29 Jul 2011

Teater Gidag Gidig

Teater Gidag Gidig in Action
Jujur, seumur hidup saya, saya belum pernah menyaksikan suguhan karya teater sebagus yang disuguhkan oleh kelompok teater ini. Waktu itu saya dan beberapa teman di kelompok teater saya (sanggar altar) menyaksikan teater Gidag Gidig mementaskan drama karya Putu Wijaya yang berjudul Dag Dig Dug di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, namun entah tahun berapa saya lupa. Melihat apa yang suguhkan teater Gidag Gidig ini membuat saya terus berpikir dan membayangkan betapa kerasnya usaha mereka dalam menaklukkan dan menerjemahkan konflik-konflik dalam naskah Putu Wijaya yang konon katanya selalu "meneror mental" itu. Drama Dag Dig Dug begitu anggun dibawakan kelompok teater ini. Di tangan mereka drama ini begitu gurih sangat impresif. Saking gurihnya, bahkan pada saat itu saya merasa tidak sedang menonton suatu pertunjukan, melainkan menyaksikan kehidupan nyata. Terima kasih teater Gidag Gidig atas suguhan bagusnya, semoga amal ibadah Anda sekalian selalu dicatat dan diterima oleh Tuhan Yang Mahakuasa.Oh iya, tulisan ini sengaja ditulis sebagai ungkapan bahagia saja, jika ingin membaca ulasan tentang naskah drama Dag Dig Dug karya Putu Wijaya ini, saya sarankan Anda mengunjungi http://skripsi.dagdigdug.com dijamin Anda akan mendapatkan ulasan yang menarik.

Berikut di bawah ini semacam profil teater Gidang Gidig yang sengaja saya ambil dari www.kelola.or.id 
TEATER GIDAG GIDIG didirikan pada 21 September 1976, di SMAN 4, Surakarta. Anggotanya, anak-anak SMA, dan Hanindawan masih seorang aktor. Pimpinan dan sutradaranya, Bambang Sugiarto, kakak kelas Hanindawan. Pada 1982, Hanindawan sempat menyatakan berhenti, tapi malah diminta memimpin kelompok itu. Maka, sejak itu hingga sekarang, tampuk pimpinan kelompok ada di tangan Hanindawan.
Hanin, demikian Hanindawan biasa disapa, dikenal sebagai dramawan yang mampu mengangkat persoalan-persoalan pelik kehidupan dengan ringan sehingga bisa dicerna penonton dari berbagai latar belakang. Dia juga sutradara yang mampu membesut naskah dramawan lain dengan garapan yang khas dia.

Pada 2004, kehadiran Hanindawan dan Teater Gidag Gidig pada Panggung Teater Realis di TIM Jakarta, mampu mencuri perhatian banyak pihak. Dia menggarap Dag Dig Dug karya Putu Wijaya secara mengejutkan. ’Teror’ bertubi-tubi ala Putu dibesut Hanindawan dengan gaya berbeda. Naskah tidak kehilangan ’roh’-nya, namun berhasil ditampilkan khas Hanin; penuh guyon.

Ciri menyampaikan pesan lewat guyonan telah terlihat sejak Hanin mulai menulis. Naskah pertamanya, Paing Si Bediende, ditulis 1982, adalah naskah ringan penuh banyolan. Hingga kini, naskah itu masih sering dipentaskan. Meski ringan, jejak kecerdasan Hanin sebagai dramawan sudah dapat dilacak. Paing Si Bedinde cukup utuh sebagai naskah panggung dengan teknik penggarapan ruang yang piawai.

Hanin memiliki sikap yang terbuka. Dia sudi belajar kepada siapa pun tanpa memperdulikan perbedaan pendidikan atau usia. ”Saya tidak pernah merasa besar atau merasa sebagai seniman dengan ukuran-ukuran tertentu. Saya hanya ingin mengekspresikan hasrat kesenian saya sesuai dengan ruang yang tersedia tanpa merasa terganggu ukuran-ukuran yang biasa dibuat orang,” ujar Hanin.

Bersama Gidag Gidig, setiap 17 Agustusan dan Desember (HUT Gidag Gidig), Hanin menggelar pentas di kampung-kampung dengan peralatan seadanya. Tak melulu teater, juga ketoprak atau pentas musik. Sambutan masyarakat kampung sangat antusias. Ikatan persaudaraan antara anak-anak sanggar (sebutan bagi anggota Gidag Gidig) dengan warga terjalin baik. Tak jarang para pemuda kampung tertarik, dan bergabung. Tak sedikit pula anak-anak sanggar yang menikahi warga kampung.

Model latihan mengalir seperti itulah, yang kian mematangkan pribadinya sebagai pekerja seni dan penulis drama. Dengan cara itu pula, Hanin mendidik anak-anak asuhannya. Beberapa murid Hanin, kini telah merintis dunia kesenimanan atau memiliki kelompok teater sendiri. Antaralain; Sosiawan Leak (sastrawan/pimpinan Teater Klosed), Joko Bibit Santosa (pimpinan Teater Ruang), Esha Kardus (penata panggung), Didik Panji (sutradara dan aktor), Meong Purwanto (aktor) dan lain-lain.

Hanin telah menulis lebih dari 25 drama. Keberpihakanya pada nilai-nilai kemanusiaan sangat kuat. Baginya, semua manusia adalah makhluk yang memiliki harkat sama di mata Tuhan. Dan hal itu tertanam di hampir semua karyanya. Namun, Hanin tak pernah menyampaikannya dengan meledak-ledak. Dia bungkus karyanya dengan santun, kalem, disisipi guyonan cerdas. Dan itulah karakter Hanin.

Hanin mengaku tak ingin memberitahu dengan anggapan orang itu bodoh atau samasekali tidak tahu. Dia lebih suka menganggap, penonton pementasannya adalah orang yang sebenarnya sudah tahu, tapi sedang lupa. Orang yang lupa, tak perlu diberondong dengan pernyataan-pernyataan keras. Katanya, “Cukup disentil saja, akan sadar kembali. Dengan diajak tertawa justru akan merasa lebih disodok tanpa harus membuatnya tersinggung. Jika dicecar dengan keras bisajadi malah menolak.”

Karya yang pernah dipentaskan:

Dag Dig Dug,Dor (2004)
Bukan Boneka Patah (1998)
Merdeka Sakit(1994)
Pedati Kita Di Kubangan,Wabah (1993)
Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek/Danarto
Tengul, Umang-Umang, Mega Mega, Kucak Kacik, Kapai Kapai/Arifin C. Noer
Karto Luwak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar