Penulis: KH. Muhammad Sholikhin
Editor: Hijrah S, Adhika Prasetya.
Penerbit : Erlangga, 2011
Halaman : xxiv+536
Buku ini hadir di tengah hiruk pikuk degradasi pemahaman sebagian umat Muslim—didominasi juga oleh kalangan Muslim muda—yang menganggap bahwa ibadah shalat adalah ibadah motorik belaka yang hanya bertujuan untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan apabila keduanya telah tercegah, maka shalat tidak diperlukan lagi.
Pemahaman yang salah ini bahkan sudah menjadi trend di tengah-tengah masyarakat kita. Shalat menjadi perbuatan yang gengsi apabila dilakukan, shalat tidak perlu dijalankan cukuplah dengan mengingat Tuhan. Sungguh sombong dan salah pemikiran seperti ini.
Menarik sekali apa yang ditulis oleh penulis dalam buku ini dengan menyebutnya sebagai teori “belah bambu”"lebih baik mana antara orang yang rajin beribadah, tapi tingkah lakunya buruk, dengan orang yang tidak beribadah, tetapi tingkah lakunya baik?".
Pemahaman yang “dipaksakan” rasional ini tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan bahkan pandangan ini justru meremehkan ibadah sakral shalat sebagai, kalaupun demikian adanya, yang perlu dilihat adalah orang yang mengerjakan shalatnya, bukan shalatnya.
Ada tiga poin utama yang membuat segala pemahaman di atas salah. Pertama, pemahaman seperti tersebut sangatlah “dangkal” karena ibadah shalat bukan hanya memiliki tujuan untuk media instrospeksi diri, tetapi juga merupakan wujud (baca: devosi/bukti) kehambaan yang nyata—konkret—dari keimanan seseorang yang tidak bisa diraba—abstrak.