Apa arti sebuah hidup? Jika menjalaninya hanya dengan kekosongan?
Kalimat itu yang pertama kali mampir di telinga saya saat menjumpai sekelompok pemuda tanggung usia dua puluhan di bawah jalan layang Lebak Bulus-Ciputat. Saya serasa ditampar pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, tentang kekosongan.
Di depan mata, tubuh-tubuh ceking, tampang garang, rambut kaku mirip paku, anting-anting besar di hidung dan kuping, celana bolong dan jaket lusuh, dekil, seakan tengah berkata kepada saya bahwa mereka adalah makhluk bebas yang --ingin--teralienasi dari hiruk pikuk “imitasi” kota. Dan mereka berdikari di atasnya.
Mereka memang kusam, tapi mereka di balik kekusamannya mereka menyimpan keyakinan yang sakral yang begitu khusyuk mereka muntahkan dalam lantunan bait-bait lagu pembebasan. Suara mereka parau namun lantang menghunuskan bait demi bait mereka ke gendang telinga. Di tengah deru mesin kendaraan mereka seakan sedang memuntahkan ribuan rasa kecewa, soal cinta ataupun penghibur kehidupan yang makin sulit. Inilah yang membuat saya seperti tidak punya makna hidup.