manazar.com |
Bediüzzaman Said Nursi di dalam karyanya Risale-i Nur pernah menganalogikan keistimewaan kalimat Bismillah dengan cerita dua orang musafir yang menempuh perjalanan di gurun pasir yang tandus. Musafir yang pertama adalah orang yang cerdas dan rendah hati, sedangkan musafir yang kedua adalah orang yang sombong dan merasa kuat. Musafir yang pertama selalu mendengar saran bahwa untuk selamat dalam perjalanan dia harus mengingat nama seorang kepala suku yang kuat dan berpengaruh. Sedangkan musafir yang kedua tidak pernah mau mendengarkan saran dan mengingat nama seorang kepala suku. Ia menganggap dirinya kuat dan hebat.
Musafir pertama selalu selamat, karena setiap kali bertemu kawanan bandit, dia selalu berkata: “Saya berjalan atas nama kepala suku ‘ini’,” lalu ia dibiarkan lewat tanpa diganggu, bahkan ia diperlakukan dengan hormat. Sebaliknya, musafir yang sombong selalu mengalami bencana dan rasa takut terus menerus karena ia tidak mengenal siapa-siapa dalam perjalanan. Tidak ada yang dapat ia andalkan selain dirinya sendiri yang sombong. Tidak ada yang mau memberinya pertolongan, bahkan hartanya ludes dirampas kawanan bandit.