Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan

23 Apr 2014

Plankton Sastra

Tidak ada komentar:
Awalnya saya mendengar semua ini begitu menggaung di dunia maya, tapi akhir-akhir ini sedikit meredup.

***

Bung, kehadiran Bung di istana sastra Indonesia lewat buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh memang sangat menggemparkan. Paling tidak terdapat dua reaksi dari peristiwa yang Bung ciptakan ini. Reaksi pertama adalah penolakan terhadap Bung, dan yang kedua adalah perlawanan atas penolakan terhadap Bung. Reaksi pertama diteriakkan oleh jiwa-jiwa yang geram karena tidak sudi Bung masuk ke dalam jajaran sastrawan paling berpengaruh di Indonesia. Mereka ini Bung, hanya sekelompok buruh, mahasiswa, pekerja seni, pelajar, pedagang, tak berlabel sastrawan, tak terlalu piawai bersastra, apalagi berpengaruh dalam dunia sastra Indonesia seperti yang Bung idam-idamkan itu, tidak sama sekali, Bung. Sedangkan reaksi kedua diteriakkan oleh jiwa-jiwa yang justru mendukung keabsahan kehadiran Bung sebagai sastrawan. Tentu Bung tahu dan kenal betul siapa mereka. Mereka ini bagi sebagian orang mungkin adalah sastrawan-sastrawan kelas wahid yang menjadi corong sastra Indonesia. Tapi bagi Bung mungkin tidak demikian. Mungkin bagi Bung mereka hanyalah manusia-manusia yang dengan sedikit pelicin maka kata-kata mereka dapat Bung pesan sesuka hati Bung.

Bung. Sebegitu geram kah Bung terhadap kami yang menolak Bung sehingga kata-kata ekstremis, fasis, fundamentalis, terlontar dari Bung? Bung, mungkin dalam pandangan, Bung tak habis pikir kenapa kami sangat membenci apa yang Bung lakukan. Mungkin Bung ingin berkata-kata kepada kami, bukankah setiap orang boleh bahkan sangat boleh untuk mencipta karya? Mengapa kalian terlalu sombong dan tamak sehingga harus menapik apa pun itu yang tidak satu haluan dengan kalian? Tidak bisakah kalian menghormati apa yang sudah saya ciptakan adalah sebuah proses juga?

8 Jul 2013

Menyoal Karya Sastra Terjemahan

Tidak ada komentar:

 Tulisan ini juga dimuat di horisononline.or.id

Ulasan tipis ini dibuat untuk kepentingan diskusi Erlangga Book Club, Sabtu 13 April 2013

Prolog 
Izinkan saya membuka tulisan ini dengan kalimat-kalimat kegelisahan yang belakangan merundungi jiwa. Beberapa minggu lalu, saudari Winda sebagai penanggung jawab acara diskusi meminta saya untuk menjadi pemateri dalam diskusi Erlangga Book Club yang kalau tidak salah baru berjalan satu kali. Yang terlintas dalam pikiran saya waktu itu adalah perihal apa kiranya yang dapat saya sampaikan? Selama beberapa hari--di tengah kesibukan saya sebagai editor--saya mencari materi yang sekiranya tepat untuk dijadikan bahan diskusi, akhirnya saya putuskan untuk membicarakan tentang problem penerjemahan karya sastra, yang sekiranya cukup layak  menjadi bahan diskusi di Erlangga book club.

Inti permasalahan pada topik ini adalah: Penerjemahan karya sastra asing yang serasa jauh panggang dari api. Banyak karya sastra berbahasa asing diterjemahkan dengan kurang baik sehingga gagasan dan informasi yang diciptakan oleh penulis tidak mampu ditangkap dengan baik oleh pembaca, misalnya pengadopsian kultur asing secara mentah-mentah—tidak disesuaikan—ke dalam kultur Indonesia tentunya akan mengakibatkan ketidakpahaman pembaca sehingga makna tulisan menjadi bias dan lepas dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan penulis. Hal ini kemudian yang mengakibatkan tulisan kurang atau bahkan tidak berkualitas.  

Problem penerjemahan karya sastra asing sebenarnya telah banyak disinggung oleh banyak penulis dan kritikus sastra kita, seperti Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi, A Teeuw, Mochtar Lubis, Damhuri Muhammad, Aprinus Salam, dll. Secara umum, orang-orang ini menilai bahwa perlu ada kajian khusus yang mendetail tentang perihal bagaimana menerjemahkan karya sastra asing. Tidak hanya itu, problem ini juga telah menjadi buah bibir yang sering diperbincangkan di beberapa diskusi (seminar atau pembicaraan di dunia maya), dan ternyata tak sedikit orang yang yang mengatakan bahwa penerjemahan kita kurang menggairahkan, tidak bagus, tidak layak, dan sederet kepedihan lainnya yang tak perlu ditulis di sini.

27 Apr 2012

Asmara di Atas Haram

Tidak ada komentar:
Desain Cover by: Satrio Amal Budiawan
Judul Buku: Asmara di Atas Haram
Penulis: Zulkifli L. Muchdi
Editor: Hijrah S. & Adhika Prasetya
Tebal Hal: 465
Tahun Terbit: 2012


Luka apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan seorang yang kita kasihi? Luka yang menyayat hati Yasser Al-Banjary. Luka akibat pertarungan di hatinya yang lebih memenangkan kerelaan ibunya kembali ke Pangkuan-Nya, ketimbang menggunakan uang 5 miliar dana tak bertuan yang tiba-tiba masuk ke dalam rekeningnya untuk menyelamatkan sang Ibu.

Yasser Al Banjary hanya hidup bersama ibu dan adiknya. Sepeninggal ayahnya, Yasser menjadi mandiri, kemandiriannya membawa ia memenangkan lomba baca Al-Qur’an Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Suatu saat ibunda Yasser sakit dan membutuhkan biaya untuk operasi, pada saat itu Yasser hanya memiliki uang sebesar 2 juta rupiah. Sedangkan biaya yang dibutuhkan sebesar 60 juta. Yasser yang berprofesi sebagai wartawan freelance Harian Umum Banjarmasin Post di kota ini, kaget bukan kepalang saat mengetahui di rekeningnya terdapat kucuran dana Rp5 miliar.

8 Mar 2012

Pelabuhan Terakhir

Tidak ada komentar:
Desain cover oleh: Sony Sonatha
Judul Buku: Pelabuhan Terakhir
Penulis: Roidah
Editor: Tim Divaro
Tebal Hal: 159
Harga: 35.000,-
Tahun Terbit: 2012

Zahra adalah seorang wanita mandiri dan mempunyai karier yang sukses. Sukses dalam berkarier, tapi selalu gagal dalam masalah percintaan, ditambah pula dengan seringnya dia menangani kasus tentang penindasan terhadap perempuan, membuat dia enggan menikah dan cenderung membenci kaum laki-laki. Terlahir sebagai anak tunggal dalam keluarga malah membuatnya semakin tertekan. Sang ayah yang sudah ingin menimang cucu, dan khawatir dengan usia anaknya tersebut, akhirnya memilihkan jodoh untuknya. Nama Poernomo alias Ipung pun mencuat ke permukaan.

Tawaran pekerjaan baru dari relasi kerja pun seolah menjadi sarana menghindar dari masalah perjodohan,pernikahan dan kejenuhan akan pekerjaannya yang dulu. Tanpa berpikir panjang, dan mengkhawatirkan perasaan orang tuanya, terutama sang ibu, dia pun memilih Jambi sebagai tujuan tempatnya berkarir. Bekerja di Pendampingan Suku Kubu mengharuskan dia turun langsung ke hutan, tempat suku itu berada. Lama hidup sebagai wanita kota, membuat dia bersemangat menjalani pekerjaan barunya tersebut.

19 Okt 2011

TOTO DAN SEBILAH KUJANG

Tidak ada komentar:
ilustrasi oleh: laritelanjang.net
Toto melangkah dengan cepat melewati lorong-lorong kecil. Kakinya yang telanjang menghantam dinding-dinding comberan. Matanya yang kendur ia pejamkan sesekali lalu kembali ia buka lebar-lebar demi menahan kantuk yang luar biasa. Tangan kirinya terkepal keras, tampak urat-urat tangannya terlihat begitu jelas. Mulutnya tak henti komat-kamit, entah racauan apa yang ia ucapkan, tidak terlalu jelas, namun ada aroma amarah yang tesulut di sana. Tangan kanannya mengepal erat sebilah Kujang, erat sekali, sampai-sampai tangan dan Kujangnya menjadi sebuah kesatuan mengeras dan membatu. Keringat yang sejak tadi mengucur di parit-parit dahinya ia abaikan. Bahunya mengeras. Tampak dendam telah melilit jiwa dan raganya, darahnya mendidih, napasnya memburu, haus, seakan-akan menghanguskan apa saja yang menghalanginya. 

Toto terus melangkah. langkah-langkah yang lebar ia hujam ke setiap detik-detik yang bergulir, menggelinding dihantam ketidaksabaran. Luka, ialah luka, apalagi yang lebih menyakitkan daripada sebuah luka. Luka yang terus memburu Toto dalam amarah, amarah yang terus menari di atas luka-luka yang ditorehkan orang yang sedang ia cari di sini, di kerumunan banyak orang, sebuah terminal kumuh di kota Majalengka.

[]
Dua bulan yang lalu Toto masih tinggal di pesantren, tempat yang sama sekali berbeda dengan tempat asalnya, Terminal Bus. Masuk pesantren adalah pilihan Toto sejak ia keluar dari Lembaga Permasyarakatan dua bulan silam. Ia ingin benar-benar bertobat setelah kelam menjalani hari-harinya yang keras di tengah terminal. Semua kejahatan pernah ia lakoni, merampok, menjambret, menodong, bahkan membunuh sepertinya sudah menjadi hal yang biasa baginya, dan keluar-masuk penjara sudah sering kali ia alami. Toto memang benar-benar ingin insyaf. Baginya, tiada yang mampu mengemudikan hidupnya selain seseorang, yaitu ibu.
 

Toto yang kini menjalani hari-hari layaknya para santri yang lain dapat berubah sebegitu drastisnya tentu dikarenakan permintaan sang ibu yang tidak ingin melihat anaknya terus terpuruk dalam kekelaman. Siapakah yang menginginkan anaknya berkubang dalam kekelaman? Tentu tidak ada.

Selama di pesantren Toto memang tidak lantas langsung melahap dan mempelajari dan melahap ilmu-ilmu agama dari kitab klasik, karena baginya itu terlalu sulit, terlebih latar belakang dan orietasinya yang berbeda dengan santri-santri lain. Tidak lebih dari itu, Toto hanya menginginkan tempat yang tenang di mana ia dapat merenung dan bertobat dengan khusuk. Setiap malam Toto terjaga demi melaksanakan shalat Tahajud dan shalat Taubat. Tak jarang usai shalat Toto menitikkan air mata. Tampaknya kehidupan lamanya begitu kelam sehingga doa yang dipanjatkannya pun begitu dalam.

Dalam hal pergaulan Toto dikenal normal-normal saja, sama seperti santri-santri yang lainnya, walaupun tampang dan perawakannya menyeramkan tapi sesungguhnya ia memiliki perangai yang lucu dan humoris. Toto memang dikenal dengan perawakannya yang tinggi  besar, paras wajahnya yang beringas, dan tubuhnya yang dipenuhi tato. Siapa pun yang melihatnya dapat segera menghakimi orang macam apa dia.

Dari minggu ke minggu Toto menjalani hari-harinya yang baru, ia mulai berdaptasi dengan pola hidup lingkungan sekelilingnya. Kesegaran baru dalam menjalani hidup ia renguk penuh dengan penuh kebahagian, di sana di tempat anak-anak bangsa menimba ilmu. Toto benar-benar mengalami perubahan yang drastis, mungkin inilah yang disebut dengan konsekuensi dari sebuah perubahan.

Suatu hari ia menerima surat dari Uzlah Utini. Seorang gadis desa tempat Toto dilahirkan. Seorang yang selama ini menjadi peraduan hati dan jiwa Toto. Uzlah adalah orang kedua yang mampu mengendalikan Toto. Toto sumingrah. Dengan sedikit kikuk Toto membuka surat yang dikirimkan Uuz, nama panggilan kesayangan Toto pada Uzlah Utini kekasihnya. Senyum lebar tersungging di ujung lekuk bibir Toto kala mulai membaca surat. Namun lama kelamaan wajah Toto berubah drastis, dahinya merapat, alisnya naik, tangannya terkepal kuat dan napasnya memburu. Toto terlihat tidak mampu menahan amarahnya. Namun dengan penuh ketenangan ia mencoba untuk mengatur emosi yang semakin lama semakin memuncak, matanya nanar, begitu dalam dan jauh.

Toto bergegas mempersiapkan sesuatu seadanya, para santri tidak ada yang mencurigai tindak tanduknya, ia begitu pintar menyembunyikan sesuatu dalam dirinya sehingga para penghuni asrama tidak tahu sama sekali apa yang ia rasakan saat itu. Dengan langkah-langkah besar Toto meluncur tajam ke jalan setapak di belakang pondok, dengan tergesa-gesa ia masuk ke ladang tebu untuk sampai ke jalan raya.

Toto hanya membutuhkan dua jam perjalanan dari pesantren menuju terminal Majalengka, namun baginya waktu tersebut begitu lama karena ia sudah tak sabar menunggu. Kini pemandangan sebuah terminal kumuh tepat di depan bola mata Toto. Ia mendatangi kerumunan orang-orang, matanya garang, tubuhnya kencang terpancang urat-urat yang keluar mengakar, orang-orang berhamburan. Matanya seperti radar memburu apa yang ia cari.
 

“Hai sini kau, anjing!” teriaknya kepada seorang laki-laki kurus penjual kacang goreng yang sejak tadi ketakutan.
 

“Di mana si jangkung?” teriak Toto.
“Saya nggak tahu!” jawab laki-laki tadi. Toto menyeringai. Orang-orang berhamburan. Disepaknya orang tadi laksana bola, Toto tidak tinggal diam ia terus memburu apa yang ia cari, sebuah hadiah yang ia idam-idamkan dari kabar yang menyesakkan. Menyesakkan jiwanya, raganya, dan seluruh hidupnya. Namun sampai detik itu, apa yang ia cari belum kunjung tampak di matanya. Toto masih tetap memburu, laiknya truk tronton yang sedang menghancurkan rumah-rumah bedeng kaki lima. Ia menggerus dan meluluhlantahkan semua yang ada di hadapannya.
 

Di balik kerumunan orang yang berhamburan mata Toto seakan menangkap isyarat. ya, sesuatu yang ia idam-idamkan, dan kini ia telah mendapatkannya. Tanpa aba-aba Toto melesat pada sosok yang dituju, matanya tak lepas mengekor, Toto benar-benar memburunya seperti hendak kiamat, tak ada waktu lagi, semua harus terselesaikan. Ia terus mengejar laki-laki berjaket lusu itu, seluruh wajahnya dipenuhi ketakutan, urat-urat di jidatnya keluar seperti menantang teriknya matahari. Sekuat mungkin ia lari. Lari dari kejaran Toto yang sudah berubah jadi budak amarah yang menyala-nyala. Padahal laki-laki itu sudah lari sekencang-kencangnya, namun Tuhan berkehendak lain, mangsa itu telah berada dalam cengkeraman sang pemburu, sedikit perlawanan yang diburu hanya melukai tangan dan perut Toto, tidak masalah, semuanya tidak begitu berasa baginya. Kujang yang sejak tadi menghuni tangan Toto begitu cepat kini telah bersarang tepat di dada kiri laki-laki apes itu, bertubi-tubi Toto melepaskan amarahnya yang menyatu dengan rasa tega pada seonggok tubuh di hadapannya. Semua orang hanya terpaku, tak ada yang mampu berbuat apa-apa.
 

Semua seakan bisu. Tubuh malang itu kini terkapar bersimbah darah, ia sudah tidak berdaya, namun bagi Toto tubuh malang itu seakan masih menyembulkan rasa kebencian dan muak yang sangat dalam untuk dirinya. Dihirupnya udara ketenangan, ia maki sejenak mayat itu lalu meludahinya. Tubuh yang malang. Begitu malang sampai tak ada yang mengenali siapa seorang yang dibunuh itu. Toto bergegas pergi seperti hilang ditelan awan.

Sejak kejadian itu Toto menghilang entah ke mana, namun saat ini jelas ia kini telah menjadi buronan polisi atas pembunuhan seorang laki-laki di terminal. Tidak ada satu pun yang mengetahui ke mana Toto menghilang. Beberapa hari setelah kejadian semua orang mengenal Toto dimintai keterangan termasuk Kyai Mansyur pengasuh pondok pesantren tempat Toto menimba ilmu. Namun nihil, tidak ada yang mengetahui keberadaan Toto. Tiga bulan sudah Toto menghilang. Berita yang tadinya sempat santer di kalangan masyarakat umum khususnya di lingkungan pesantren seakan hilang ditelan bumi, sampai pada satu malam Toto datang ke pondok dengan tergesa-gesa.
 

Tubuhnya berkeringat, napasnya tak beraturan, dari balik dedaunan pohon pepaya di belakang pondok Toto mencoba memanggil seseorang dengan berbisik lirih. Ahmad yang ternyata mendengar suara dari balik kegelapan ini mencoba menghampiri, ia memicingkan mata. Alangkah kagetnya yang dilihat ternyata Toto, orang yang selama ini menjadi topik pembicaraan yang tak sudah-sudah. Ahmad menghampiri Toto, ia sama sekali tidak melihat wajah ketakutan di mata Toto. Ia begitu tenang, namun ia tampak tidak memiliki banyak waktu. Ia menceritakan semua perihal peristiwa yang ia alami. Ia bahkan menceritakan detil setiap peristiwa yang ia alami. Kata-kata membuncah begitu saja bagaikan peluru yang tak henti-henti. Ahmad hanya mengangguk-angguk. Ia benar-benar terdiam dan sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Toto tampaknya sudah selesai dan begitu tenang menyampaikan semuanya kepada Ahmad. Ia yang tak punya waktu banyak menepuk punggung Ahmad.
 

“saya pamit kawan, saya titip Kujang ini, tolong rawat baik-baik, ini adalah pemberian ayah saya, saya tidak mau dipegang oleh orang yang tidak saya kenal. Terima kasih kawan semoga kita dapat bersua lagi” Toto hilang ditelan gelap, Ahmad cuma bisa terdiam sambil menggulung Kujang pemberian Toto dengan kain. Dalam benaknya ia tidak bisa berkata Toto telah melakukan yang benar atau yang salah.
 

Toto telah pergi, namun entah ke mana, tak ada lagi yang ia kasihi, karena yang ia kasihi telah pergi menghadap Tuhan walau dengan aib dan nista yang dibawa, Uzlah bunuh diri namun itu bukan kehendaknya, kekasihnya dihamili oleh seseorang yang sangat dekat dengan dirinya, seseorang yang selama ini banyak mendapatkan pelajaran tentang bertahan hidup dengan kekerasan, kejahatan, dan kekejaman di terminal, seseorang yang selalu memanggil kakak kepada Toto. Seseorang yang mati terkapar bersimbah darah ditikam Kujang oleh Toto, kakak kandungnya sendiri, yang tak mampu menanggung malu dan aib adiknya sendiri terutama di depan kekasihnya Uzlah Utina yang terlebih dahulu menghadap Yang Kuasa.

Untuk sahabatku Toto
Semoga kita dapat bersua kembali kawan!

Seperti dimuat di laritelanjang.net

29 Jul 2011

Teater Gidag Gidig

Tidak ada komentar:
Teater Gidag Gidig in Action
Jujur, seumur hidup saya, saya belum pernah menyaksikan suguhan karya teater sebagus yang disuguhkan oleh kelompok teater ini. Waktu itu saya dan beberapa teman di kelompok teater saya (sanggar altar) menyaksikan teater Gidag Gidig mementaskan drama karya Putu Wijaya yang berjudul Dag Dig Dug di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, namun entah tahun berapa saya lupa. Melihat apa yang suguhkan teater Gidag Gidig ini membuat saya terus berpikir dan membayangkan betapa kerasnya usaha mereka dalam menaklukkan dan menerjemahkan konflik-konflik dalam naskah Putu Wijaya yang konon katanya selalu "meneror mental" itu. Drama Dag Dig Dug begitu anggun dibawakan kelompok teater ini. Di tangan mereka drama ini begitu gurih sangat impresif. Saking gurihnya, bahkan pada saat itu saya merasa tidak sedang menonton suatu pertunjukan, melainkan menyaksikan kehidupan nyata. Terima kasih teater Gidag Gidig atas suguhan bagusnya, semoga amal ibadah Anda sekalian selalu dicatat dan diterima oleh Tuhan Yang Mahakuasa.Oh iya, tulisan ini sengaja ditulis sebagai ungkapan bahagia saja, jika ingin membaca ulasan tentang naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya ini, saya sarankan Anda mengunjungi http://skripsi.dagdigdug.com dijamin Anda akan mendapatkan ulasan yang menarik.

Berikut di bawah ini semacam profil teater Gidang Gidig yang sengaja saya ambil dari www.kelola.or.id 
TEATER GIDAG GIDIG didirikan pada 21 September 1976, di SMAN 4, Surakarta. Anggotanya, anak-anak SMA, dan Hanindawan masih seorang aktor. Pimpinan dan sutradaranya, Bambang Sugiarto, kakak kelas Hanindawan. Pada 1982, Hanindawan sempat menyatakan berhenti, tapi malah diminta memimpin kelompok itu. Maka, sejak itu hingga sekarang, tampuk pimpinan kelompok ada di tangan Hanindawan.

19 Apr 2011

Dia

Tidak ada komentar:
Di sudut keremangan batin, aku coba bertanya pada pertanyaan yang terus mengiang di seperempat abad umur. Aku, berputar dalam labirin logika usang, kemarin, hari ini, atau bahkan waktu yang terkadang entah dari sudut mana kita dapat menjelaskannya.


Sudah lama aku menanti Dia, sudah dua bungkus rokok habis kuhisap hanya untuk menanti Dia. Tadinya aku hampir putus asa. Namun, tepat pukul tiga lewat tiga belas, harapan yang sempat menjadi buih itu kini tampak. Dia berjalan di permukaan kantung mataku yang lunglai, Dia menampar penantianku yang membusut dan hampir meledak. Dia kini Dia di hadapanku, di hadapan orang yang sangat menginginkan Dia.

21 Mar 2011

Orang Kasar, Karya: Anton Chekov, Saduran: WS. Rendra

Tidak ada komentar:
Saduran WS RENDRA

Pelaku:
NYONYA MARTOPO : Janda muda, gundik seorang pemilik tanah
BAITUL BILAL : Seorang pemilik perkebunan
MANDOR DARMO : Tangan Kanan Nyonya Martopo
TIGA ORANG PEKERJA

Kejadian : Masa kini
Tempat kejadian :
DI SATU TEMPAT DAERAH PERKEBUNAN KOPI DI JAWA TIMUR. SUATU DAERAH YANG BERALAM INDAH, SEGAR DAN KAYA. DI SINILAH PEMILIK-PEMILIK PERKEBUNAN MEMPUNYAI RUMAH-RUMAH YANG BESAR, BAGUS DAN MEWAH.
MEREKA SUKA MEMELIHARA KUDA DAN WAKTU SENGGANG SUKA BERBURU TUPAI ATAU BURUNG. MEREKA SUKA PULA BERTAMASYA DENGAN KERETA DAN KUDA MEREKA YANG BAGUS.
KETIKA LAYAR DIBUKA, NAMPAKLAH KAMAR TAMU DI RUMAH TUAN MARTOPO YANG MEWAH ITU. PERABOTAN DI KAMAR ITU SERBA BAGUS. DI DINDING TERDAPAT TUPAI-TUPAI YANG DIISI KAPAS, TERPAKU DENGAN LUCU. JUGA TERDAPAT TANDUK-TANDUK RUSA, BURUNG-BURUNG BERISI KAPAS DIJADIKAN HIASAN DISANA-SINI. SEDANG DI LANTAI BEREBAHLAH SEEKOR HARIMAU YANG DAHSYAT YANG TENTU SAJA JUGA BERISI KAPAS.
BERMACAM GOLOK, PEDANG DAN SENAPAN ANGIN TERSIMPAN DI SEBUAH LEMARI KACA YANG BESAR.
PADA SUATU SIANG HARI, KIRA-KIRA JAM 12.00, DI KAMAR TAMU YANG MEWAH ITU, NYONYA MURTOPO, SANG JANDA, DUDUK DI ATAS SOFA SAMBIL MEMANDANG DENGAN PENUH LAMUNAN KE GAMBAR ALMARHUM SUAMINYA YANG GAGAH, BERMATA BESAR DAN BERKUMIS TEBAL ITU. MAKA MASUKLAH MANDOR DARMO YANG TUA ITU.
DARMO : Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan seperti ini. Hal ini tidak bisa dibenarkan, nyonya Martopo. Nyonya menyiksa diri! Koki dan babu bergurau di kebun sambil memetik tomat, semua yang bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan kucing kitapun tahu bagaimana berjenakanya dan berbahagia, berlari-lari kian kemari di halaman, berguling-guling di rerumputan dan menangkapi kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan diri nyonya sendiri di dalam rumah seakan-akan seorang suster di biara.
Ya, sebenarnyalah bila dihitung secara tepat, nyonya tak pernah meninggalkan rumah ini selama tidak kurang dari satu tahun.
NYONYA : Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi keluar? Riwayat saya sudah tamat. Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun telah mengubur diri saya sendiri di dalam empat dinding ini. Kami berdua telah sama-sama mati.
DARMO : Ini lagi ! Ini lagi ! Ngeri saya mendengarkannya, sungguh! Tuan Martopo telah mati, itu kehendak Allah, dan Allah telah memberikannya kedamaian yang abadi. Itulah yang nyonya ratapi dan sudah sepantasnya nyonya menyudahinya. Sekarang inilah waktunya untuk berhenti dari semua itu. Orang toh tak bisa terus menerus melelehkan air mata dan memakai baju hitam yang muram itu! Istri sayapun telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan penuh saya melelhkan air mata, sudah itu selesai sudah.
Haruskah orang berkabung selama-lamanya? Itu sudah lebih dari yang sepantasnya untuk suami nyonya!

Pada Suatu Hari, Karya: Arifin C Noer

Tidak ada komentar:
Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri

SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:
1. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek dan Nenek duduk berhadapan.
Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..

Pinangan, Karya: Anton Chekov

Tidak ada komentar:
( RUANG TAMU DI RUMAH RADEN RUKMANA KHOLIL)

RUKMANA : Eee ... ada orang rupanya. O ... Agus Tubagus, aduh, aduh, aduh ... Sungguh diluar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA BERSALAMAN).

AGUS : Baik, baik, terima kasih, bagaimana dengan Bapak?

RUKMANA : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik melupakan tetanggamu, Agus. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian? Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi kemana?

AGUS : Oh, tidak Aku hanya akan mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik.

RUKMANA : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.

AGUS : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Rukmana? Segelas air!

RUKMANA : (KESAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya.
(KEPADA AGUS) Apa soalnya, Agus?

AGUS : Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.

RUKMANA : Akh, Agus jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?

AGUS : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.

RUKMANA : (DENGAN GIRANG) Anakku Agus, Agus Tubagus, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak percaya.

AGUS : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ...

Sebuah Salah Paham, Karya: Samuel Beckett

Tidak ada komentar:
Di sudut sebuah jalan.Runtuhan bangunan.
A, buta, duduk di atas bangku dengklik, menggesek biola tuanya. Di sampingnya ada sebuah peti setengah terbuka dan di atas peti ini ada sejenis mangkok.
Dia berhenti menggesek biolanya, memandang ke kanan, mendengar.-

Pause.-

1.A. : Sedekahlah untuk orang tua melarat; sedekahlah untuk orang tua melarat. [Diam.Dia bermain,berhenti lagi, memandang ke kanan, mendengar. B masuk dari kanan di atas kursi roda. Dia berhenti. Tertegun].
Sedekahlah untuk orang tua melarat.
[Pause].-

2.B : Musik ! [Pause].Jadi sama sekali bukan impian.Akhirnya ! juga bukan angan-angan; mereka membisu dan aku membisu di depan mereka.[Dia maju,berhenti,memandang ke dalam mangkok,tanpa emosi].Orang malang!

[Pause].

Sekarang aku bisa kembali,karena misteri itu sudah terungkap .[dia kembali memandang kursi rodanya.Berhenti]. Atau, bagaimana kalau kita bergabung dan hidup bersama,sampai maut datang menjemput.[Pause]. Bagaimana pendapatmu tentang itu,Billy? Boleh aku memanggil kau Billy seperti nama anakku? [Pause].Kau ingin seorang teman, Billy?[Pause] Kau mau makanan kaleng, Billy?

TERDAMPAR Karya: Slawomir Mrozek

Tidak ada komentar:
(KEJADIAN INI MERUPAKAN DRAMA SATU BABAK DENGAN SET DEKOR YANG MENGGAMBARKAN SEBUAH GUNDUKAN KARANG DI TENGAH LAUTAN. TIGA ORANG YANG TERDAMPAR DENGAN PAKAIAN CELANA HITAM DAN BAJU PUTIH, LENGKAP DENGAN DASI YANG MASIH TERGANTUNG DI LEHERNYA SERTA SAPUTANGAN YANG MASIH MENONJOL DI SAKU JASNYA. KETIGANYA SEDANG DUDUK DI KURSI. DI SEBELAHNYA TERDAPAT PULA SEBUAH KOPOR YANG BESAR)

GENDUT : Saya lapar.

SEDANG : Sayapun ingin makan.

KURUS : Apakah persediaan makanan telah habis semua?

GENDUT : Seluruh makanan persediaan habis. Tak ada yang tersisa sedikitpun.

KURUS : Saya kira masih ada saus sedikit dan kacang buncis.

GENDUT : Tak ada lagi …

SEDANG : Saya hanya ingin makan sesuatu.

GENDUT : “Sesuatu?” Saudara2ku, kita harus melihat kenyataan. Apa yang kita inginkan sebenarnya merupakan …

KURUS : Kau katakan bahwa persediaan makanan telah habis. Lalu apa yang kau pikirkan?

GENDUT : Apa yang kita makan bukanlah “sesuatu”, tetapi seseorang …

SEDANG : (MELIHAT KE BELAKANG, KE KANAN DAN KE KIRI) Saya tak melihat …

KURUS : Sayapun tak melihat seseorang, kecuali … (TIBA2 BER-HENTI. PAUSE)

GENDUT : Kita harus makan salah seorang di antara kita.

KURUS : (SETUJU DENGAN CEPAT) Baiklah mari kita mulai.

GENDUT : Saudara2, kita bukanlah anak kecil. Ijinkanlah saya menyatakan bahwa kita semuanya tidak dapat serentak berkata: “marilah kita mulai.” Dalam situasi semacam ini, salah seorang di antara kita seharusnya berkata : “Sekiranya saudara tidak keberatan, silahkan saudara mengusulkan diri sendiri.”

SEDANG : Siapa?

KURUS : Siapa?

GENDUT : Itulah sebenarnya pertanyaan yang akan saya tanyakan. (KEMUDIAN TENANG) Saya menyarankan demi rasa kesetiaan dan rasa sopan santun yang baik.

SEDANG : (TIBA-TIBA MENUNJUK KE LANGIT, SEOLAH-OLAH MENUNJUK KE SUATU TEMPAT YANG MENARIK) Lihatlah ada burung camar. Seekor burung camar.

KURUS : Maafkan kalau saya mengatakan dengan terus terang, bahwa saya orang yang tamak. Saya selalu memikirkan diri sendiri. Bahkan ketika saya masih sekolah, saya biasa makan siang seorang diri, saya tak pernah membagi makanan saya dengan orang lain.

GENDUT : Alangkah tidak menyenangkan. Kalau dalam hal ini kita terpaksa harus melakukan dengan undian.

SEDANG : Baik.

KURUS : Itu pemecahan yang paling baik.

GENDUT : Kita akan ambil undian dengan cara sebagai berikut. Salah satu dari kalian menyatakan sebuah nomor. Kemudian seorang lagi akan memilih nomor lainnya. Akhirnya sayapun akan memilih nomor yang ketiga. Apabila jumlah ketiga nomor itu ganjil, maka undian jatuh pada saya. Saya boleh kalian makan. Tetapi, apabila jumlah nomor itu genap, salah satu dari kalian boleh dimakan. (PAUSE)

SEDANG : Tidak … Saya tidak suka cara-cara berjudi.

KURUS : Apa yang terjadi kalau sekiranya yang kau lakukan yang salah?

GENDUT : Terserahlah kalau kau tidak mempercayai aku.

SEDANG : Sebaiknya kita mencari jalan lain saja. Kita orang-orang yang berbudaya. Menarik undian adalah cara-cara sisa jaman dulu.

KURUS : Itu kepercayaan nonsen.

GENDUT : Baiklah. Kita dapat pula mengatur suatu pemilihan umum.

SEDANG : Ide yang baik. (KEPADA SIGENDUT) Saya usulkan, agar kau dan aku membentuk satu front dalam pemilihan. Itu akan memudahkan kampanye.

KURUS : Demokrasi sudah usang …

GENDUT : Tetapi sudah tidak ada jalan lain. Kalau kau lebih menyukai kediktatoran, maka saya akan berbahagia kalau dapat menciptakan kekuasaan tertinggi.

KURUS : Tidak. Persetan dengan tirani.

GENDUT : Kalau begitu pemilihan bebas saja.

SEDANG : Dengan kartu pemilih yang bebas dan rahasia.

KURUS : Dan tidak boleh membentuk satu front. Setiap calon harus berkampanye sendiri-sendiri dan terpisah.

Naskah Drama Wek-Wek; Karya: D. Djaya Kusuma

2 komentar:

ADEGAN I
SEKELOMPOK BEBEK MEMASUKI PANGGUNG

Petruk: Sejauh mata memandang, sawah luas terbentang, tapi tidak sebidang tanah pun milikku. Padi aku yang tanam, juga aku yang ketam. Tapi tidak segenggam milikku. Bebek tiga puluh ekor, semuanya tukang bertelor. Tapi tidak juga sebutir adalah milikku. Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang. Hanya itu saja milikku.

ADEGAN II
BAGONG DAN PENGAWALNYA MEMASUKI PANGGUNG

Bagong: Aku orang berada, apa-apa ada. Juga buah dada, itulah beta. Sawah berhektar-hektar, pohon berakar-akar, rumah berkamar-kamar, itulah nyatanya. Kambing berekor-ekor, bebek bertelor-telor, celana berkolor-kolor, film berteknik kolor. Perut buncit ada, mata melotot ada, pelayan ada, pokoknya serba ada.

ADEGAN III
GARENG DAN EMPAT KAWANNYA MEMASUKI PANGGUNG

Gareng: Badannya langsing, matanya juling, otaknya bening. That’s me!
Tipu menipu, adu mengadu, ijazah palsu, that’s me!
Gugat menggugat, sikat menyikat, lidah bersilat, that’s me!
Profesiku pokrol bambu, siapa yang tidak tahu, that’s me!

ADEGAN IV

Semar: Saya jadi lurah sejaak awal sejarah, sudaah lama kepingin berhenti tapi tak adaa yang mau mengganti. Sudah bosan, jemu, capek, lelah. Otot kendor, mata kabur, mau mundur dengan teratur, mau ngaso di atas kasur.
Saya kembung bukan karena busung, mata berair bukan karena banjir, tapi karena menjadi tong sampah. Serobotan tanah, pak lurah. Curi air sawah, pak lurah. Beras susah, pak lurah.
Semua masalah, pak lurah, tapi kalau rejeki melimpah, pak lurah…tak usah…payah.

ADEGAN V
BAGONG DAN PENGAWALNYA MEMASUKI PANGGUNG

18 Mar 2011

Mimpi

Tidak ada komentar:


Apa jadinya jika cinta yang dianggap kekal, tapi justru ia meninggalkanmu. Apa jadinya jika pemberian yang dianggap kekal, padahal ia hanya sesaat, ia datang dengan sendirinya, berpaling dengan sendirinya, kapan pun ia mau.

“Namanya juga cinta, Bu…” Aku hanya bisa menjawab demikian ketika ibu menanyakan perihal waktuku yang terkuras habis untuk bermesraan dengan Firas. Ibu sempat menasihatiku sebelum menutup teleponnya, aku hanya terdiam mendengar nasihat yang sering kali diutarakannya itu kepadaku. Perhatian ibu kepadaku memang menanjak drastis semenjak ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Memang wajar adanya kalau ibu bersikap demikian, karena aku anak semata wayangnya, siapa lagi yang ia miliki selain diriku. Aku jadi sedih kalau teringat ibu, aku ingin selalu berada di sampingnya, tapi pekerjaanku tidak memungkinkan keinginan itu bisa terwujud. Ditambah lagi aku sering menghabiskan waktu luangku untuk Firas, kekasih hati yang sangat aku sayangi, pasti sangat sedikit sekali waktuku untuk ibu. Firas, gadis manis asal Bandung yang telah mengobrak-abrik palung hatiku. Pernah sesekali aku ajak dia untuk kuperkenalkan kepada ibu, namun tampaknya ibu tidak begitu suka dengannya, entah lantaran cemburu karena aku lebih memilih menghabiskan waktu dengannya atau ia merasa iri karena ia lebih cantik dari ibu, atau ada alasan lain yang belum sempat aku cari. Alah, semua itu tidak jadi masalah buatku, bagiku cintaku kepada Firas membuatku tidak mampu memikirkan hal lain selain dirinya, senyumannya, tatapan matanya yang hangat, melihat caranya berbicara, caranya menyentuhku, memanjakanku, seakan semuanya surga telah tersirat dalam kehidupanku.

21 Feb 2011

Nyonya-nyonya-Wisran Hadi

2 komentar:
Dipentaskan pertama kali oleh Akademi Seni Kebangsaan Kemantrian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia pada Maret 2004 di Auditorium Tuanku Abdul Rahman, Pusat Pelancongan Malaysia, Kuala Lumpur

Dipentaskan kedua kalinya oleh Akademi Seni Kebangsaan Kemantrian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta pada 2 dan 3 maret 2004 di teater Kecil Taman Ismail Marzuki


Naskah ini dipersembahkan kepada Istri tercinta, Putri Reno Raudha Thaib



TUAN Pedagang Barang Antik
NYONYA Istri Kedua Datuk
PONAKAN A Kemenakan Suami Nyonya
PONAKAN B Kemenakan Suami Nyonya
PONAKAN C Kemenakan Suami Nyonya
ISTRI Istri Tuan


DI TERAS

TUAN
Drastis! Perubahan cuaca memang sulit dipastikan, walau pun televisi setiap malam mengumumkan ramalannya. Sulitnya di sini, mereka meramal tanpa memperhitungkan kondisi-kondisi lain. Akibatnya, yang jadi korban selalu saja orang-orang seperti saya. Berdiri berjam-jam sejak senja, taksi tak ada yang lewat, dan malam tiba-tiba saja turun!

Mestinya pedagang barang antic seperti saya harus dilindungi dari bencana alam yang datang mendadak. Bukan hanya karena langkanya pedagang barang antic, tapi karena barang antik itu sendiri yang sudah langka sekarang.

Tetapi, ah! Orang-orang itu! jangankan untuk melindungi saya, mereka datang ke sini maunya hanya duduk, berderet-deret dalam gelap lagi – berbisik menggunjungkan saya dan menunggu-nunggu tindakan apa lagi yang akan saya lakukan.

Orkes Madun I Atawa Madekur dan Tarkeni -Arifin C Noer

Tidak ada komentar:

Catatan:

Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itupun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin

PENGANTAR

Ketika menulis naskah Madekur dan Tarkeni, Arifin pernah bilang bahwa nakahnya ini adalah bagian dari sebuah trilogy, yaitu Orkes Madun yang terdiri dari Madekur dan Tarkeni, Umang-umang dan Ozone. Selesai dengan Umang-umang, Arifin menulis lagi dengan judul Sandek; Pemuda Pekerja, yang semula dikiran teman-teman Teater Ketjil adalah naskah yang berdiri sendiri. Tetapi, menjelang latihan Sandek, Pemuda Pekerja yang bersamaan dengan penulisan naskahnya (Kebisaaan Arifin, latihan sambil menulis naskahnya) dia tulis pada sampul naskah judulnya sebagai Sandek, Pemuda Pekerja atawa Orkes Madun IIa, dan tidak pernah diubah. Selanjutnya dia menulis Ozone atawa Orkes MAdun IV. Lalu ia nyatakan bahwa Orkes Madun adalah sebuah pentalogi, dan bahwa yang kelima akan berjudul Magma ia bercerita kemana-mana tentang Magma. Juga kepada anak-anak sekolah Perancis di Jakarta, hingga bebebrapa dari mereka tergerak membuat komik Magma yang juga dimuat dalam kumpulan naskah ini. Tetapi, Arifin tak sempat sama sekali menulis Magma. Lalu orkes Madun III, ya, Sandek, Pemuda Pekerja itulah yang ketika rencananya trilogy, dia adalah IIb, tetapi ketika rencana berubah pentalogi, dia pun menjadi III. Namun tidak sempat Arifin mengubahnya, Arifin meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995 karena Kanker dan Sirosis hati.

Orkes Madun II Atawa Umang-Umang-Arifin C Noer

Tidak ada komentar:

Catatan:

Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itu pun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin



WASKA
BOROK
RANGGONG
BIGAYAH
DEBLENG
GUSTAV
JAPAR
BUANG
NABI-NABI
EMBAH
EMBAH PUTRI
SENIMAN/JONATHAN
TUKANG JAMU
TUKANG SEKOTENG
TUKANG KUE
TUKANG PIJAT
ANAK KECIL
JURU KUNCI
ANAKNYA
ENGKOS
DAJJAL
DAN LAIN-LAIN


BAGIAN PERTAMA

LONCENG DUA KALI
ROMBONGAN WASKA LEWAT
KOSONG

LONCENG DUA KALI
ROMBONGAN WASKA (MAKIN BANYAK) LEWAT
KOSONG

LONCENG DUA KALI
ROMBONGAN WASKA (MAKIN BANYAK LAGI) LEWAT
KOSONG

ROMBONGAN WASKA MAKIN BANYAK MUNCUL TAK EBRATURAN UNTUK KEMUDIAN MENYEBAR MENYELINAP MENJAUHI PENTAS. SIKAP MEREKA MENGESANKAN SEDANG MENGINTIP. KOSONG DENGAN BUNYI DETIK LONCENG.

LONCENG DUA BELAS KALI.
BERSAMAAN DENGAN ITU MUNCUL WASKA
SENAR MENANGGALKAN PERAN WASKA

SEMAR
Apakah yang sedang terjadi atau telah terjadi, para penonton? Atau sedang apakah aktor-aktor atau aktris-aktris tahadi? Mungkinkah mereka titik titik titik? Atau barangkali mereka titik titik titik? Jawabnya; mungkindan barangkali. Atau? Atau? Dan seterusnya masih banyak lagi deretan pertanyaan untuk adegan yang barusan tadi.

Nah, saya, Semar. Pemimpin rombongan sandiwara ini tanpa tedeng aling-aling ingin menjelaskan dan membuka segala sesuatunya apa adanya. Para penonton, percayahlah dan yakinlah bahwa mereka tadi sedang dalam perjalanan di pimpin oleh seorang penjahat besar, bernama Waska, yang kebetulah saya mainkan sendiri sekaligus menyutradari. Lantas, perjalanan kemanakah, para penonton? Jawabannya: tontonlah sandiwara ini.

ORKES MADUN III Atawa SANDEK-Arifin C. Noer

Tidak ada komentar:

Catatan:

Naskah ini diketik ulang dari buku kumpulan naskah drama Orkes Madun yang diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Firdaus bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation ISBN 979-541-119-5
Publikasi naskah ini dimaksudkan sebagai upaya penyediaan naskah drama dan sebagai bahan referensi pembelajaran bagi individu atau kelompok-kelompok teater yang membutuhkannya.
Disarankan bagi siapa saja yang memiliki cukup akses, agar membeli buku terkait. Itu pun dalam upaya membantu pengarang dan keluarganya. Kekayaan hak intelektual naskah ini tetap ada pada pengarangnya.
Dan dimohon bagi pengunduh naskah ini untuk tidak menghapus catatan ini, sebagai bukti pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang.

Terima kasih.
Lee Birkin

SATU

SEMUA ORANG MAU LEPAS DARI IKATAN APAPUN NAMANYA. DARAH MENGALIR BEREDAR, MAU LELUASA. GERAKAN TIDAK LAGI MAU MEMPUNYAI BENTUK. SUARA TIDAK MAU LAGI MEMPUNYAI HURUF. WAKTU DAN TEMPAT CAIR. JUGA ISINYA. YANG ADA CUMA RUH.

SANDEK
Saya mau bicara. Saya mau bicara

(Tidak ada sahutan. semua diam. semua diam. diam dan aneh. mereka sudah menyimpan suatu rahasia yang menakutkan)

Saya mau didengarkan

(Seseorang menembak lawannya)

saya mau didengarkan!

(Orang itu menembak dirinya sendiri)

Saya perlu kawan. Saya perlu kawan
Saya tidak bias sendirian. Saya tidak
bisa terus-terusan jadi solis. Saya perlu orkes
lalu saya perlu penonton
lalu saya perlu menonton

(Lalu dia ngamuk. lalu dia setanan. lalu orang-orang memburunya. lalu orang-orang menangkapnya. lalu orang menyalibnya. dan ketika ia mengamuk tadi dia mengucapkan segala macam kata-kata jorok. dalam berbagai bahasa dan dialek)

RT NOL RW NOL - Iwan Simatupang

Tidak ada komentar:
ADEGAN I


KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI.

KAKEK
Rupa-rupanya, mau hujan lebat.

PINCANG (Tertawa)
Itu kereta-gandengan lewat, kek!

KAKEK
Apa?

PINCANG
Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.

KAKEK (Menggeleng-Gelengkan Kepalanya, Sambil Mengaduk Isi Kaleng Mentega Di Atas Tungku)
Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.

ANI
Lalu?

KAKEK
Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.

KAKEK
Kalau begitu apa guna larangan?

ANI
Untuk dilanggar.

KAKEK
Dan kalau sudah dilanggar?

ANI
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.

KAKEK MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, TERUS MENGADUK MASAKANNYA. SUARA GEMURUH LAGI.

PINCANG
Kali ini, suara itu adalah suara guruh.

ANI (Tersentak)
Apa?!

PINCANG (Tertawa)
Itu neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak lama lagi hujan turun.

SOBRAT - Arthur S. Nalan

Tidak ada komentar:
Catatan Gelap

Kisah ini diilhami oleh tragedi penambang emas liar di daerah gunung Pongkor, Jawa Barat. Serta, kejadian aneh yang dialami pembantu saya sekitar tahun 80 an yang bernama Jaman. Dia suka nomor buntut, dan ia bermimpi berjumpa dengan jin wanita di garasi rumah, jin itu membisikan nomor jitu dengan dengan syarat Jaman harus bersedia kawin dengannya. Tanpa piker panjang, Jaman bersedia dan nomor pun kena. Akibatnya, Jaman jadi kaya menurut ukurannya, lalu pulang ke kampungnya dan menikah dengan gadis pilihannya. Ternyata jin wanita itu menagih janji dan menganggap Jaman berkhianat. Jin itu hanya meniup tangannya dan menciumnya dalam mimpi. Sejak saat itu, Jaman jadi bisu dan tuli. Percaya atau tidak bahwa dalam hidup ini adakalanya muncul keanehan. Dan, keanehan bagi seorang penulis lakon adalah lahan untuk didramatisir. Dengan mengambil setting masa penjajahan ketika masa kuli kontrak merajalela, sandiwara ini dikembangkan. Hasilnya, sebuah sandiwara gelap yang terdiri dari delapan belas bagian berjudul SOBRAT. Siapa tahu bisa jadi cermin bahwa kita memang masih jadi bangsa kuli sampai sekarang dan pengiriman TKI/TKW tak akan pernah berhenti.


DRAMATIC PERSONAE

Sobrat Pemuda Kampung Lisung
Samolo Pemuda Kampung Lisung
Doyong Pemuda Kampung Lisung
Mimi Ibu Sobrat
Wak Lopen Pemilik Warung
Rasminah Nyai/Istri Sobrat
Surobromo Guru judi Sobrat
Mongkleng Hawa Nafsu
Silbi Gendruwi Mahluk Halus Penguasa Bukit Kemilau
Inang Honar Pencari Tenaga Kerja
Mandor Bokop Mandor
Mandor Burik Mandor
Mandor Mandor
Dongson Bandar Judi Koplok