18 Nov 2022

Menyoal Langit Tak Mendengar

Tidak ada komentar:


Ditulis akibat diskusi gak jelas,-
Forum Bacang Institute (FBI)—
Catatan 18 Nov 2022
Hijrah ahmad
 
Langit Tak Mendengar
Peter Pan 2005
 
Jadi hidup telah memilih
Menurunkan aku ke bumi
Hari berganti dan berganti
Aku diam, tak memahami
 
Mengapa hidup begitu sepi?
Apakah hidup seperti ini?
Mengapa ku s'lalu sendiri?
Apakah hidupku tak berarti?
 
Coba bertanya pada manusia
Tak ada jawabnya
Aku bertanya pada langit tua
Langit tak mendengar
 

Terkesan mendalam dan bermakna. Begitu kira-kira jika kita membaca lirik ini sekilas. Apalagi jika kita mendengarkan lagunya; begitu mars, menggebu-gebu, penuh impresi. Ya. Ariel sepertinya di sini tak hanya menghadirkan lirik, tapi kritik satir soal kehidupan, tuhan, dan kesendirian, luapan sentimentil akan eksistensi seorang anak manusia.
 
Ya. Eksistensi manusia. Boleh dibilang, salah satu problem purba anak manusia adalah persoalan eksistensial. Sependek yang saya tahu, banyak disiplin ilmu, baik teologi, psikologi, sosiologi, bahkan filsafat, persoalan eksistensial manusia selalu menjadi buah bibir yang manis dan tak habis-habis dibahas. Problem eksistensi manusia tak hanya menjelma dalam perbincangan ruang-ruang kelas, tapi juga dalam ekspresi seni yang bernama musik dan lagu, salah satunya adalah lirik besutan Ariel Noah. Lirik dan lagu ini dirilis tahun 2005.
 
Sebelum masuk ke pembahasan, saya ingin sampaikan bahwa tulisan ini semacam rangkuman dari obrolan sambil ngopi sore hari di Bacang bersama Kang Rifki Kurniawan dan Mas Alwi Kosasih. Sejujurnya, sebagai pendengar lagu-lagu Barat, saya jelas tidak terlalu serius ketika membahas ini, tapi karena dua teman saya itu sepertinya sangat tertarik dengan lirik-lirik Ariel ya, saya terpaksa aja serius nanggepinnya.
 
Oke. Mari kita bahas! Rima. Seperti penulis lagu pada umumnya, rima akan selalu menjadi pertimbangan utama dalam sebuah lirik. Di lagu ini, Ariel terlihat jelas mempertimbangkan rima. Itu standar sih. Oke, sampe di situ aman. Gak perlu dibahas panjang. Lanjut, kita masuk ke lirik. Menurut saya, mungkin siapa pun yang membaca lirik ini akan memiliki penafsiran yang sama: Pertanyaan tentang hidup yang seperti sendiri, gak ada yang mau mengerti atau peduli sama kita, terus gak tau mau ngapain lagi? dan seterusnya. Sebagai sebuah pertanyaan eksistensial, terkesan oke sih, apalagi penggunaan diksi “bumi” dan “langit”, wah banget kayanya.
 
Tidak hanya itu, di depan Ariel mengunci lirik “eksistensialnya” itu dengan istilah “hidup”Istilah yang sangat akrab dengan persoalan eksistensial. Istilah “hidup” paling tidak secara primer disebutkan sebanyak empat kali dengan predikat yang berbeda. Pertama “Hidup telah memilih” kedua “hidup begitu sepi”, ketiga “hidup seperti ini”, dan terakhir “hidupku tak berarti”. Kata “hidup” yang pertama dalam kalimat “jadi hidup telah memilih” sudah pasti dihadirkan oleh penulis sebagai penegasian akan keniscayaan takdir yang tidak mampu ditolak oleh semua manusia, yaitu “kehidupan di dunia”.  “Hidup” adalah takdir itu sendiri. Takdir milik Tuhan dan “memilih” adalah kekuasaan Tuhan. Tidak mungkin manusia memilih untuk menghidupkan dirinya sendiri. Menghidupi diri sendiri aja susah!