Tampilkan postingan dengan label pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pesantren. Tampilkan semua postingan

12 Mei 2020

kopi,-

Tidak ada komentar:

Kedai Kopi Kong Djie, Blitong 2018
Tulisan ini dimuat juga di mading.id


“Tidak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama. –Rousseau.

 
Kawan, izinkan saya bicara sedikit perihal kopi. Tentu bukan dalam perspektif ahli apalagi seorang sufi. Ini murni dari seorang penikmat kopi. Tidak lebih. 

Bicara kopi, tentu kita akan banyak menemukan seabrek informasi di alam daring, misalnya dalam hal bahasa. Kata “kopi” diadaptasi dari bahasa Arab “qahwa” atau “kahve” dalam istilah Turki. Kata ini mulai diadaptasi ke dalam banyak bahasa Eropa sekitar tahun 1600-an, seperti bahasa Belanda “koffie”, bahasa Perancis “cafĂ©”, bahasa Italia “caffè”, bahasa Inggris “coffee”, bahasa Cina “kia-fey”, bahasa Jepang “kehi”, dan bahasa melayu “kawa”. Hampir semua istilah untuk kopi di berbagai bahasa memiliki kesamaan bunyi dengan istilah Arab. (Wiliam H. Ukers dalam All About Coffe (1922) seperti disitir oleh laman sasamecoffee.com.).

Kopi, sejak tahun 1453, sudah diperkenalkan oleh Ottoman Turki di Konstantinopel. Kedai kopi pertama di dunia yang bernama Kiva Han pun berada di kota ini, tepatnya dibangun 22 tahun setelah diperkenalkan.

Saya percaya jika kopi merupakan salah satu minuman favorit orang-orang saleh. Dulu waktu nyantri, saya pernah mendengar seorang kiai bercerita, kopi dan rokok adalah teman sehari-hari kaum santri. Para santri meminum kopi agar bisa terjaga di malam hari untuk membaca kitab kuning, dan rokok menjadi alat penerangannya. Tak hanya sebagai alat untuk menghilangkan kantuk, kopi pun menjadi sarana untuk berzikir. Saat mengaduk kopi, konon hitungan mengaduknya dihitung sampai 33 kali ke arah kanan dan 33 kali ke arah kiri. Terus terang, cerita itu sangat memesona saya.

11 Agu 2015

Mahaguru Pesantren: Syaichona Cholil Bangkalan

Tidak ada komentar:

Judul Buku: Mahaguru Pesantren: Syaichona Cholil Bangkalan
Penulis: Mokh. Syaiful Bakhri
Tebal Hal:  200 halaman
Tahun Terbit: 2015
Cover: Farid Sabilah Rosyad


KH. Cholil Bangkalan adalah ulama besar yang sukses mencetak banyak ulama besar di Indonesia. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah adalah dua orang pendiri Nahdlatul Ulama organisasi Islam terbesar di dunia yang pernah nyantri kepada KH. Cholil.

Tidak hanya sukses mencetak para ulama besar, semangat, ketekunanan, kemandirian, ke-tawadhu’an, kesabaran, kekhidmatan, kecerdasan, dan kreativitasnya sangat patut dijadikan contoh bagi para pendidik dan generasi muda Indonesia.

Buku ini memotret gambar panjang sosok KH. Cholil yang teguh menuntut ilmu dari pesantren ke pesantren sampai akhirnya berburu ilmu ke kota suci Mekkah. Simak pula bagaimana ia menjalani hidupnya sebagai petugas jaga malam di kantor pejabat Adipati Bangkalan, sampai akhirnya menjadi mantu sang Adipati karena kagum akan kecerdasan KH. Cholil.

Selain itu, terdapat pula kisah unik penyambutan Hasyim Asy’ari sebagai santri baru yang harus terlebih dahulu masuk ke kurungan ayam, juga kisah Wahab Hasbullah yang disambut oleh KH. Cholil dan satrinya dengan teriakan “macan” sambil mengacung-acungkan celurit, tongkat, pedang, dan batang kayu.

Resensi lengkap: www.nu.or.id


Pesantren-Pesantren Berpengaruh di Indonesia

2 komentar:
Judul Buku: Pesantren-Pesantren Berpengaruh di Indonesia
Penulis: Olman Dahuri & M. Nida Fadlan
Tebal Hal: 
248halaman
Tahun Terbit: 2015
Cover: Yudi

Pesantren termasuk lembaga pendidikan paling tua di Indonesia yang punya daya tahan luar biasa. Apa yang membuat sebuah pesantren mampu bertahan, bahkan punya pengaruh besar dalam waktu yang lama hingga ratusan tahun?

Selain memenuhi prasyarat dasar dengan kehadiran figur seorang kiai, santri, pondok, kajian kitab-kitab kuning, dan bangunan masjid yang menjadi episentrum kegiatan santri dan masyarakat, masih banyak faktor lain yang membuat sebuah pesantren mampu bertahan selama puluhan bahkan ratusan tahun dengan daya pengaruh dan sumbangsih yang besar. Dua puluh pesantren yang termuat di buku ini membuktikan agar tak ditelan derap zaman, pesantren tidak boleh berhenti sebagai lembaga pendidikan dan menjadi penjaga moralitas agama semata. Pesantren juga harus turut aktif menjadi pengerek terdepan bagi perubahan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Menguak rahasia bagaimana para kiai merintis, mengembangkan, dan memajukan pesantren sambil mendayung di antara dua arus yang saling bertolak belakang antara mempertahankan tradisi dan mengakomodasi modernisasi.

Menelusuri jejak para kiai yang punya sumbangan besar dalam merajut wawasan kebangsaan Indonesia.

Menyajikan ulasan mendalam tentang dinamika kehidupan pesantren-pesantren yang pengaruhnya di tanah air cukup besar, bahkan melintas batas hingga mancanegara.

9 Jan 2014

gus,-

Tidak ada komentar:

www.nu.or.id
Tulisan ini juga dimuat di www.nu.or.id

Gus, seumur hidup, saya pernah melihat tampang dan tubuhmu secara langsung hanya di dua kali kesempatan. Yang pertama saat dirimu datang di acara Haul Sesepuh Almarhumin di Buntet Pesantren Cirebon, kedua, saat dirimu menghadiri acara pentas musik Cak Nun dan Kyai Kanjeng di UIN Jakarta.
***


Gus, selamat, kelahiran PKB yang kau bidani, yang resmi menjadi peserta pemilu tahun 1999 itu sudah menjadi juru damai buat dua kubu kyai-kyai (dalam soal politik) di Buntet Pesantren Cirebon, tempat saya nyantri dulu. Sebelum PKB-mu itu ada, dua kubu ini (Kyai Golkar dan Kyai PPP) sering gontok-gontokan cocot dan pemikiran. Sebenarnya waktu itu kami tidak peduli soal itu, kami tidak mengerti, Gus. Tapi kami jadi jengkel juga, sebab yang menjadinya peluru buat perang mereka, ya kami, para santri. Jadi, Gus, Kalau kyai A kesal sama kyai B, maka biasanya santri kyai A yang dicecar sama Kyai B, kena omel, dan lain sebagainya. 

Tapi Gus, setelah PKB-mu itu terbentuk, dua kubu itu runtuh, para kyai menjadi tersatukan dalam satu rumah. Kami tentu senang, terlebih kami tak lagi jadi bulan-bulanan. Terima kasih Gus. Oh iya, Gus, namamu saat itu menjadi sangat terkenal. Saya juga menjadi merasa kenal dengan dirimu.
Gus, mungkin kau tak pernah tahu jika PKB-mu datang seperti membawa ‘ajaran’ baru untuk saya. Mohon maaf, waktu itu dirimu pun saya anggap seperti ‘nabi’ baru. Tidak mungkir, dirimu sangat saya idolakan.