|
Isroqiyyah http://isyraq.wordpress.com |
Kita telah mengenal dua aliran filsafat yang—konon katanya—saling bersebrangan, yaitu filsafat Peripatetik dan Iluminasionis, selain dua aliran tadi, kita pun juga telah mengenal Teologi dan Tasawuf. Secara garis besar, dari keempat aliran yang disebutkan di atas, terdapat dua metode yang dianggap ‘hampir sama’, yang digunakan oleh masing-masing aliran di atas. Metode yang dipakai oleh kaum teologi dan peritatetisme, bersifat deduktif atau silogistik, yakni penyusunan premis-premis dari kebenaran umum untuk menghasilkan kesimpulan. Sedangkan kaum sufisme dan Iluminasionis berangkat dengan metode Intuitif atau eksperiensial, yaitu, bahwa mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya (sesuatu tersebut), yang berarti pula, intuisi primer atas determinan-determinan sesuatu.
Empat aliran, dalam ulasan singkat di atas, kemudian dipertemukan dalam suatu pandangan (mazhab) baru, yaitu filsafat Mulla Shadra, sosoknya—oleh Karen Amstrong—disebut-sebut sebagai filusuf mistik syi’ah, yang karyanya menjadi inspirasi bagi para cendikiawan, para revolusioner, dan modernis, terutama di Iran . Perbedaan mazhab Peripatetik dan Iluminasionis—meminjam istilah Murtadha Muthahhari—mulai ‘didamaikan’ oleh Shadr al-Muta’allihin. Ia juga telah berhasil menjawab pelbagai hal yang menjadi pertentangan antara filsafat dan tasawuf (irfan). Bahkan Murtadha Muthahhari menilai filsafat Mulla Shadra telah berperan sebagai jalan persimpangan yang menemukan Peripatetisme, Iluminasionisme, irfan, dan teologi/kalam. Namun pada kesempatan kali ini, saya akan mengulas secara tipis, kulit bagian luar dari filsafat Mulla Shadra, yaitu yang terbagi pada tiga wilayah pengulasan, antara lain seputar biografi dan dua pandangannya tentang hakikat jiwa dan wujud.