9 Jan 2014

gus,-

Tidak ada komentar:

www.nu.or.id
Tulisan ini juga dimuat di www.nu.or.id

Gus, seumur hidup, saya pernah melihat tampang dan tubuhmu secara langsung hanya di dua kali kesempatan. Yang pertama saat dirimu datang di acara Haul Sesepuh Almarhumin di Buntet Pesantren Cirebon, kedua, saat dirimu menghadiri acara pentas musik Cak Nun dan Kyai Kanjeng di UIN Jakarta.
***


Gus, selamat, kelahiran PKB yang kau bidani, yang resmi menjadi peserta pemilu tahun 1999 itu sudah menjadi juru damai buat dua kubu kyai-kyai (dalam soal politik) di Buntet Pesantren Cirebon, tempat saya nyantri dulu. Sebelum PKB-mu itu ada, dua kubu ini (Kyai Golkar dan Kyai PPP) sering gontok-gontokan cocot dan pemikiran. Sebenarnya waktu itu kami tidak peduli soal itu, kami tidak mengerti, Gus. Tapi kami jadi jengkel juga, sebab yang menjadinya peluru buat perang mereka, ya kami, para santri. Jadi, Gus, Kalau kyai A kesal sama kyai B, maka biasanya santri kyai A yang dicecar sama Kyai B, kena omel, dan lain sebagainya. 

Tapi Gus, setelah PKB-mu itu terbentuk, dua kubu itu runtuh, para kyai menjadi tersatukan dalam satu rumah. Kami tentu senang, terlebih kami tak lagi jadi bulan-bulanan. Terima kasih Gus. Oh iya, Gus, namamu saat itu menjadi sangat terkenal. Saya juga menjadi merasa kenal dengan dirimu.
Gus, mungkin kau tak pernah tahu jika PKB-mu datang seperti membawa ‘ajaran’ baru untuk saya. Mohon maaf, waktu itu dirimu pun saya anggap seperti ‘nabi’ baru. Tidak mungkir, dirimu sangat saya idolakan. 

18 Nov 2013

air,-

Tidak ada komentar:
Tulisan ini dimuat juga di www.nu.or.id

Mari bernostalgia dengan air. Dulu, ketika kecil, saya selalu minum air dari kendi, sebuah teko mungil yang terbuat dari tanah. Air yang saya minum itu adalah air sumur yang dimasak dulu di dapur. Jika sudah suam kuku, air lalu dimasukkan ke dalam kendi, Jadilah air yang dingin. Jika air baru saja dimasak, dan saya sangat haus, sering kali bapak saya mendinginkannya dengan cara dituang dibolak-balikan dari gelas ke gelas. Walau haus, saya menunggunya dengan sabar.

Kini jauh berbeda, air sepertinya begitu mudah didapatkan, di depot-depot air isi ulang, di super market. Jika ingin mendinginkannya, cukup masukkan saja ke dalam kulkas, tak perlu lagi kendi. Praktis memang, tapi jelas ada yang hilang, tidak ada lagi proses pendinginan dari gelas ke gelas dan tidak ada lagi pelajaran kesabaran.
Dulu, waktu masih nyantri di Buntet Pesantren Cirebon, setiap malam jumat selalu ada acara yang disebut “Manakib-an”,  yaitu kenduri dan pembacaan shalawat untuk kanjeng Nabi Muhammad SAW, biasanya kami lakukan ini di masjid atau cukup di aula asrama. Kami membentuk lingkaran, di tengah lingkaran kami meletakkan beberapa wadah yang berisi air minum. Tak jarang, usai manakib-an, air-air itu diserbu demi mengalap berkah.

Konon, air yang diperdengarkan dengan bacaan–bacaan doa dan shalawat akan membuat air tersebut berkah, jika diminum akan membuat otak cerdas, bermanfaat dan sehat. Kepercayaan yang sudah turun-temurun ini telah sejak lama diajarkan oleh para guru saya di pesantren. Lalu saya bepikir dari mana ceritanya? Dari mana logikanya? Walaupun demikian, saya tetap percaya dengan tradisi dan kepercayaan yang turun temurun itu; kepercayaan kuat akan menghancurkan logika.

16 Nov 2013

teater

Tidak ada komentar:
The Queen and the Rebels oleh Saturday Acting Club  

Tanggal 3 Oktober tahun lalu, malam hari di Salihara, saya dan dua sohib senior sejoli Abud dan Efri, menyempatkan diri untuk menonton suguhan drama dari Saturday Acting Club, sebuah kelompok teater dari kota Jogja. Mereka membawakan naskah berjudul “Pemberontak dan Ratu”. Pementasan ini adalah bagian dari rangkaian acara festival Salihara tahun lalu. Efri yang membayari tiket kami bertiga.

Kami bertiga duduk di barisan bangku paling depan, Andri dan Efri duduk berdampingan di tengah barisan depan, sementara saya memilih duduk terpisah, yaitu di samping barisan tepat dekat salah satu pintu masuk panggung.

Saat masuk, telinga kami diperdengarkan alunan piano yang pelan. Panggungnya berbentuk proscenium, tampak setingan sebuah ruangan yang lengkap dengan satu meja dan bangku-bangku. Saya duduk sudah agak lama namun pementasan belum jua dimulai, alunan piano masih diperdengarkan. Penonton sudah penuh. Tak lama, suara piano redup berganti bunyi-bunyian rentetan senjata api, sesekali bom, dan atmosfer perang perlahan demi perlahan merasuk dalam peristiwa. Setelah itu peristiwa demi peristiwa mulai dimainkan sampai usai. Intinya keluar gedung teater kami membawa secercah cahaya terang.

12 Nov 2013

Pispot

Tidak ada komentar:
Simpel, praktis, cukup sambil berdiri, tinggal pencet tombol, selesai. Ya, itulah Pispot.  Kalau kita berkunjung ke mal atau kantor-kantor perusahaan, Pispot selalu ada di toilet laki-laki, dan tidak ada di toilet perempuan. Jadi, pispot jelas untuk lelaki, bukan untuk waria, apalagi wanita.

Di kantor, tiap kali saya masuk toilet dan bertemu dengan pispot, saya selalu bertanya kiranya siapa yang mendapatkan ide brilian membuat sebuah pispot ini? bagi saya ini menakjubkan. Pispot bukan sekadar alat untuk menyalurkan 'hasrat' buang air kecil tetapi juga sebuah simbol maskulinitas. Pispot adalah simbol kepraktisan, simpel, gampang, santai, itu senada dengan jiwa seorang laki-laki. Lalu bagaimana dengan perempuan? Apa tempat kencing mereka juga di pispot? memangnya perempuan bisa kencing di pispot? logika ini lalu menggiring ingatan saya ke beberapa tahun lalu ketika masih nyantri di Buntet Cirebon, waktu itu zaman pemilu tahun 2004, saya pernah mendengar juru kampanye partai teriak-teriak "perempuan gak boleh jadi pemimpin! karena perempuan gak bisa kencing di botol..!" sampai detik ini masih sangat saya ingat kata-kata itu. Walau bernada seksisme, namun jujur, ada benarnya juga sih. 

Selain memang tidak bisa kencing di botol, perempuan memang tidak diciptakan untuk menjadi pemimpin, karena kata Tuhan laki-laki adalah pemimpin (pelindung) bagi perempuan (lihat: surah Annisa ayat 34). Dalam shalat, Perempuan hanya boleh mengimami perempuan lainnya, jika ada laki-laki walaupun ia anaknya si perempuan tetap saja si anak laki-laki itu yang berhak menjadi imam, bahkan jika ada huntsa (waria), maka yang berhak menjadi imam dalam shalat adalah si huntsa, bukan si perempuan. Doktrin agama dan logika-logika normatif yang berlaku itu lalu semakin mengukuhkan teori bahwa seorang perempuan memang bukan dilahirkan untuk menjadi imam atau pemimpin bahkan pelindung.