Simpel,
praktis, cukup sambil berdiri, tinggal pencet tombol, selesai. Ya, itulah
Pispot. Kalau kita berkunjung ke mal
atau kantor-kantor perusahaan, Pispot selalu ada di toilet laki-laki, dan tidak
ada di toilet perempuan. Jadi, pispot jelas untuk lelaki, bukan untuk waria,
apalagi wanita.
Di
kantor, tiap kali saya masuk toilet dan bertemu dengan pispot, saya selalu
bertanya kiranya siapa yang mendapatkan ide brilian membuat sebuah pispot ini?
bagi saya ini menakjubkan. Pispot bukan sekadar alat untuk menyalurkan 'hasrat'
buang air kecil tetapi juga sebuah simbol maskulinitas. Pispot adalah simbol
kepraktisan, simpel, gampang, santai, itu senada dengan jiwa seorang laki-laki.
Lalu bagaimana dengan perempuan? Apa tempat kencing mereka juga di pispot?
memangnya perempuan bisa kencing di pispot? logika ini lalu menggiring ingatan
saya ke beberapa tahun lalu ketika masih nyantri di Buntet Cirebon, waktu itu
zaman pemilu tahun 2004, saya pernah mendengar juru kampanye partai
teriak-teriak "perempuan gak boleh jadi pemimpin! karena perempuan gak
bisa kencing di botol..!" sampai detik ini masih sangat saya ingat
kata-kata itu. Walau bernada seksisme, namun jujur, ada benarnya juga sih.
Selain
memang tidak bisa kencing di botol, perempuan memang tidak diciptakan untuk
menjadi pemimpin, karena kata Tuhan laki-laki adalah pemimpin (pelindung) bagi
perempuan (lihat: surah Annisa ayat 34). Dalam shalat, Perempuan hanya boleh
mengimami perempuan lainnya, jika ada laki-laki walaupun ia anaknya si
perempuan tetap saja si anak laki-laki itu yang berhak menjadi imam, bahkan
jika ada huntsa (waria), maka yang berhak menjadi imam dalam shalat adalah si
huntsa, bukan si perempuan. Doktrin agama dan logika-logika normatif yang
berlaku itu lalu semakin mengukuhkan teori bahwa seorang perempuan memang bukan
dilahirkan untuk menjadi imam atau pemimpin bahkan pelindung.