24 Okt 2011

The Rebel Sell

Saya punya teman yang mati-matian menolak jika diajak ngopi di Starbucks. "Anti!" katanya. Teman saya yang lain nggak mau pakai sepatu Nike. Alasannya, tak ingin melukai hati para buruh yang dibayar murah untuk membuat sepatu itu. Ada lagi teman yang berjanji pada dirinya sendiri untuk seumur hidup tak menginjakkan kaki di mall, dan bangga dengan identitas "keudikan" yang senantiasa ia jaga dan pertahankan di tengah kehidupan urban Jakarta. Begitulah, sampai hari ini sikap dan keyakinan yang berakar pada ide "budaya-tanding" masih hidup dan tumbuh subur di mana-mana. Masih banyak orang yang meyakini bahwa menantang arus itu keren; membebaskan diri dari trend itu hebat; menjadi pemberontak itu heroik. Memakai kaos Che Guevara adalah jihad terbesar untuk menunjukkan sikap anti-kapitalis. Makan sayuran organik itu suci karena mengandung makna perlawanan terhadap fast food. Mempelajari Budhisme ( dapat salam dari Dee) akan membuatmu berada di barisan depan kaum antimaterialisme Barat. Jika semua itu belum cukup, setahun sekali kamu harus berpartisipasi dalam "acara" Hari Tanpa Belanja, mendengarkan hanya musik band-band indie (major label itu pelacuran), menyembah Jean Baudrillard yang bukunya "Simulacra and Simulation" telah menjadi kitab suci kaum anti konsumerisme ("kebutuhan itu hanya ilusi yang diciptakan oleh iklan"), dan memuja slogan Do It Your Self ("perbaiki daripada beli; berhenti fitness dan perbanyak jalan kaki").
Bagi Joseph Heath dan Andrew Potter, penulis buku berjudul asli "The Rebel Sell" yang diterjemahkan dengan sangat rapi oleh Ronny Agustinus dan Paramita Palar menjadi "Radikal itu Menjual" (Antipasti, 2009; 437 halaman; Rp 65 000), sebagian besar langkah-langkah yang populer dipromosikan sebagai "anti konsumerisme" itu tak ada faedahnya. Bahkan, hasrat untuk melawan arus, menjadi beda, dan menjalani gaya hidup alternatif semacam itu justru mendorong konsumerisme itu sendiri. Dalam pendahuluannya, buku ini langsung menelanjangi majalah Adbuster. Pada 2003, majalah yang sukses memrakarsai Buy Nothing Day (telah menyebar ke 55 negara) ini mulai memproduksi dan menerima pesanan sepatu kets buatan mereka sendiri yang diniatkan sebagai "gebrakan pemasaran untuk membuat Nike basi" --yang bila berhasil, diyakini akan menjadi "preseden yang akan merevolusi kapitalisme". Mereka lupa bahwa sebelum mereka, Reebok, Adidas, Puma dan setengah lusin perusahaan lainnya telah berupaya "membuat Nike basi" selama bertahun-tahun --itu namanya kompetisi pasar, dan itulah hakikat kapitalisme. Jadi, apa yang direvolusi? Apa yang dilakukan Adbuster justru merupakan semangat sejati kapitalisme. Logikanya, jika ada ribuan anak muda yang terdorong oleh spirit antiglobalisasi atau apa pun ogah memakai Nike, maka terciptalah pasar yang jelas bagi sepatu "alternatif". Vans dan Airwalk berhasil mengulik sebagian pembangkang trendi yang berkutat dengan skateboard itu menjadi pangsa pasar mereka. Heath dan Potter pun meledek, Adbuster hanya berusaha mendapatkan jatahnya!

***

Selain Adbuster, "tokoh jahat" dalam buku ini adalah para penulis buku-buku yang kemudian menjadi rujukan utama kaum anti konsumerisme (salah satu yang terpenting adalah Naomi Klein dengan "No Logo"-nya), film-film yang menyuarakan kritik terhadap budaya konsumen ("American Beauty", "Fight Club") dan para vegetarian. Dengan kekritisan yang luar biasa, analisis yang tajam, dan sinisme yang tak kenal ampun, dua dosen filsafat di universitas di Kanada ini menunjukkan bahwa banyak penentang konsumerisme justru menjadi kekuatan-kekuatan yang menggerakkan konsumsi dalam bentuknya yang paling jalang. Dalam pandangan mereka, budaya tanding hanyalah mitos, gagasan palsu, dan salah satu korban terbesarnya adalah Kurt Cobain. Perjalanan buku ini diawali dari sebuah rumah yang menghadap Danau Wahsington pada pagi 8 April 1994 ketika vokalis Nirvana, band terpenting dekade 1990-an itu, ditemukan tewas. Para produsen teori konspirasi boleh menduga apa saja, namun dalam satu pengertian, Cobain membunuh Cobain karena tak tahan menanggung malu terus-menerus akibat kegagalan mendamaikan komitmennya pada musik alternatif dengan kemasyuran Nirvana. Orang harus tidak terkenal untuk jadi otentik. Penjualan hingga jutaan kopi untuk rekaman musik yang disebut alternatif telah membuat Cobain dirongrong perasaan "menjual diri" dan "ikut arus". Maka, seperti catatan yang ditemukan di dekat jenazahnya, Cobain akhirnya memilih "terbakar habis daripada padam perlahan". Bunuh diri adalah upaya untuk berhenti sebelum terjadi pelacuran total, dan mengembalikan keyakinan bahwa punk rock adalah kebebasan.

Mitos yang sama persis kemudian berulang dalam hip hop, tempat bagi ide budaya tanding menemukan bentuk romantisisme ala kehidupan gheto dan budaya geng. Para rapper sukes berusaha keras mempertahankan citra jalanan mereka ("agar tetap riil") --mereka menenteng pistol ke mana-mana, tembak-tembakan, masuk penjara dan meninggalkan mayat Tupac Shakur. Semua itu hanya untuk menunjukkan bahwa mereka bukan cuma "gangsta studio". Tapi, siapa yang peduli coba? Seandainya hal itu hanya terbatas pada blantika musik, memang tak ada yang peduli. Masalahnya, ide soal budaya tanding itu telah menjadi berurat berakar dalam pemahaman kita akan masyarakat sampai-sampai mempengaruhi setiap segi kehidupan sosial-politik. Saya masih ingat, pada 1990-an, ide budaya tanding melahirkan euforia kelatahan yang luar biasa di kalangan intelektual Indonesia. Yang paling menggelikan, sampai-sampai para pemikir muda Islam pun ikut sibuk merekonstruksi nilai-nilai keislaman untuk ditawarkan kembali sebagai "budaya tanding" bagi gaya hidup modern. Namun, yang paling gawat, ide ini telah menjadi pola konseptual segenap politik kiri kontemporer. Budaya tanding nyaris menggantikan sepenuhnya sosialisme sebagai dasar pemikiran politik radikal. Maka, bila budaya tanding adalah mitos, inilah mitos yang telah menyesatkan sejumlah besar orang dengan konsekuensi-konsekuensi politik yang tak terbilang.

Heath dan Potter menilai bahwa gagasan budaya tanding berpijak pada sebuah kekeliruan, atau paling banter, itu adalah pemberontak semu; serangkaian aksi dramatis yang hampa konsekuensi ekonomi-politik progresif apa pun, dan hanya menyediakan hiburan bagi para pemberontaknya sendiri. Ada banyak kerancuan, juga kontradiksi. Yang rancu misalnya, ide pokok budaya tanding mengaburkan perbedaan antara nyeleneh dan membangkang --lebih tepatnya: budaya tanding mulai memperlakukan semua kenyelenehan adalah pembangkangan. Yang kontradiktif: dalam titik temunya dengan sikap anti konsumerisme, budaya tanding justru melahirkan pasar yang sangat besar akan produk-produk dan literatur anti konsumerisme itu. Buku-buku yang sangat kritis terhadap konsumerisme merajai pasar selama bertahun-tahun: No Logo, Culture Jam, Luxury Fever hingga Fast Food Nation. Dan, kaos serta pernah-pernik bergambar Che Guevara tak pernah henti diproduksi. Tidakkah itu ironis? Kekeliruan lain ide budaya tanding yang ditunjukkan oleh buku ini, para pemberontak itu menuding bahwa konsumerisme melahirkan keseragaman. Padahal, kebalikannya, konsumerisme sebenarnya lebih didorong oleh hasrat untuk menjadi beda. Akibatnya, gerakan antikonsumerisme menjadi identik dengan kritik atas masyarakat massa. Sehingga budaya tanding bukannya mensubversi "sistem" (atau apa pun) melainkan justru menegaskan kesadaran individu akan pentingnya berbeda. Dengan kata lain, gerakan antikonsumerisme pada akhirnya justru mendorong apa yang disebut sebagai konsumsi kompetitif --orang berlomba-lomba (membeli sesuatu) untuk menjadi yang paling keren, paling beda. Dan, lagi-lagi ironis, gaya pemberontakanlah yang mendorong kaum pria mengeluarkan lebih banyak uang untuk busana.

***

Buku ini bisa terasa sangat menyakitkan jika kamu adalah orang yang selama ini terpesona dengan pemikiran sejumlah filsuf-selebriti Prancis yang berjas hitam kusut, mengisap rokok Gauloise, duduk-duduk di beranda Les Deux Magots dan berpikir bahwa komoditas itu abstrak, ekonomi hanya sistem penanda, dan kebutuhan itu palsu. Namun, jika kamu "hanyalah" orang yang merasa bahwa barang tertentu yang kamu beli itu memang benar-benar berguna (dan itu tidak ditentukan oleh Baudrillard maupun kritikus konsumerisme), maka argumen-argumen, sindiran, olok-olok dan serangan-serangan yang dilancarkan dua penulis dalam buku ini sungguh membuat terkekeh-kekeh (saya sampai berguling-guling di lantai). Humornya menonjok, wawasan yang disajikannya luas, kuat secara teori serta cermat dalam penelusuran sejarahnya. Pada tingkat tertentu, buku ini bahkan mungkin bisa membuat orang marah dan melemparkannya jauh-jauh ke sudut ruangan sampai brodol, bukan semata karena "mulut silet" Heath dan Potter terlalu meyakinkan dan dengan demikian terasa begitu benar dan sulit disanggah. Melainkan juga karena paparan-paparan mereka cukup berhasil menyingkap selubung hipokrisi para penganut gaya hidup-gaya hidup alternatif (kaum anti konsumerisme, anti globalisasi, anti pasar bebas, kaum anarkis, aktivis pro-lingkungan). Misalnya, benarkah mengkonsumsi sayuran organik itu lebih etis atau mengingat harganya yang mahal, hal itu justru mendorong bangkitnya kembali kelas aristrokratis yang tak ingin makanannya sama dengan kaum miskin?

Hal yang sama bisa dipertanyakan pada anjuran untuk olah raga jalan kaki ketimbang fitnes --benarkah yang pertama lebih murah, jika fitnes sebenarnya memungkinkan individu terlibat dalam semacam kesepakatan untuk berbagi peralatan olahraga; sementara jalan kaki menciptakan pasar sepatu teknologi tinggi yang harganya jauh lebih mahal? Orang-orang yang bersepeda ke kantor bisa merasa bangga, ya iyalah, sebab harga sepeda mereka berlipat lebih mahal dibandingkan motor-motor yang menyemut di jalan raya. Bagaimana pula dengan slogan "perbaiki daripada beli"? Dengan pedas Heath dan Potter cuma berkata, oke deh, bawalah palu ke mana-mana dan ikuti dulu seminar untuk mempelajari teknik-tekniknya. Nyinyir? Memang. Tapi, apa salahnya sih nyinyir? Sama seperti pertanyaan retoris mereka, apa salahnya sih konsumerisme? Heath dan Potter bahkan tak memberi solusi apa-apa bagi masalah ini, karena mereka memang tidak percaya ada solusi yang sederhana bagi masalah ini. Mereka bahkan tak percaya bahwa ada yang namanya solusi. Bagi mereka, persoalan masyarakat konsumen merupakan pengejawantahan langsung dari persaingan kehidupan manusia dalam segenap dimensinya; dari hasrat menginginkan rumah di lokasi yang strategis (bisa jalan kaki ke kantor), kegemaran berwisata ke alam liar, perburuan pasangan kencan yang atraktif, hingga mencari pekerjaan yang keren. Tak heran jika kritik konsumerisme selalu tampak sebagai kritik atas apa yang dibeli orang lain, dan sulit menghindari kesan bahwa kritik atas konsumerisme itu hanyalah snobisme tersamar, atau lebih parah lagi, puritanisme. Makin tersinggung nggak lo? Ha ha ha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar