8 Okt 2012

Fatwa Haram MUI atas Praktik Korupsi



Bukan rahasia umum, budaya korupsi yang melanda bangsa ini semakin tidak jelas ujungnya. Kita tahu, momentum akbar tumbuh suburnya korupsi bermula sejak zaman Orde Baru. Pada saat itu akses kekuasaan yang luas dan ketergantungan kepada pihak asing membuat Indonesia terus berutang. Surga uang terus mengucur dari pihak asing dan sebagai imbalannya konsesi-konsesi pertambangan secara khusus kemudian diberikan pemerintah Indonesia. Ironisnya, kucuran dana tersebut tidak semua dikelola untuk pembangunan negara akan tetapi sebagian menjadi bancakan di lingkungan pemerintah maupun komlorasi. Walhasil, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tumbuh subur dan berlangsung bertahun-tahun bahkan diwariskan sampai sekarang.

Tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998 dan lahirnya cita-cita reformasi untuk meruntuhkan segala praktik KKN dan kesemuan pertumbuhan ekonomi Orde Baru bak pasir dideru ombak. Semangat pemberantasan korupsi yang dikobar-kobarkan kini seakan redup oleh kenyataan masih banyaknya praktik suap dan KKN yang ironisnya kini malah merambah ke setiap lini pemerintahan, mulai dari DPR, lembaga kepolisian, sampai ke kejaksaan.

Solusi untuk memberantas penyakit sosial yang sejak lama diperangi ini semakin sulit didapatkan karena nyatanya korupsi kini masih tetap ada dan semakin terorganisasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencabut akar budaya korupsi, mulai dari upaya hukum seperti pembuatan Undang-undang Anti Korupsi, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tipikor, sampai upaya sosial seperti pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat juga gencar dilaksanakan.

Tidak ketinggalan, di bidang agama, Majelis Ulama Indonesia juga turut andil dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menelurkan fatwa haram tentang korupsi pada tahun 2000 silam. Pembuatan fatwa ini diharapkan mampu meredam praktik KKN secara psikologis dan spiritual. Di dalam fatwanya MUI kemudian mengkategorikan praktik tersebut ke dalam tiga kriteria yaitu: Praktik Suap (Risywah), Korupsi (Ghulul), dan Hadiah kepada Pejabat yang kesemuanya dianggap perbuatan yang tidak benar (batil).


Pengertian Suap, Korupsi, dan Hadiah kepada Pejabat
1.    Risywah adalah pemberian seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariat) atau  membatalkan  perbuatan  yang  hak. Pemberi disebut rasyi; penerima disebut murtasyi; dan penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy (Ibn Al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
2.    Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3.    Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintahan maupun lainnya.
4.    Korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.

Fatwa MUI tentang Suap, Korupsi, dan Hadiah kepada Pejabat
Atas desakan masyarakat yang telah lama resah dengan praktik risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah kepada pejabat atau sebaliknya, maka dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi'ul Akhir 1421 H/ 25-29 Juli 2000 M, MUI telah membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul) dan Hadiah kepada Pejabat. Sidang tersebut kemudian menyepakati bahwa:

1.        Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.
2.        Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3.        Memberikan hadiah kepada pejabat:
a.        Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b.         Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan:
(1)      Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
(2)      Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya);
(3)      Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

Dalam memutuskan fatwa tersebut, Majelis Ulama Indonesia menyitir beberapa dalil antara lain:

1.“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).
2.“Hai orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa [4]: 29).
3.“Barang siapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.”  (QS. Ali Imran [3]: 161).
4.“Sesuatu yang haram mengambilanya haram pula memberikannya.” (Kaidah Fiqhiyah)  

Tanggung Jawab Pemberantasan Korupsi
Sudah lumrah diketahui bahwa praktik Korupsi telah lama diharamkan, cita-cita reformasi juga menginginkan praktik KKN segera hilang dari negeri ini, tapi ironisnya mengapa korupsi bukannya hilang bahkan malah bertambah dan menjamur? Hal ini jelas mengindikasikan bahwa bahaya laten tindak korupsi tidak cukup ditangani dengan upaya hukum dan sosial akan tetapi harus ditangani juga secara menyeluruh (universal) dari berbagai aspek.

Perlu juga disadari bahwa bahaya laten korupsi tidak hanya menghantam lini ekosistem perekonomian kita, namun juga praktik di lapangannya kerap menimbulkan gesekan konflik baik di ranah hukum, sosial, dan politik. Contohnya kita bisa lihat yang terjadi saat ini yaitu perseteruan antara Polri dan KPK menghiasi seluruh media cetak maupun elektronik. Walaupun perseteruan itu dipicu oleh hal yang teknis dan prosedural, namun kejadian ini bisa saja dipolitisasi atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan kedua lembaga ini berseteru. Belum lagi ditambah dengan pemberitaan yang beredar dan bervariasi, hal-hal seperti inilah yang sering menjadi persoalan lain dalam upaya pemberantasan korupsi.

Adanya konflik semacam ini tentu akan menambah deretan persoalan baru bagi pemberantasan korupsi. Misalnya KPK sering dibenturkan pandangan bahwa upaya hukum yang dilakukan KPK terkesan tebang pilih dan politis, namun di sisi lain ada pula pihak yang memandang bahwa justru pemerintahlah yang bersikap setengah-setengah dalam memberikan kuasa kepada KPK sehingga ada pihak-pihak tertentu yang tidak bisa disentuh secara hukum. Terlepas dari semua itu, Rasanya terlalu naïf jika kita berandai dapat memberantas korupsi sebersih-bersihnya jika sekarang saja kita masih disibukkan oleh hal-hal yang teknis.

Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab seluruh masyarakat. Sekecil apa pun upaya dalam memotong mata rantai korupsi sangatlah berharga untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan akibat ketamakan segelintir orang. Wallahu a’lam bi shawab.

seperti ditulis di www.erlangga.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar