saya jadi berang.
Nenek : Lalu apa kau berharap semua ini sungguh-sungguh? Apa memang kau berharap agar Meli dan Feri diculik?
Kakek : Bukan begitu maksud saya, tapi permainan ini bukan untuk orang-orang tua macam kita. Ini permainan pemuda dan bukan untuk orang-orang yang rapuh jantungnya.
Stelah Novia telpon, Nita mendekati dan keduanya bercakap tampak Nita membujuk Novia.
Kakek : Betapapun akan saya marahi Vita. Akan saya katakana bahwa sebagai dokter dia kurang mempertimbangkan kemungkinan effek psikologis dari permainannya. Apa dia tahu bahwa setiap kali saya harus mengatur peredaran darah saya sedemikian rupa di depan aquarium sambil mendengarkan lagu-lagu yang paling lembut agar kesehatan saya terpelihara? Dengan permainan baru saja, sama dengan dia meledakkan granat di atas batok kepala saya. Apa dia fakir dia mampu mengobati kalau saya sakit keras? Barang kali dia lupa bahwa dia dokter muda. Dokter muda jelas baru tahu tentang ilmu kedokteran seninya. Untuk ia, ia perlu bergaul dengan alam. Banyak tingkah. Coba……
Novia : Pak, Ibu, saya permisi pulang.
Kakek : Tanpa minta maaf?
Pulanglah dan bilanglah pada suamimu besok dia harus menghadap kemari.
Novia : Pulang dulu, bu.
Nenek : Jangan lupa semua naehat ibu.
Novia : Ya, bu.
Joni : Polisi, Nyonya.
Nita : Sebentar, saya ke muka.

Yogyakarta , Maret 2007
Diketik ulang oleh studio teater PPPG Kesenian Yogyakarya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar